kepentingan pendidikan dan penelitian demi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
26
26
IGM.Nurdjanah,dkk, Korupsi dan Ilrgal logging, Pustaka Belajar, Yokyakarta, 2005, hal.36
F. METODE PENELITIAN
Dalam setiap penulisan karya ilmiah tentunya digunakan suatu metode pendekatan untuk lebih memudahkan dalam penulisannya maupun pemahamannya
kepada pembaca , demikian pula dalam karya ilmiah ini penulis menggunkan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan melakukan analisis terhadap asas-asas hukum
dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan yang tentunya mempunyai hubungan dengan judul karya ilmiah ini yaitu:
“Pertanggungjwaban Pidana Korporasi Ditinjau daru UU No.41 tahun 1999 Tentang Kehutanan” Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 68 KPID.SUS2008.
Adapun pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan Library research
yakni melakukan penelitian dengan menghimpun data dari berbagai sumber bacaan seperti buku-buku,majalah-majalah, pendapat sarjana, dan juga bahan-bahan
kuliah maupun bahan bacaan lain dan juga menghimpun sejumlah informasi dari media internet yang sesuai dengan kebutuhan dalam penulisan karya ilmiah ini.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan Karya ilmiah ini secara garis besar terdiri dari VI enam Bab, dimana masing- masing berisikan tentang :
Universitas Sumatera Utara
BAB I : Membicarakan tentang latar belakang, rumusan masalah,keaslian
penulisan, manfaat,dan tujuan penelitian,tinjauan pustaka yang terdiri dari pengertian tindak pidana, pengertian pertanggungjawaban, pengertian
korporasi, pengertian pertanggungjawaban korporasi, dan pengertian hutan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Membahas mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak
pidana kehutanan yang dikaitkan dengan UU No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang mana dalam Bab ini akan dibahas lebih rinci mengenai
bentuk-bentuk tindak pidana di bidang kehutanan dan bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam bidang kehutanan.
BAB III : Pembahasan dan analisis pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap
putusan MA Mahkamah Agung Nomor 68 KPID.SUS2008 mengenai pertanggungjawaban korporasi PT.Keang Nam Development yang
dibebankan pada Dirut Direktur Utama Keuangan Adelin Lis. BAB IV :
Berisi mengenai kesimpulan dari permasalahan yang dibahas serta saran- saran yang dapat dijadikan acuan dalam penyelesain terhadap
permasalahan yang timbul.
Universitas Sumatera Utara
BAB II
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN
A. BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN.
Sampai saat ini masih ada kerancuan pemahaman tentang tindak pidana kehutanan. Kerancuan pemahaman ini tidak hanya di kalangan awam tetapi juga terjadi
di kalangan penegak hukum. Kasus Adelin Lis adalah salah satu contoh nyata betapa pemahaman antara Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim belum berada pada satu
persepsi yang kompak. Bebasnya Adelin Lis di tingkat Pengadilan Negeri dan kemudian kembali divonis bersalah di tingkat kasasi semakin memperkuat pemahaman bahwa apa
yang disimpulkan sebagai tindak pidana kehutanan oleh penyidik dan jaksa tetapi dalam pemahaman hakim pada satu tingkatan peradilan bisa berbeda. Begitu pula, pemahaman
hakim pada tingkat pertama bisa juga berbeda dengan pemahaman hakim pada tingkatan berikutnya.
Salah satu yang masih menjadi perdebatan sampai saat ini adalah apakah penebangan di luar areal perizinan dan penebangan di luar rencana kerja tahunan RKT
merupakan tindak pidana kehutanan atau masuk ke dalam ranah hukum administrasi. Bagi mereka yang setuju dengan pendapat kedua, mendasarkan argumennya kepada fakta
bahwa secara formal si pelaku memiliki izin, artinya aktivitasnya bukanlah kegiatan ilegal. Sementara pihak yang setuju pendapat pertama mendasarkan argumennya kepada
pemahaman bahwa sebuah izin pemanfaatan hutan diberikan terhadap areal tertentu. Maka kalau aktivitas penebangan dilakukan di luar areal tersebut artinya dia tak memiliki
Universitas Sumatera Utara
izin untu melakukan kegiatan penebangan di luar areal yang diizinkan artinya kegiatannya adalah kegiatan ilegal.
Mengenai istilah Tindak Pidana sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab terdahulu diambil dari istilah strafbaarfeit yang terdapat dalam Hukum Pidana Belanda.
