Sistem Kekerabatan dan Pergeseran Konsep Dalihan Natolu di Simpang Tonang

2.5.2. Sistem Kekerabatan dan Pergeseran Konsep Dalihan Natolu di Simpang Tonang

Berbicara mengenai sistem kekerabatan maka tidak akan lepas dari perkawinan sebagai pondasinya. Di samping merupakan suatu proses melanjutkan keturunan secara genealogi, perkawinan juga akan memperlebar jarak persaudaraan atau yang lebih dikenal dengan istilah kekerabatan. Bagi masyarakat Simpang Tonang sistem kekerabatan yang mereka anut ialah sistem kekerabatan matrilineal silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu sebagaimana etnis Minangkabau lainnya. Anak-anak akan lebih dekat dan akrab dengan keluarga ibunya dibangdingan dengan keluarga ayahnya. Dalam sistem kekerabatan matrilinial ini terdapat 3 unsur yang paling dominan, yakni: 1 Garis keturunan menurut ibu, 2 Perkawinan eksogami matrilineal harus dengan kelompok lain di luar kelompok sendiri, dan 3 Ibu memegang peranan yang sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan dan kesejahteraan keluarga. Dengan mengadopsi sistem matrilineal, marga Mandailing yang mereka miliki pun diturunkan dari ibunya. Jika dia bermarga Nasution, maka ibunya pun pasti bermarga Nasution. Sebagian lagi yang masih mempertahankan sistem patrilineal menurunkan marganya dari ayah. Namun secara keseluruhan marga- marga yang mereka miliki haya sebagai “hiasan” semata, bukan identitas yang penting. Marga tidak lagi turut membentuk struktur masyarakat seperti di Mandailing. Bahkan tidak sedikit yang bingung apabila ditanya tetang marganya. Hal ini terjadi akibat terjadinya perkawinan campuran antara etnis Mandailing dan Minangkabau di Simpang Tonang. Universitas Sumatera Utara Pada masyarakat Simpang Tonang dikenal adanya hubungan saboltok seperut atau dikenal juga dengan istilah sadaina. Hubungan saboltok ini merupakan tingkat sanak unyang yang paling jauh, yakni ibu dari nenek. Beberapa boltok ini kemudian membentuk satuan terkecil dalam masyarakat, yang disebut koum. Dalam suatu koum biasanya terdiri dari tiga boltok induk yang terdiri dari lima keturunan dari garis ibu senenek. Kaum ini dikepalai oleh mamak kaum yang disebut mamak tuo. Beberapa koum kemudian menghimpun dalam satu kepenghuluan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di halaman berikut. saboltok sakoum sapanghulu Gambar 3. Kesatuan Genelogis dan Tertorial Masyarakat Simpang Tonang Gambaran di atas sama dengan konsep yang terdapat di Minangkabau, hanya berbeda istilah penyebutannya saja. Dalam pelembagaan matrilineal Minangkabau terdapat berbagai unit kesatuan, yakni: pertama, serumah sebagai kesatuan yang paling rendah disebut juga dengan samande berasal dari satu ibu; kedua, sajurai sebagai kesatuan yang lebih tinggi dari serumah jika terus berkembang; ketiga, saparuik berasal dari nenek yang sama, sebagai kesatuan yang menempati rumah gadang asal jika masih bisa ditelusuri silsilahnya; keempat sasuku satu nenek moyang, sebagai kesatuan yang paling tinggi, tetapi sulit menelusuri silsilahnya karena sudah berkembang sedemikian rupa Yaswirman: 2011:120-121. Universitas Sumatera Utara Adanya kesatuan-kesatuan tersebut tidak terlepas dari konsep persekutuan yang bersifat genelogis dan teritorial. Menurut Kharlie 2013:117, dalam persekutuan genelogis anggota-anggotanya merasa diri terikat satu sama lain karena mereka berketurunan dari nenek moyang yang sama, sehingga di antara mereka terdapat hubungan keluarga. Sementara dalam persekutuan teritorial anggotanya terikat karena bertempat tinggal di suatu daerah yang sama. Di Sumatera Barat dan Simpang Tonang persekutuan teritorial ini disebut dengan nagari. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Simpang Tonang terdapat berbagai istilah partuturon. Menurut Nasution 2005, partuturon merupakan penentu etika, sikap dan tingkah laku yang menunjukkan sejauh mana hubungan seseorang dengan orang lain berdasarkan hubungan darah, hubungan kekerabatan, atau hubungan perkawinan. Panggilan kekerabatan ini lahir dari adanya hubungan perkawinan Berbagai istilah kekerabatan tersebut telah mengalami persentuhan antara kebudayaan Mandailing dan Minangkabau. Adapun panggilan kekerabatan tersebut adalah sebagai berikut: a. Apak, merupakan sebutan terhadap orang tua laki-laki dari ego b. Indekumak, merupakan sebutan terhadap orang tua perempuan dari ego c. Angkang, merupakan sebutan terhadap kakak laki-laki atau perempuan dari ego d. Nggik, merupakan sebutan terhadap adik laki-laki atau perempuan dari ego e. Nonoknenek, merupakan panggilan kekerabatan terhadap orangtua dari ayah atau ibu si ego. f. Uwo, merupakan panggilan kekerabatan terhadap orang tua laki-laki perempuan dua tingkat diatas ayah dan ibu Ego Universitas Sumatera Utara g. Ameinamborubou, panggilan kepada kakak atau adik perempuan dari ayah ego h. Pak tuo, merupakan panggilan kepada kakak laki-laki dari ayah ego i. Pak etekuda, merupakan panggilan kepada adik laki-laki dari ayah j. Mamak, merupakan panggilan kepada saudara laki-laki dari ibu dan ego akan dipanggil bere atau babere olehnya k. Unyangetek, merupakan panggilan kepada adik perempuan dari ibu ego l. Ndek tuo kakak perempuan ibu ego m. Iparpariban, panggilan kepada saudara laki-laki dari isteri ego n. Adaboru, merupakan isteri dari ego biasanya dipanggil dengan sebutan indek anu atau namanya o. Anak, merupakan anak laki-laki dari ego, biasanya dipanggil dengan sebutan apak atau namanya atau namanya langsung p. Boru, merupakan anak perempuan dari