90
di dalam keluarga beliau. Namun, keluarga istri beliau tidak ikut menjadi kalimbubu keluarga beliau, hal ini disebabkan karena yang menjadi kalimbubu keluarga beliau
adalah orang tua penadingen istrinya. Hal ini disebabkan jika orang yang malakukan perkawinan semerga ingin
diadati secara adat pernikahan masyarakat Karo, maka perempuan harus menganti berunya dengan beru ibu suaminya. Dan diterimanya pernikahan beliau dimasyarakat
desa Sugau dapat terlihat, dari ketika pada tanggal 1 November 2014 di desa Sugau ada acara perjabun. Perjabun ini dilakukan oleh salah satu keluarga merga Tarigan
Gersang yang menikahkan anak perempuanya beru Tarigan Gersang, bere-bere Karo- karo Sinuraya dengan seorang laki-laki di luar suku masyarakat Karo.
Dalam acara perjabun tersebut peneliti melihat bahwa J. Sitepu duduk ditegun kalimbubu berserta masyarakat Karo lainya yang bermerga Karo-karo. Dari apa yang
dilihat oleh peneliti di dalam acara perjabun tersebut telah membuktikan bahwa beliau telah diterima dalam adat kebudayaan masyarakat Karo dan telah memiliki
kejelasan mengenai sangkep nggeluh, tutur siwaluh, dan tutur beliau dengan masyarakat Karo yang lain.
4.2.2. M. Karo-karo Sinuraya
Informan M. Sinuraya 52 tahun ini adalah informan kedua yang melakukan perkawinan semerga. Beliau menikah dengan R. Br Karo 50 tahun. Beliau dan istri
merupakan penduduk desa Suga, beliau dan istri beliau lahir di desa Suga dan ibu dari istri beliau sampai sekarang masih tingal di desa Sugau, beliau dan istri beliau
sekarang tinggal di dusun dua desa Sugau. Beliau dikatakan melakukan perkawinan dengan turangnya karena dimana sub merga Sinuraya dan sub merga Karo masuk
kedalam merga Karo-karo. Sehingga mereka menikah dengan merga Karo-karo
Universitas Sumatera Utara
91
dengan Karo-karo yang dimana seharunya meraka erturang. Usia perkawinan mereka saat ini adalah 25 tahun dan mereka sudah dikaruniai dua orang anak satu orang anak
laki-laki dan satu orang anak permpuan. Kedua anak mereka sehat, tidak ada tanda- tanda terdapatnya kelainan pada anak mereka seperti yang dikatakan orang kepada
mereka sebelum menikah. Informan dan istrinya sama-sama tingal di desa Sugau, dusun Durin Pitu dan
telah saling mengenal sejak masih kecil, mengetahui tutur antara mereka dan keluarga juga telah saling mengenal antara satu dengan lainnya. Setelah mereka dewasa, timbul
rasa cinta dia antara mereka, walaupun mereka tahu bahwa hubungan cinta mereka sangat dilarang dalam adat perkawinan masyarakat Karo. Namun, mereka tidak
memperdulikannya karena mereka saling mencintai dan tidak dapat dipisahkan lagi. Mereka pacaran lebih kurang dua tahun dan selama itu hubungan mereka
ditentang oleh keluarga, bahkan beliau sempat dikirim merantau selama beberapa tahun. Namun, karena di perantauan beliau sering sakit, maka beliau kembali ke desa
dan sejak itu hubungan mereka semakin serius dan akhirnya mereka sepakat untuk menikah secara agama islam, karena pada agama islam tidak ada larangan menikah
dengan satu merga. Alasan mereka melakukan perkawinan semerga adalah karena mereka saling
mencintai. Pada awal perkawinan, mereka merasa sulit untuk bersosialisasi dengan masyarakat setempat. Namun, semakin lama mereka menjadi terbiasa dan masyarakat
desa Sugau menerima perkawinan mereka karena masyarakat mempunyai sifat kekeluargaan dan keluarga juga telah melibatkan mereka dalam acara mengket rumah
baru, nurunken kalak mate, acara perjabun dan sebagainya. Tetapi mereka hanya
Universitas Sumatera Utara
92
dilibatkan sebagai teman meriah teman dekat dan kadang mereka dilibatkan dalam dua posisi sangkep nggeluh.