Sekalipun demikian tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud strafbaarfeit itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Wetbook van Strafrecht –
WvS, yang kemudian sebagian besar materinya menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia KUHP dengan UU No. 1 tahun 1981.
27
Para ahli hukum nampaknya belum memiliki kesamaan pandangan tentang pengertian strafbaarfeit. Paling tidak ada 7 tujuh istilah
untuk mengartikan kata tersebut, diantaranya tindak pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang dapat dihukum, delik dan lain-lain
28
27
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I,2001,PT.Raja Grafindo Perswada,Jakarta, hal.67.
28
Ibid,hal..68
Namun dalam peraturan perundang-undangan istilah yang lebih sering digunakan adalah Tindak Pidana.
Secara sederhana Tindak Pidana dapat diartikan segala tindakanperbuatan yang dapat
dipidanadikenakan hukuman yang diatur secara tegas oleh Undang-Undang. Segala tindakan yang dimaksud tidak hanya dalam artian aktif tetapi juga dalam pengertian
pasif. Tidak melakukan sesuatupun dimana hal tersebut dilarang oleh Undang-Undang, termasuk dalam pengertian ini. Mengenai pengaturan oleh UU sangat penting disebutkan
karena dalam hukum pidana berlaku asas legalitas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang menyatakan bahwa tiada
satu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan dalam perundang-
Universitas Sumatera Utara
undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi. Secara umum dalam KUHP UU No. 1 tahun 1981 tindak pidana atau perbuatan pidana digolongkan dalam dua kelompok
yaitu Kejahatan dan Pelanggaran. Tindakan-tindakan yang termasuk Kejahatan diatur dalam pasal 104 – pasal 488 KUHP. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang digolongkan
sebagai Pelanggaran diatur dalam Pasal 489 – Pasal 569 KUHP. Mengenai pengaturan
perundangan tentang dimana terdapat aturan perbuatan yang dilarang itu ,secara umum dikategorikan dalam 2 dua bagian, yaitu:
29
1. Tindak Pidana Umum Dimana secara umum aturan mengenai perbuatan yang dilarang itu diatur dalam
KUHP yang terdiri dari 3 buku,49 Bab, serta 569 Pasal-Pasal yang tercantum dalam KUHP.
2. Tindak Pidana Khusus Tindak Pidana khusus ini adalah tindak pidana yang pengaturannya telah dibuat
secara khusus diluar ketentuan KUHP, seperti : a. UU Kehutanan yang diatur dalam UU Nomor 41 tahun 1999
b. UU Tindak Pidana Korupsi yang ditur dalam UU Nomor 39 tahun 1999 jo. UU Nomor 21 tahun 2000.
Adapun yang menjadi dasar hukum diaturnya beberapa tindak pidana secara khusus diluar KUHP adalah sebagimana yang termaktub dalam ketentuan Pasal 103
29
Abdul Khakim,Hukum Kehutanan Indonesia dalam Era Otonomi Daerah, 2005. Penerbit PT.Citra Adytia Bakti, hal.162
Universitas Sumatera Utara
KUHP yang berbunyai :”Ketentuan dari delapan bab yang pertama dari Buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan undang-
undang lain, kecuali kalau ada undang-undang Wet tindakan Umum Pemerintahan Algemene maatregelen van bestuur atau ordonansi menentukan peraturan lain.
Hal selanjutnya yang perlu kita perhatikan adalah bahwasanya dalam semua pasal yang ada dalam KUHP, kita tidak akan
menemukan secara khusus tentang tentang tindak pidana kehutanan. Tindak pidana kehutanan dapat dikatakan sebagai perkembangan baru dalam hukum pidana Indonesia
yang kemudian diatur dalam beberapa UU yang dibuat kemudian, diantaranya:
a. UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Selanjutnya UU Konservasi sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya b. UU No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup. c. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
d. UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pengganti UU No. 4 tahun 1982.
Dapat dikatakan ketentuan pidana dalam UU tersebut adalah peraturan-peraturan khusus terkait Tindak Pidana Kehutanan yang tidak diatur dalam Undang-Undang Pidana
Umum KUHP – UU No. 1 tahun 1981. Bila kita cermati dalam UU
Kehutanan, dalam bagian ketentuan umum yang memuat beberapa pengertian tidak termuat defenisi tindak pidana kehutanan. Hanya dalam Pasal 1 ayat 1 disebutkan
pengertian kehutanan sebagai sebuah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan
Universitas Sumatera Utara
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Berikutnya dalam ayat 2 disebutkan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam.
