Doktrin Strict Liability KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI TERHADAP TINDAK PIDANA DIBIDANG KEHUTANAN.

dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 seratus juta rupiah. Pasal 40 ayat 2; Pada Undang-undang No. 5 th 1990 perbedaan antara pelaku tindak pidana yang dapat ditahan dengan yang tidak dapat di tahan hanya permasalahan kesalahan sengaja atau karena kelalaiannya yang tempatnya ada didalam batinhatipikiranniat tersangka Dalam konsep pertanggungjawaban pidana korporasi ini dikenal adanya beberapa asas utama yang menjadi dasar teori atau falsafah pembenaran dalam dibebankannya pertanggungjawaban pidana pada korporasi yaitu Doktrin Strict Liability dan Doktrin Vicarious Liability.

1. Doktrin Strict Liability

Salah satu pemecahan praktis bagi masalah pembebanan pertanggungjawaban pidana yang dilakukanoleh seseorang yang bekerja dilingkungan suatu korporasi kepada korporasi tempat seseorang bekerja adalah dengan menerapkan doktrine of strict of liability , pertanggungjawaban pidana dapat dibebenkan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan kesengajaan atau kelalaian pada pelakunya. Oleh karena menurut ajaran strict liability pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya tidaka dipermasalahkan , maka strict liability Universitas Sumatera Utara disebut juga absolute liability. Istilah dalam bahasa Indonesia oleh Prof.Dr.Sutan Remy idsebut ertanggungjawaban mutlak. 55 “Any act whatever done by man which causus demage to another obliges him by whose fault the damage was caused to repair it”. Menurut sejarahnya, prinsip tanggungjawab yang didasarkan adanya unsur kesalahan pada mulanya dikenal dalam kebudayaan kuno dari Babylonia. Dalam bentuknya yang lebih modern, prinsip ini dikenal dalam tahap awal dari hukum Romawi abad kedua sebelum Masehi termasuk didalamnya doktrin didalamnya mengnai “culpa” dalam Lex Aquila menentukan bahwa kerugian sebagi kesalahan seseorang baik disengaja atau tidak, secra hukum harus dibeeri santunan. Prinsip ini kemudian menjadi hukum Romawi Modern seperti terdapat dalam Psala 1382 Code Napoleon 1804 yanmg berbunyi : 56 Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, dalam hukum pidana berlaku asas:”actus non facit reum,nisi mens sit rea” atau”tiada pidana tanpa kesalahan”, yaitu yang dikenal dengan sebagai doktrine of mens rea. Dalam perkembangan hukum pidana yang terjado belakangan dikenal pula tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memili mens rea yang disyaratkan. Cukuplah apabila dibuktikan bahawa pelaku tindak pidana telah melakukan perbuatan ynag dilarang oleh ketentuan pidana atau atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak-tindak pidana yang demikian 55 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Koprporasi,2006, Penerbit Grafiti Pers,jakarta.hal.78 56 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legalisasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia ,2004, Penerbit CV.Utomo,Bandung,hal.107 Universitas Sumatera Utara itu disebut offences of strict liability atau sering dikenal juga sebagai offence of absolute probibition. Tentang masalah prinsip tanggung jawab mutlak ini E.Sefullah Wiradipradja, menyatakan :”prinsip tanggung jawab mutlak no-fault liability or liability with out fault didalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan “absolute liability”.Dengan prinsip tanggungjawab mutlak dimaksudkan tanggungjawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan perkataan lain,suati prinsip tanggung jawab yang memandang :kesalahan” sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak. Barda Nawawi Arief menayatakan bahwa seiring dipersoalkan apakan strict liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama mangatakan bahwa strict liability meupakan absolute liability. Alasan atau dasar pemikirannya ialah bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang telah melakukan perbuatan yang terlarang actus reus sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang sudah dapatv dipidana tanpa harus mempersoalkan apakah sipelaku mempunyai kesalahanmensrea atau tidak. Jadi seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut rumusan undang-undang harusmutlak dapat dipidana. Universitas Sumatera Utara Pendapat kedua menyatakan, bahwa strict liability bukan absoplute liability, artinya orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang tidak harus atau belum tentu dipidana. 57 b. Dalam kasus-kasus strict liability memang tidak dapat dijukan alasan pembenar untuk “kenyataan khusus”particular fact yang dinyatakann terlarang mneurut undang-undang, misalnya dengan mengajukan adanya “reasonable mistake”, tetapi tetap dapat mengajukan alasna pembelaan untuk Pendapat kedua ini antara lain dikemukakan oleh J.C.Smith dan Brian Hogan.Ada dua lasan yang dikemukakan mereka, yaitu: a. Suatu tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara srtict liability apabila tidak ada mens rea yang dibuktikan secara satu-satunya untuk unsur actus reus yang bersangkutan.Unsur utama atau unsur satu-satunya itu biasanya merupakan salah satu ciri utama, tetapi sama sekali tidak berarti bahwa mens rea itu tidak disyaratkan sebagi unsur pokok yang tetap ada untuk tindak pidana itu.Misal A dituduh melakukan tindak pidana “menjual daging yang tidak layak untuk dimakan”misal membahayakan jiwanyawa orang lain. Tindak pidana ini menurut hukum inggris termasuk tindak pidana yang dapat dipertanggunhjawabkan secara strict liability. Dalam hal ini tidaka perlu dibuktikan bahwa A menngetahui bahwa daging tiu tidak layak untuk dikonsumsi, tetapi harus dibuktikan, bahwa A sekurang-kurangnya memang menghendaki sengaja untuk menjual daging itu. Jadi jelas dalam hal ini strict liability tidaka bersifat absolut. 57 Barda Nawawai Arief,Perbandingan Hukum Pidana, 1990, Penerbit Rajawali Press, Jakarta,hal.31 Universitas Sumatera Utara keadaan-keadaan lainnya.Misal dalam kasus mengendarai kendaraan itu dalam keadaan “automatism”.Misal lain A mebuk-mabukan dirimahnya sendiri tetapi dalam keadaan tidak sadar pingsan dan diletakkan dijalan raya. Dalam hal ini memang ada strict liability yaitu berada dijalan raya dalam keadaan mabuk, tetapi A dapat mengajukan pembelaan berdasarkan compulsion. Jadi dalam hal ini pun strict liability bukan absolute liability 58 58 Dwidja priyatno, op cit, hal.108

2. Doktrin Pertanggungjawaban Pengganti Vicarious Liability