M. Br Karo-karo Gurusinga

93 Di dalam adat perkawinan masyarakat Karo, hal yang paling pertama dilakukan adalah ertutur untuk mencari sangkep nggeluh dan tutur siwaluh, dengan perbedaan suku pada pengantin laki-laki maka keluarga silaki-laki harus mencarikan orang tua penadingen untuk pengantin silaki-laki di dalam hal ini seluruh keluarga dan orang tua penadingen akan diikat dalam sangkep nggeluh dan tutur siwaluh. Dalam acara perjabun tersebut peneliti melihat bahwa M. Sinuraya dijadikan sebagai orang tua penadingen si laki-laki. Hal yang menyebabkan terpilihnya keluarga beliau menjadi orang tua penadingen si laki-laki karena istri beliau sudah diganti berunya dengan beru Tarigan ketika beliau membuat acara mengket rumah simbaru. Pengantin perempuan memanggil istri beliau dengan sebutan bibik sehingga dengan panggilan tersebut membuktikan bahwa keluarga beliau menjadi anak beru di dalam keluarga merga Tarigan. Dipilihnya keluarga beliau menjadi orang tua penadingen laki-laki membuktikan bahwa pengantin laki-laki dan pengantin perempuan adalah erimpal. Dari apa yang dilihat oleh peneliti di dalam acara perjabun tersebut telah bahwa keluarga M. Sinuraya dijadikan menjadi orang tua penadingen pengantin laki- laki membuktikan bahwa beliau telah diterima dalam adat kebudayaan masyarakat Karo dan telah memiliki kejelasan mengenai sangkep nggeluh, tutur siwaluh dan tutur beliau denagan masyarakat Karo yang lain.

4.2.3. M. Br Karo-karo Gurusinga

Informan M. br Gurusinga 53 tahun ini adalah informan ketiga yang melakukan perkawinan semerga, beliau melakukan perkawinan semerga dengan M. Purba, mereka dikatakan melakukan perkawinan semerga karena sub merga Gurusinga dan sub merga Purba adalah anak induk dari merga Karo-karo. Beliau Universitas Sumatera Utara 94 bukan penduduk masyarakat desa Sugau. Namun, beliau merupakan penduduk masyarakat desa Tiang layar, sewaktu masih remaja beliau sering datang kedesa Sugau untuk bekerja sebagai buruh tani dan suami beliau merupakan penduduk masyarakat desa Sugau, beliau juga lahir didesa tersebut, dan masih kerabat dekat dari kepala desa Sugau. Informan ini menceritakan kisah hubungan mereka. Beliau mengatakan bahwa pada awal perjalan hubungan mereka dimulai ketika mereka menjadi aron. Terlalu seringnya kami bertemu dan sudah saling mengenal, maka tumbuhlah benih- benih cinta diantara mereka berdua. Mereka pacaran, lebih kurang satu setengah tahun dan selama mereka pacaran, semua keluarga baik keluarga beliau maupun keluarga suami beliau sama-sama tidak setuju dengan hubungan mereka karena mereka sama- sama bermerga Karo-karo. Di dalam adat perkawinan masyarakat Karo, perkawinan mereka dilarang, namun mereka berdua sepakat untuk tetap melanjutkannya dengan alasan saling mencintai, dan berjanji saling melengkapi antara satu sama lain. Sebelumnya, ada juga keluarga M.Br.Tarigan Tua dengan M.Tarigan Cingkes yang telah melakukan perkawinan semerga. Di mana sub merga Tarigan Tua dan sub merga Tarigan Cingkes adalah anak induk dari merga Tarigan, keluarga tersebut diterima oleh masyarakat desa Sugau, hal yang menyebabkan diterimanya perkawinan mereka karena adanya dorongan bahwa satu merga itu belum tentu bersaudara karena memiliki sub merga yang berbeda dan terlebih lagi asal usul kampungmereka berbeda. Tarigan tua berasal dari kuta batukarang sedangkan Tarigan Cingkes berasal dari kuta cingkes. Perkawinan semerga emang tidak bisa dibenarkan dan Universitas Sumatera Utara 95 dilangsungkan secara adat perkawinan masyarakat Karo. Namun di desa Sugau ini orang yang melakukan perkawinan semerga akan di adati dan membayar hutang adat kepada kalimbubunya ketika mereka mengket rumah mbaru atau sewaktu acara adat perjabun anak laki-laki mereka. Perkawinan semerga yang mereka lakukan awalnya tidak diterima oleh keluarga. Namun, lama kelamaan perkawinan keluarga tersebut akhirnya diterima oleh kedua belah pihak keluarga dan masyarakat desa Sugau, meskipun sampai sekarang mereka belum diadati secara adat pernikahan masyarakat Karo mereka sudah dilibatkan dalam setiap acara peradatan masyarakat Karo meskipun kadang menimbulkan permasalahan dalam tegunnya 51 . Hal ini disebabkan karena secara adat pernikahan masyarakat Karo, pernikahan mereka belum diterima oleh sangkep nggeluh karena belum membayar hutang peradataan kepada kalimbubu, sukut dan anak beru. Atas dasar tersebut M. Br. Gurusinga dengan M. Purba melakukan perkawinan semerga dengan harapan dapat diterima dan dapat diadati secara adat perkawinan masyarakat Karo oleh kedua belah pihak keluarga dan masyarakat desa Sugau. Meskipun adat perkawinan meraka belum bisa dilaksanakan karena anak mereka belum menikah dan mereka belum bisa membangun rumah. Dengan susah payah mereka melewati rintangan itu dan akhirnya sekarang mereka dapat hidup rukun dengan keluarga kedua belah pihak begitu juga dengan masyarakat desa Sugau sekitar. 51 Tegunnya adalah istilah pagilan yang digunakan untuk mengelompokan kelopok sangkep nggeluh Universitas Sumatera Utara 96

4.2.4. S. Br Karo-karo Sinuraya