Beliau menceritakan ketika di sebuah pesta adat perjabun di desa Sugau keluarga beliau mendapatkan dua tutur sangkep nggeluh dalam acara tersebut.
Sehingga beliau bingung untuk memilih mengikuti tutur yang mana, karena jika mengikuti tutur dari orang tuanya maka beliau tidak bias mengikuti tutur dari
keluarga istrinya sehinga menimbulkan kebingungan dalam tutur sangkep nggeluh dalam keluarga ini.
Ketika keluarga beliau mebuat acara mengket rumah simbaru. Maka hal yang pertama kali dilakukan dalam acara mengket rumah simbaru adalah melakukan
pembayaran hutang adat kepada kalimbubu agar perkawinan beliau sudah dilakukan secara adat perkawinan masyarakat Karo. Dan melakukan ertutur siapa-siap yang
masuk kedalam kelompok sangkep nggeluh dan tutur siwaluh beliau. Dengan selesainya acara membayar hutang adat kepada sangkep nggeluh dan telah ditentukan
siap-siap yang masuk kedalah sngkep nggeluh dan tutur siwaluh maka perkawinan beliau sudah sesuai dengan adat perkawinan masyarakat Karo dan sangkep nggeluh
dan tutur siwaluh beliau semakin jelas. Keluarga dan masyarakat desa Sugau sekarang menerima perkawinan yang dilakukan oleh keluarga beliau.
Hal diterimanya perkawinan beliau dalam keluarga dan masyarakat desa Sugau didalam acara mengket rumah mbaru, nurunken kalak mate, acara perjabun,
dan sebagainya. Dapat dilihat pada tanggal 1 November 2014 ada acara perjabun di desa Sugau, perjabun ini dilakukan oleh salah satu keluarga merga Tarigan Gersang
yang menikahkan anak perempuanya beru Tarigan Gersang, bere-bere Karo-karo Sinuraya dengan seorang laki-laki di luar suku masyarakat Karo.
Universitas Sumatera Utara
93
Di dalam adat perkawinan masyarakat Karo, hal yang paling pertama dilakukan adalah ertutur untuk mencari sangkep nggeluh dan tutur siwaluh, dengan
perbedaan suku pada pengantin laki-laki maka keluarga silaki-laki harus mencarikan orang tua penadingen untuk pengantin silaki-laki di dalam hal ini seluruh keluarga
dan orang tua penadingen akan diikat dalam sangkep nggeluh dan tutur siwaluh. Dalam acara perjabun tersebut peneliti melihat bahwa M. Sinuraya dijadikan
sebagai orang tua penadingen si laki-laki. Hal yang menyebabkan terpilihnya keluarga beliau menjadi orang tua penadingen si laki-laki karena istri beliau sudah
diganti berunya dengan beru Tarigan ketika beliau membuat acara mengket rumah simbaru. Pengantin perempuan memanggil istri beliau dengan sebutan bibik sehingga
dengan panggilan tersebut membuktikan bahwa keluarga beliau menjadi anak beru di dalam keluarga merga Tarigan. Dipilihnya keluarga beliau menjadi orang tua
penadingen laki-laki membuktikan bahwa pengantin laki-laki dan pengantin perempuan adalah erimpal.
Dari apa yang dilihat oleh peneliti di dalam acara perjabun tersebut telah bahwa keluarga M. Sinuraya dijadikan menjadi orang tua penadingen pengantin laki-
laki membuktikan bahwa beliau telah diterima dalam adat kebudayaan masyarakat Karo dan telah memiliki kejelasan mengenai sangkep nggeluh, tutur siwaluh dan tutur
beliau denagan masyarakat Karo yang lain.
4.2.3. M. Br Karo-karo Gurusinga