117
Dengan perempuan merubah berunya dan membuat orang tua penadingenya maka kedaua keluaraga ini akan menjadi anak beru dari orang tua penadingenya dan
orang tuanya. Sehinga jika ada acara adat yang berkaitan dengan sankep nggeluh dan tutur siwaluh di desanya maka keluarga harus mengikuti tutur dari orang tua
penadingenya dan orang tua silaki-laki. Perkawinan semerga juga menimbulkan perubahen pagilan pada orang tua
dalam setiap pesta adat. Dimana biasanya untuk merga Tarigan, Ginting, Karo-koao diman jika merka mengawinkan anak mereka akan dipagil dengan merga mereka,
namun akibat perkawinan semerga maka merka akan dipangil dengan sebutan sub merga. Seperti panggilan adat kepada merga Perangin-angin dan Sembiring dimana
merga mereka tidak disebutkan tetapi sub merganya. Seperti yang dikatakan informan Chandra Purba 51 tahun:
“Dulu sewaktu acara pernikahan impal saya di Bandar Baru. Ketika kalimbubu saya mau memeberikan hiburan, maka saya memanggil
mereka dengan sub merganya. Hal ini disebabkan karena saya takut akan kalimbubu saya malu jika desa lain mengetahu kalau orang tua
dari impal saya melakukan perkawinan semerga” wawancara 4 November 2014.
Dari penjelasan mengenai sangkep nggeluh pada masyarakat Karo yang melakukan perkawinan semerga telah menimbulkan pergeseran budaya sangkep
nggeluh. Sehingga terjadi pergeseran unsur dalam sangkep nggeluh terutama pada sukut, kalimbubu, anak beru dan tutur siwaluh.
4.8.1. Sukut
Dengan terjadinya perkawinan semerga pada masyarakat Karo telah menimbulkan pergeseran dari makna ertutur sukut. Sembuyak dimana pada dasarnya
masyarakat Karo memandang sembuyak adalah satu ibu dan satu ayah atau sedarah
Universitas Sumatera Utara
118
yang ditarik dari keturunan ayah. Namun, pada dasarnya seorang masyarakat Karo merga dan bere-bere adalah berbeda dengan terjadinya perkawinan semerga maka
seorang anak yang dilahirkan dari keluarga perkawinan semerga akan memiliki merga dan bere-bere yang sama. Sehingga hal ini menimbulkan pergeseran pada
unsur senina. Senina adalah orang-orang yang memiliki merga yang sama. Namun, di dalam
perkawinan semerga, orang satu merga tidak hanya dikatakan sebagai senina namun bisa juga sebagai impal, kalimbubu dan anak beru. Karena pada adat sitiadat
perkawinan masyarakat Karo, seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan, maka laki-laki tersebut harus menjadi anak beru angkipampu dalam keluarga si
perempuan. Sehingga menimbulkan pergeseran makna dari ertutur, dimana dulu seorang laki-laki sebelum menikah dengan istrinya yang satu merga dengannya,
memangil ayah istrinya dengan Bapa, ibunya dengan nande, saudara laki-lakinya dengan senina dan saudara perempuannya dengan turang. Namun, dengan terjadinya
perkawinan semerga maka silaki laki telah menjadi anak beru angkipampu dalam keluarga perempuan. Maka laki-laki akan memangil ayah istrinya denga mama, ibu
istrinya dengan sebutan mami, dan saudara laki-laki istrinya dengan silih dan saudara perempuan istrinya dengan impal. Hal ini sesuai dengan keterangan dari informan
Jusup Sitepu 60 tahun: “Dulu sebelum saya dan istri saya saling menyukai maka saya
memanggil istri saya dengan turang dan saudaranya lain sesuai dengan adat ertutur masyarakat Karo pada umumnya. Namun setela saya dan
istri saya saling menyukai maka saya memanggil istri saya dengan sebutan impal dan keluarganya masih sesuai dengan adat ertutur pada
masyarakat Karo pada umumnya. Namun, setelah kami mengket rumah baru dan membayar hutang adat kepada keluarga istri saya dan
membuat orang tua penadingen istri saya. Maka saya memanggil
Universitas Sumatera Utara
119
ayahnya dengan panggilan mama, ibunya dengan mami, saudara laki- lakinya dengan silih dan saudara perempuannya dengan impal.”
4.8.2. Kalimbubu