ego, biasanya,dipanggil dengan sebutan indek atau namanya langsung q. Pahompu, merupakan sebutan nenek kepada cucunya sementara panggilannya nggik r. Parmaen adalah anak pisang atau menantu perempuan s. Lae, panggilan antara lelaki sesama besar Untuk dapat lebih memahami konsep partuturon yang berlaku di Simpang Tonang dapat dilihat pada gambar di halaman sebelah. Universitas Sumatera Utara Gambar 4. Diagram Kekerabatan atau Partuturon di Simpang Tonang Dari panggilan-panggilan kekerabatan tersebut dapat kita lihat bahwa terdapat saling pinjam-meminjam istilah antara etnis Mandailing dan Minangkabau. Panggilan-panggilan kekerabatan di atas dikenal dengan istilah martutur. Martutur merupakan suatu bentuk refleksi dari nilai kesopan-santunan seseorang ketika berkomunikasi. Sebelum melakukan komunikasi lebih lanjut biasanya alak Simpang Tonang selalu menarik garis kekerabatan terlebih dahulu agar mengetahui posisinya dalam kerabat dan tutur apa yang sepantasnya diucapkan olehnya dan kepadanya. Lebih lanjut Koentjaraningrat 1967 F F F F E E H G I A G F F F F E E L B K J J C D C D G M N O P Universitas Sumatera Utara membedakan dua istilah dalam sistem kekerabatan. Pada umumnya tiap bahasa memiliki dua macam sistem istilah yaitu: istilah menyebut dan istilah menyapa. Istilah menyebut digunakan untuk memanggil seseorang apabila berhadapan dengan orang lain atau berbicara tentang orang ketiga; sementara istilah menyapa digunakan untuk memanggil seseorang apabila berhadapan langsung. Selain martutur di Simpang Tonang juga terdapat adanya pelapisan sosial, meskipun tidak begitu kentara. Pelapisan sosial tersebut berupa perbedaan antara penduduk yang mula-mula membuka perkampungan tersebut atau yang dikenal dengan natobang natoras dengan penduduk yang datang belakangan. Penduduk pendatang tersebut harus mengisi adat dan menuang limbago terlebih dahulu, maksudnya mengaku sebagai kemenakan dari niniak mamak yang ada dengan syarat harus beragama Islam dan berjanji untuk mengikuti adat istiadat Minang. Perubahan sistem kekerabatan pada masyarakat Simpang Tonang membawa dampak terhadap perubahan struktur sosial masyarakat. Di Simpang Tonang peranan niniak mamak lebih kuat dibandingkan dengan konsep Dalihan Na Tolu Tungku Nan Tiga yang menjadi ciri khas etnis Mandailing. Bahkan bisa dikatakan bahwa konsep Dalihan Na Tolu ini telah hilang seiring pergantian zaman. Dalihan Na Tolu sendiri merupakan suatu sistem kekerabatan yang terdiri dari tiga kelompok, yakni: golongan mora, yaitu pemberi anak gadis, anak boru, yaitu penerima anak gadis, dan kahanggi yaitu kelompok kerabat satu marga. Ketiga kelompok kekerabatan tersebut masing-masing memiliki kedudukan dan saling terikat berdasarkan hubungan fungsionalnya. Dalam setiap upacara adat Universitas Sumatera Utara ketiga kelompok tersebut memiliki hak dan kewajibannya sendiri-sendiri. Misalnya saja kelompok anak boru yang bertugas sebagai parhobas atau pelayan. Pada prinsipnya di Kanagarian Simpang Tonang masih terdapat ciri-ciri khas suatu wadah kelembagaan Mandailing, yakni natobang natoras. Namun, wadah tersebut diisi juga dengan prinsip-prinsip Minangkabau seperti adanya mamak yang mewakili keluarga dalam struktur masyarakat berdasarkan garis keturunan ibu. Di Simpang Tonang mamak tersebut dikenal dengan istilah Niniak Mamak Na Sapulu. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan adat Mandailing, dimana masyarakat tidak mengenal kedatukan hanya ada kerajaan yang masyarakatnya dibentuk berdasarkan marga-marga. 2.6. Bentuk-Bentuk Hubungan Sosial yang Dijalin dalam Kehidupan Sehari- hari antara Etnis Mandailing dan Minangkabau di Simpang Tonang Kerjasama, konflik dan akomodasi merupakan tiga bentuk kemungkinan atau konsekuensi yang tidak terhindarkan dalam setiap hubungan antar etnis. Konsekuensi itu dapat terjadi antarkelompok etnik yang memiliki ciri-ciri kelompok, identitas dan nilai-nilai budaya sendiri yang diterima oleh dan dapat dibedakan dari kelompok lain. Pada masyarakat Simpang Tonang yang terjadi ialah hubungan yang sangat harmonis. Hal ini terjalin karena masyarakat lebih menekankan pada aspek kebersamaan dan tidak menonjolkan perbedaan yang ada. Pada umumnya masyarakat Simpang Tonang mengenal antara satu dengan lainnya. Bukan hanya etnis Mandailing saja, melainkan mereka juga mengenal tetangganya etnis Minang secara mendalam. Hal ini terjadi akibat Universitas Sumatera Utara adanya hubungan kekeluargaan melalui perkawinan. Bahkan tidak jarang ditemukan perkawinan campuran antara kedua etnis tersebut. Mereka saling bertegur-sapa ketika bertemu di jalan, mengobrol di teras rumah dan ketika berbelanja di lopo atau kedai. Di samping itu juga ada juga perkumpulan ibu-ibu majelis pengajian dan organisasi muda-mudi masjid. Sarana-sarana tersebut dinilai cukup fungsional dalam menjalin hubungan antar etnis yang ada. Hubungan saling tolong-menolong pun dilakukan tanpa membeda-bedakan etnis, baik dalam kehidupan sehari-hari, acara yang bersifat sukacita seperti pesta perkawinan maupun peristiwa duka atau meninggal dunia. Dengan hubungan yang sangat intensif tersebut menyebabkan terjadinya pertukaran bahasa antar- etnis. Seseorang yang pergaulannya luas biasanya akan menguasai kedua bahasa yang ada. Terkadang dalam suatu percakapan terjadi pergantian antara satu bahasa dengan bahasa yang lain sangat cepat. Namun hal serupa sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan etnis Minangkabau yang tampak sedikit lebih sulit dalam memahami bahasa Mandailing.

