Tutur Siwaluh Syarat-syarat Perkawinan pada Masyarakat Karo

57

3.4. Tutur Siwaluh

Sarjani Tarigan 2009:101-104, mengatakan Tutur siwaluh adalah delapan kelengkapan hidup, panggilan secara umum yang dapat diberikan kepada setiap orang Karo dan penghargaan kepada teman sepergaulan dalam masyarakat Karo, yaitu: 1. Sembuyak 2. Senina Gamet, Sepemeren, Sepengalon, Sendalanen 3. Anak beru Angkip, Dareh, Cekuh Baka, Cekoh Baka Tutup, Tua, Sepemeren, Ngikuti, Pengapit 4. Anak Beru Menteri 5. Anak Beru Ngukuri 6. Kalimbubu Iperdemui, Simada Dareh, Bapa, Nini, Tua 7. Puang Kalimbubu Perkempun, Soler, Sepemeren 8. Tema Meriah. Pusat dari sangkep ngeluh adalah sukut yaitu pribadikeluargamerga tertentu, yang dikelilingi oleh senina, anak beru dan kalimbubu. Sukut dalam pesta perkawinan akan menerima uang jujuran berupa bena emas erdemu bayu atau batang unjuken petuturken, misalnya dalam perkawinan suku adalah orang yang kawin dengan orang tuanya. Sebenarnya, dasar hidup masyarakat Karo adalah sangkep nggeluh yang dalam istilah asingnya dengan tribal colibium karena merupakan perwujudan dari pemenuhan kebutuhan masyarakat Karo dalam hubungan sosialnya Prinst,2007:43. Akibatnya mulailah terjadinya pengelompokan dalam kehidupan bersama itu sesuai dengan fungsi sangkep nggeluh. Universitas Sumatera Utara 58

