Jenis-jenis Adat Manjujur Manjujur: Suatu Alternatif Adat yang Terlupakan

Sistem perkawinan manjujur ini sudah jarang ditemukan di lapangan. Berbeda dengan Nagari Ujung Gading, Pasaman Barat dimana kepulralismean pemilihan adatnya lebih gampang ditemui. Manjujur yang menjadi budaya khas dari Mandailing masih diperbolehkan untuk digunakan asalkan tidak bertentangan dengan adat Minangkabau. Masyarakat menggunakan kedua adat tersebut untuk mengatur perilaku hidup sehari-harinya. Sistem manjujur di Nagari Simpang Tonang secara umum hanya berlaku bagi laki-laki yang menikah dengan orang luar dari nagari tersebut. Tapi aturan tersebut tidak berlaku mutlak karena bagi mereka yang ingin manjujur juga dibolehkan dan tetap bisa diadati. Pada era tahun 80-an ke bawah alak Simpang Tonang masih banyak yang menggunakan adar manjujur. Masih banyak mereka yang masih hidup dan dapat dimintai informasi terkait dengan adat tersebut. Meskipun adat ini diperbolehkan namun sekarang sudah jarang dan bahkan tidak ada lagi yang melaksanakan adat manjujur. Adat manjujur seolah tergerus oleh waktu dan kehilangan kepopulerannya. Generasi sekarang seolah enggan untuk belajar dan menggali kebudayaannya. Sehingga hal ini membuat sangat sulit untuk merubah adat sumondo kembali kepada adat manjujur sebagaimana adat yang dibawa oleh nenek moyang mereka dahulu.

3.3.2.3. Jenis-jenis Adat Manjujur

Dalam kerangka berfikir alak Simpang Tonang penulis berhasil memperoleh jenis-jenis manjujur seperti: Jujur Pinang Nan Sabatang, Jujur Aua Nan Sarumpun, Jujur Saba dan Jujur Tapanuli atau Jujur Pitih Kesemua jenis jujuran tersebut harus diketahui oleh niniak mamak Simpang Tonang karena hal Universitas Sumatera Utara tersebut menyangkut terhadap penyerahan harto pusako kepada pihak perempuan sebagai syarat terjadinya perkawinan tersebut. Untuk lebih jelasnya berikut penulis paparkan jenis-jenis manjujur tersebut: a. Jujur Pinang Nan Sabatang Jujuran jenis ini hanya berlaku apabila memenuhi satu syarat, yakni seorang anak laki-laki yang tidak memiliki saudara perempuan iboto dalam suatu keluarga. Laki-laki tersebut dibolehkan untuk membawa isterinya tinggal di lingkungan kerabatnya. Hal ini disebabkan karena tidak ada lagi yang akan mengurus orang tuanya selain dia. Jadi dalam suatu keluarga hanya dalam keadaan seperti inilah seorang yang diperkenankan untuk manjujur. Perempuan yang dijujur pun terserah mau dia berasal dari daerah Rao, Paroman, Ujung Gading, dan lain sebagainya. Perempuan itu dijadikan kemenakan ibu-bapo kita dan kepadanya diberikan harta ibu kita. b. Jujur Aua Nan Sarumpun Jujuran jenis ini adalah jenis jujuran yang dulu pernah berlaku di Simpang Tonang. Dalam suatu keluarga semuanya harus mengikuti adat manjujur tanpa terkecuali. Anak laki-laki akan membawa isterinya ke rumah, sementara anak perempuan akan dibawa tinggal bersama suaminya. Di samping itu ada suatu hal yang harus dipahami apabila hendak manjujur harus jelas hitam dan putihnya. Jujur ini wajib disetujui oleh niniak mamak Simpang Tonang bahwasanya sudah terjadi pemindahtanganan rumah dan tanah kepada pihak isteri. Hal ini dilakukan supaya tidak terjadi adanya yang menuntut di kemudian hari. Universitas Sumatera Utara c. Jujur Saba Jujuran jenis ini harus memenuhi syarat: marbondar salekok, marsaba salupak, marbagas sapetak. martano satumpuk. Maksudnya adalah sebelum perkawinan biasanya pihak laki-laki akan membeerikan harta benda berupa: Sawah, ladang, atau tanah sebagai tempat untuk berusaha setelah menikah nantik dan rumah sebagai tempat berteduh kepada pihak perempuan. d. Jujur Tapanuli atau Jujur Pitih Jujuran ini sama dengan yang diterapkan oleh etnis Mandailing pada umumnya. Dimana pihak laki-laki diharuskan membayar sejumlah uang yang ditetapkan oleh pihak perempuan. Besarnya uang tersebut tergantung dengan kedudukan keluarga kedua belah pihak, pendidikan maupun pekerjaan. Pihak perempuan akan mematok sejumlah uang yang sangat tinggi, sementara pihak laki-laki dengan keliahaiannya dalam berunding akan berusaha mencoba agar uang tersebut berkurang sekecil mungkin. Kemudian ditemukanlah suatu kesepakatan antara keduanya mengenai uang yang harus dan mampu dibayar. Oleh pihak perempuan uang tersebut nantinya akan dibelikan barang perlengkapan rumah tangga. Barang-barang ini setelah diletakkan di tengah orang yang bermufakat, maka dalam sehari pesta itu juga akan diangkut dengan mobil ke rumah laki-laki.

3.3.2. Kawin Ranto: Varian Baru yang Lebih Fleksibel

Dokumen yang terkait

Penerapan Hukum Adat Dalam Pengelolaan Sistem Agroforestri Parak (Studi Kasus Di Kanagarian Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat)

9 104 77

Tinjauan hukum Islam terhadap peleksanaan walimah perkawinan adat Minangkabau di Nagari Tabek Panjang Kecamatan Baso Kabupaten Agam Sumatera Barat

0 6 88

Perkawinan satu marga dalam adat Mandailing di Desa Huta Pungkut perspektif hukum islam

9 305 132

SUMPAH POCONG DALAM SENGKETA TANAH WARIS ADAT MENURUT HUKUM ADAT MINANGKABAU DAN HUKUM ISLAM.

0 1 1

Sanksi Adat Dalam Perkawinan Sesuku Di Minangkabau dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Hukum Adat Minangkabau.

0 1 1

View of HUKUM ISLAM DAN PERJANJIAN ADAT (Dampak Pemahaman Masyarakat Sumatera Barat tentang Inses Terhadap Adat Perkawinan)

0 0 16

ADAT PERKAWINAN MANDAILING DI KOTA MEDAN

0 0 114

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITAN 2.1. Letak Geografis dan Keadaan Alam Nagari Simpang Tonang - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tona

1 2 39

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Bara

1 1 41

Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)

1 0 20