2.6.1. Hubungan Sosial di Arena Lokal dan Pasar

Dokumen yang terkait

Penerapan Hukum Adat Dalam Pengelolaan Sistem Agroforestri Parak (Studi Kasus Di Kanagarian Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat)

9 104 77

Tinjauan hukum Islam terhadap peleksanaan walimah perkawinan adat Minangkabau di Nagari Tabek Panjang Kecamatan Baso Kabupaten Agam Sumatera Barat

0 6 88

Perkawinan satu marga dalam adat Mandailing di Desa Huta Pungkut perspektif hukum islam

9 305 132

SUMPAH POCONG DALAM SENGKETA TANAH WARIS ADAT MENURUT HUKUM ADAT MINANGKABAU DAN HUKUM ISLAM.

0 1 1

Sanksi Adat Dalam Perkawinan Sesuku Di Minangkabau dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Hukum Adat Minangkabau.

0 1 1

View of HUKUM ISLAM DAN PERJANJIAN ADAT (Dampak Pemahaman Masyarakat Sumatera Barat tentang Inses Terhadap Adat Perkawinan)

0 0 16

ADAT PERKAWINAN MANDAILING DI KOTA MEDAN

0 0 114

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITAN 2.1. Letak Geografis dan Keadaan Alam Nagari Simpang Tonang - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tona

1 2 39

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Bara

1 1 41

Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)

1 0 20