3.5. Syarat-syarat Perkawinan pada Masyarakat Karo

Suparlan 1986:33 mengatakan perkawinan merupakan hubungan antara laki- laki dan perempuan yang dilakukan secara sah oleh masyarakat yang bersangkutan dan berdasarkan atas peraturan-peraturan perkawinan yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Perkawinan tidak hanya menunjukan adanya hubungan seksual saja, tetapi juga melibatkan hubungan-hubungan antara kekerabatan dari masing-masing pasangan tersebut. Warsani Salim 1978:147 mengatakan fungsi dari perkawinan, yaitu meneruskan garis keturunan, pernikahan sebagai alat untuk mengikat kekerabatan, dan perkawinan sebagai kebutuhan manusia akan teman hidup. Hal yang dikemukakan di atas sama dengan yang dikemukakan oleh Teridah Bangun 1986:35, yang mengatakan tujuan perkawinan pada masyarakat Karo ialah ikatan lahir batin antara laki-laki dengan perempuan dalam mendapatkan keturunan dan memperkuat tali ikatan kekerabatan yang sudah ada. Jika ditinjau secara umum, tujuan perkawinan masyarakat Karo adalah guna memperoleh pengakuan dari sangkep nggeluh, Keluarga baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan, dan meneruskan merga. Sesuai dengan tujuan perkawinan di atas, dalam adat istiadat masyarakat Karo telah digariskan suatu aturan yang berlaku dengan siapa saja yang boleh kawin dan siapa saja yang tidak boleh kawin. Dalam masyarakat Karo, telah digariskan beberapa aturan berupa larangan kawinpembatasan jodoh. Aturan-aturan perkawinan pada masyarakat Karo baik Karo Gugung maupun Karo Jahe adalah sama. Aturan-aturan perkawinan pada masyarakat Karo antara lain, yaitu seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang seketurunan dan semarga kecuali pada anak cabang sub merga Perangin-angin dan merga Sembiring. Universitas Sumatera Utara 59 Sebayang adalah anak cabang dari merga Perangin-angin yang dapat kawin dengan semua anak cabang dari merga induk Perangin-angin lainnya Prinst,2004:75. Sebagai contoh, merga Bangun dapat mengawini merga Sebayang, yang dimana merga Bangun dan sebayang adalah anak dari merga induk Perangin-angin. Merga Sembiring dibagi menjadi dua yaitu merga simantangken biang ras siman biang dimana kelompok merga yang memakan anjing dapat mengawini merga yang tidak memakan anjing, kecuali seperti pada merga Milala yang dapat mengawini merga Gurukinayan. Namun, ada pengecualian pada sub merga kembaren yang tidak diijinkan untuk mengawini semua sub merga dari merga Sembiring. Ada juga larangan perkawinan diantara merga yang berbeda namun dalam sub merga tersebut, merga Perangin-angin Sebayang dilarang menikah dengan merga Karo-Karo Surbakti. Menurut informan Togong Purba 75 tahun larangan perkawinan itu karena: “merga Sebayang dan merga Surbakti dilarang menikah karena berkaitan dengan sejarah asal usul kampung dan nenek moyang merga tersebut”. wawancara, 30 Oktober 2014 Selain larangan perkawinan dalam bentuk merga, sebagaimana disebutkan di atas peneliti juga masih menemukan laranganpantangan kawin yang menurut istiadat masyarakat Karo di desa Sugau yang sering disebut la arus 43 1. Bukan menurut ada sepemeren. atau melawan arus antara laki-laki dan perempuan dalam pertalian kekerabatan, yaitu: 2. Bukan dalam ertutur disebut erturang impal seorang laki-laki dengan perempuan anak bibiknya dari keluarga ayah. 43 La arus yang artinya tidak sesuai dengan peraturan atau melangar larangan. Universitas Sumatera Utara 60 3. Mama Dalam ertutur seorang laki-laki dijadikan sebagai kakak atau adik ibu yang memiliki merga yang sama dan bere yang sama dengan ibu kandungnya. 4. Mami Seorang perempuan yang seharusnya menjadi istri saudara laki-laki ibu atau impal paman kandung dari ibu 5. Bibi Perempuan saudara kandung ayah 6. Anak angkat dan anak tiri. Larangan perkawinan sebagaimana dijelaskan di atas, umumnya sampai sekarang masih dipatuhi oleh masyarakat Karo Gugung dan Karo Jahe dan apabila ada perkawinan la arus atau tidak dibenarkan adat untuk menikah, maka orang tersebut akan dikucilkan, diusir dari desa, tidak dianggap dalam sangkep nggeluh dan tidak diakui sebagai masyarakat Karo, mereka yang melakukan perkawinan semarga dalam lingkungan masyarakat Karo biasanya mereka akan diusir dari desa tersebut atau meninggalkan desa dan tidak akan berani lagi untuk datang lagi ke desa itu untuk selama-lamanya. Mereka yang diusir atau yang meninggalkan desanya akan pergi ke tanah Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, daerah Karo Jahe. Dilihat dari larangan yang ditemukan peneliti dalam Masyarakat Karo pada umumnya, ternyata perkembangan masyarakat Karo sedikit demi sedikit telah mengalami pergeseran, walaupun larangan perkawinan semarga dan bersaudara masih tetap dijunjung dan dipatuhi oleh masyarakat Karo sebagai aturan perkawinan sampai sekarang. Dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti di desa Sugau, kecamatan Pancur Batu, kabupaten Deli Serdang, peneliti menemukan adat perkawinan masyarakat Karo menunjukkan adanya pergeseran dalam aturan-aturan perkawinansyarat-syarat dalam pemilihan jodoh. Sebagaimana contoh di desa Sugau terdapat delapan pasang Universitas Sumatera Utara 61 keluarga perkawinan semarga dan pasangan ini tinggal menetap di desa Sugau dan juga pasangan perkawinan antara mama dengan berenya yang sering disebut masyarakat sekitar dengan perkawinan sepatu jadi bulang-bulang 44 Perkawinan yang telah diindikasikan, mengarah kepada bentuk perubahan tata adat perkawinan masyarakat Karo adalah seorang laki-laki kawin dengan seorang . Dari kasus ini terlihat adanya indikator melemahnya kekuatan adat sangkep nggeluh pada masyarakat Karo. Hal