100
merga mereka sama maka mereka sebagai sukut. Namun, dengan terjadinya perkawinan semerga maka laki-laki dan perempuan ini menjadi impal dan keluarga
laki-laki harus menjadi anak beru dari keluarga siperempuan. Dengan perubahan tersebut sering kali terjadi salah tapsir dalam tutur sangkep nggeluh.
Sebenarnya secara hukum negara, perkawinan semerga tidak menjadi masalah asalkan sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan pasal 1 tahun 1974. Masyarakat
desa ini masih memegang teguh adat istiadat, sehingga jika ada warga yang melakukan perkawinan semerga maka beliau menyerahkan dulu kepada keluarganya.
Setelah mereka dimaafkan dan telah membayar hutang adatnya kepada kalimbubu, sembuyaksukut, dan anak beru, maka beliau mulai berani untuk mengeluarkan surat
nikah. Namun, kadangkala beliau mendapat kesulitan dalam mengurus surat-surat keluarga yang melakukan perkawinan semerga, karena pihak kecamatan akan
menayakan merga dari setiapa warga yang akan membuat KK dan KTP. Sering sekali ketika beliau mengurus surat-surat admistrasi kependudukan
orang yang malakukan perkawinan semerga, beliau tidak mencantumkan merga bagi anak laki-laki dan beru bagi anak perempuan di dalam KK, KTP, dan surat lainnya.
Karena, jika beliau mencamtumkan merga dan beru maka pihak kecamatan akan menanyakan mengenai hal tersebut. Kadangkala beliau merasa malu karena telah
membiarkan warganya melakukan perkawinan semerga yang melanggar adat perkawinan masyarakat Karo.
4.4. Tanggapan Tokoh Adat Mengenai Perkawinan Semerga
Informan ini termasuk informan pangkal karena ia mengetahui adat istiadat perkawinan masyarakat Karo di desa Sugau. Tanggapan beliau, tentang perkawinan
Universitas Sumatera Utara
101
semerga adalah secara adat perkawinan semerga sangat dilarang karena bertentangan dengan adat perkawinan masyarakat Karo. Akibat perkawinan semerga akan
menimbulkan banyak masalah, terutama yang berkaitan dengan sankep nggeluh masyarakat Karo. Seandainya jika ada sebuah acara dalam keluarga tersebut, yang
menjadi kalimbubunya adalah satu merga dengannya. Untuk menyelesaikan masalah yang timbul akibat perkawinan semerga Togong Purba 75 tahun mengatakan kepada
peneliti: “dulunya bagi pemudamasyarakat Karo yang menikah dengan
turangnyaperkawinan semerga akan diusir dari desa, dan biasanya orang yang diusir dari desa tersebut akan pergi ke Sunggal karena
disana tinggal semua orang yang menikahi turangnyaperkawinan semerga. Makanya ada pepatah Karo mengatakan “Belang Denga
Tanah Sunggal” jika mencitan turangsemerga dengan kita, maka nikahilha dan pergilah ketanah Sungal.”wawancara, 30 oktober 2014
Walau bagaimana pun kita sebagai manusia yang hidup didalam masyarakat yang senantiasa berkembang, pola pikiran juga akan berkemban. Apakah
perkembangan itu dikarenakan pendidikan semakin maju ataupun karena penerapan Hukum Negara. Tetapi, sebagai manusia yang berbudaya, hendaknya melestarikan
nilai-nilai budaya yang selama ini kita anut. Menurut informan dalam acara pembayaran utang adat dalam perkawinan semerga, peran anak beru sangat penting
dalam acara tersebut. Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Nd.N. Br Barus 52 tahun:
“masyarakat Karo yang melakukan perkawinan semerga tidak dapat disalahkan karean pada masyarakat Karo banyak sekali merga dan sub
merga yang tidak dapat ditelusuri asal mulanya merga dan sub merga tersebut.”Wawancara, 12 Desember 2014
Peneliti menemukan bahwa pada masyarakt karo terdapat lima merga induk dan 86 sup merga. Namun, sampai sekarang masyarakat Karo masih identik dengan
Universitas Sumatera Utara
102
merga silima yaitu, Ginting, Tarigan, Karo-karo, Sembiring dan Perangin-angin dan pemakian sub merga setelah merga induk. Dan ada juga masyarakat Karo yang tidak
memakia merga silima mereka lebih mengunakan sup merga seperti sup merga Sebayang diaman masyarakat Karo yang merga Sebayang tidak mau dipangil dengan
merga Perangin-angin, begitu juga dengan sup merga Barus dimana masyarakat Karo yang sup merga Barus lebih suka memakai sup merga Barus dibandingkan dipangil
dengan merga Karo-karo dan masih banyak lagi masyarakat Karo yang lebih suka memakai sup merga ketimbang merga silima.
Meskipun berbeda sup merga, jika mereka memiliki induk merga yang sama seharunya memikirkan terlebih dahulu mengenai perkawinan yang mereka lakukan.
Sebagaian generasi muda masyarakat Karo sekarang ini hanya mengetahu bahwa merga pada masyarakat Karo berdasarkan merga silima.
Sarjani Tarigan 52 tahun ketua BABKI Balai Adat Budaya Karo Indonesia mengatakan kepada penelit:
“Perkawinan semerga tidak dapat dibenarkan dan tidak dapat diadati dengan adat perkawinan semerga meskipun merka berbeda sup
merag”wawancar 13 Desember 2014
Jika masyarakat Karo menelusuru lahirnya merga silima dan sub merga pada masyarakat Karo, akan menimbulkan perpecahan pada masyarakat Karo. Begitu
banyak perbedaan asumsi mengenai asal-usul sup merga dan berdasarkan apa sup merga tersebut dikelompokan kedalam merga silima di dalam kehidupan masyarakat
Karo.
Universitas Sumatera Utara
103
4.5. Pandangan Agama Mengenai Perkawinan Semerga