ini dikatakan demikian karena biasanya, jika terjadi hal yang demikian maka orang tersebut akan meninggalkan atau diusir dari desa. Namun, berbeda kenyataannya bahwa pasangan yang melakukan perkawinan tetap bertahan di desa tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pihak dari sangkep nggeluh yang mau menerima mereka, melakukan pembayaran hutang adat kepada kalimbubu, dan masyarakat tidak bertindak mengusir mereka. Ini merupakan indikator yang melatarbelakangi terjadinya perubahan nilai sangkep nggeluh dalam perkawinan. Adanya perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang menurut hubungan kekerabatan adalah anaknya, seperti seorang mama mengawini beberenya. Sama seperti yang dikemukakan oleh informan Togong Purba 75 tahun: “Persyaratan atau aturan perkawinan pada masyarakat Karo pada masa sekarang ini telah mengalami pergeseran, misalnya seorang pemuda di dalam ertutur dikatakan adalah adik ibu, dapat menikahi anak dari kakaknya tersebut. Dimana anak tersebut jika dalam ertutur adalah bebere dari si pemuda.””wawancara, 30 Oktober 2014 44 Sepatu jadi bulang-bulang yang terdiri dari kata sepatu dan bulang-bulan jika diartikan kedalam bahasa Indonesia berarti pakaian adat karo yang dipaki di pungu laki-laki ketika ada acara adat. Sehinga makna dari sepatu jadi bulang adalah diman dia dulunya adalah kalimbubu akibat perkawinan la arus maka dai menjadi anak beru dalam keluarga tersebut. Universitas Sumatera Utara 62 perempuan yang masih tergolong dalam sangkep nggeluh kalimbubunya. Dan seorang laki-laki kawin dengan seseorang yang masih kategori kemenakannya atau seseorang kawin dengan seorang perempuan yang masih tergolong sebagai bibiknya. Namun, perkawinan seperti ini dianggap salah satu perkawinan yang ideal, karena dulu ayahnya tidak dapat mengawini bibiknya. Mungkin karena adanya beberapa faktor seperti usia dan impalnya belum lahir, sehingga anaknya mengawini bibiknya. Hal seperti ini sama dengan apa yang dikemukakan informan Marse Sembiring 34 tahun kepada peneliti: “Saya menikahi bibik saya karena kami saling mencintai, ingin saling melengkapi dan dorongan dari nenek saya karena dulunya sewaktu ayah saya sudah beranjak dewasa dan ingin menikah bulang uda mama uda dari ayah saya belum mempunyai anak perempuan. Setelah ayah menikah dengan ibu, saya pun lahir dan bulang uda pun mempunyai anak perempuan yang dimana beda umur kami cuman 2 tahun. Dengan beda umur yang 2 tahun, saya berniat untuk mengawini bibik saya, karena adanya dorongan dari keluarga terutama nenek saya yang sangat menginginkan hal tersebut. Menurut nenek saya, itu sama dengan mengawini impalnya sediri, sekaligus sebagai ganti rugi kepada kalimbubu karena ayah saya tidak menikahi impalnya dan sekarang untuk membayar hutang tersebut saya harus menikahi bibik saya sebagai perkawinan yang ideal, karena beru dari istri saya sama dengan beru nenek saya”.wawancara, 3 November 2014 Perkawinan sebagaimana disebutkan diatas belum pernah diterima dimasyarakat Karo Gugung, kecuali perkawinan dengan bibiknya itu sudah diterima oleh masyarakat Karo Gugung. Namun, semua perkawinan yang telah dijelaskan diatas memang sudah hal yang terjadi di Karo Jahe, meskipun pada mulanya hal ini dilarang. Demikian halnya di desa penelitian ini, perkawinan seperti di atas dalam kenyataannya telah terjadi dan dapat diterima oleh masyarakat Karo. Apabila dilihat dari struktur kekerabatannya, mereka ini pada dasarnya sudah memiliki hubungan Universitas Sumatera Utara 63 yang relative masih jauh karena mereka bukan orang yang “sada nini”satu nenek keturunan yang sama. Umumnya keluarga-keluarga menentang bentuk perkawinan seperti yang sudah diungkapkan, jika dilihat dari hubungan kekerabatan sangkep nggeluh, mereka masih “sada nini”. Akan tetapi jika dilihat dari hubungan kekerabatan secara umum maka, kekerabatan menunjukan hubungan ini relative jauh. Bentuk perkawinan di atas dapat diterima masyarakat Karo di desa Sugau, seperti yang diungkapkan oleh informan Togong Purba 75 tahun: “Jelma sierjabu ras turangna bas kuta enda erdekahna lalap ertambah ras belal jenda anak perana ngo tena singuda ah dai mamina ep danci rondongina, dung e si diberu pe git ka I empao sidilaki dai ngo tehna na ia man si dilaki dai, gua nari lh ban ngo bagena kerina anak perana ras singuda si bas Durin Pitu enda tading” masyarakat didesa ini semakin lama semakin banyak yang melakukan perkawinan semarga, dan banyak pemuda desa ini yang berpacaran dengan maminya, begitu juga dengan perempuan berpacaran dengan mamanya. Seperti itulah pemuda dan perempuan di desa Durin Pitu ini”. wawancara, 30 Oktober 2014 Hal yang serupa juga dikemukakan oleh informan Dahlan Purba 48 tahun lainnya: “sepasang kekasih yang secara adat ertutur mereka adalah turang impal. Namun,karena hubungan keluarga mereka tidak terlalu dekat meskipun satu desa, maka hubungan mereka dianggap sah-sah saja oleh masyarakat desa ini. Sama dengan orang tuanya sudah tau dia erturangku, tapi mereka tidak memiliki rasa segan berbicara di depan umum, dimana erturangku ini dilarang berbicara berdua kecuali melalui perantara orang lain”. wawancara 27 Oktober 2014 Dari hal-hal yang dikemukakan di atas, merupakan wujud terjadinya pergeseran adat perkawinan dan syarat-syarat perkawinan masyarakat Karo di lokasi penelitian desa Sugau. Hal yang pada umumnya selalu dihindari atau hal yang tabu untuk dilakukan karena dianggap dapat menghancurkan pola sangkep nggeluh, pada akhirnya mulai dilanggar dan dapat diterima sebagai suatu hal yang wajar. Universitas Sumatera Utara 64

3.6. Tahap-tahap Perkawinan pada Masyarakat Karo