Kalau kita sepakat dengan pengertian Tindak Pidana sebagaimana yang disebutkan di atas maka dapat kita gabungkan bahwa Tindak Pidana Kehutanan adalah
segala bentuk tindakanperbuatan yang dapat dipidanadikenakan hukuman yang berkaitan dengan pengurusan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Kaitan yang
dimaksud di sini tentunya dalam artian memberi dampak negatif terhadap sistem pengurusan hutan dan menyebabkan kerusakan terhadap hutan sebagai sebuah ekosistem
penyangga kehidupan. Berbicara mengenai
tindak pidana kehutanan sangat eratlah kajiannya dengan kerusakan hutan . Dalam berbagai peraturan perundangan di bidang kehutanan istilah “kerusakan hutan”ini
mengandung pengertian yang bersifat dualisme. Disatu sisi, perusakan utan yang berdampak positif dan memperoleh persetujuan dari pemerintah tidak dapat
dikategorikan sebagai tindakan yang melawan hukum. Di sisi lain, perusakan hutan yang berdampak negatif merugikanadalah suatu tindakan nyat melawan hukum dan
bertentangan dengan kebijaksanaantanpa adanya persetujuan pemerintah. Kerusakan hutan dapat menimbulkan dampak yang bersifat positif dan negatif
didalam pembangunan yang berwawasan lingkungan. Diantara sifat negatifnya digolongkan sebagai tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan undang-undang.
Berbagai faktor penyebab timbulnya kerusakan hutan diantaranya yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Kerusakan hutan dapat terjadi akibat perbuatan karena kesengajaan subjek hukum meliputi, manusia dan atau badan hukum.
b. Kerusakan hutan dapat terjadi akibat perbuatan karena kelalaian subjek hukum meliputi, manusia danatau badan hukum.
c. Kerusakan hutan dapat terjadi karena ternak dan daya-daya alam misalnya gempa bumi,letusan gunung, banjir, dan sebagainya.
d. Kerusakan hutan dapat terjadi karena serangan hama dan penyakit pohon. Dari keseluruhan makna kerusakan hutan maka istilah perusakan hutan yang dapat
digolongkan sebagai tindak pidana adalah :
a. Suatu bentuk perbuatan yang dilakukan manusia danatau badan yang bertentangan dengan aturan didalam hukum perundang-undangan yang berlaku;
b. Tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan subjek hukum sebelumnya telah dirumuskan didalam undang-undang yang mengandung ketentuan pidana khusus.
Antara lain ditegaskan bahwa pelakunya dapat dipidana.
Dalam Pasal 50 UU kehutanan dicantumkan berbagai perbuatan yang dilarang dilakukan oleh setiap orang atau orang-orang tertentu yang berkaitan dengan kehutanan.
Artinya kalau perbuatan tersebut tetap dilakukan dapat diartikan orang tersebut telah melakukan tindak pidana di bidang kehutanan. Termasuk juga pada Pasal 38 ayat 4
disebutkan tentang larangan melakukan penambangan dalam kawasan hutan lindung secara terbuka. Lebih tegas disebutkan dalam pasal 78 UU Kehutanan tentang ancaman
hukuman pidana yang dapat dikenakan terhadap orang-orang yang terbukti melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang sebagaimana disebut dalam Pasal 50 dan Pasal 38
Universitas Sumatera Utara
ayat 4 UU Kehutanan. Dalam Pasal 19 ayat 1, Pasal 21 dan Pasal 33 UU Konservasi Sumber daya Alam hayati dan Ekosistemnya juga dicantumkan tentang perbuatan-
perbuatan yang dilarang dilakukan setiap orang. Selanjutnya dalam Pasal 40 ditegaskan tentang ancaman hukuman terhadap setiap orang yang diduga melakukan perbuatan-
perbuatan yang dilarang tersebut. Secara tegas dalam Pasal 40 ayat 5 disebutkan istilah tindak pidana. Lengkapnya disebutkan bahwa Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 dan ayat 2 adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dan ayat 4 adalah pelanggaran. Dengan demikian tindak pidana di bidang
kehutanan juga dapat dikelompokkan sebagai kejahatan dan pelanggaran sebagaimana tindak pidana di bidang lainnya.
Dalam UU No. 23 tahun 1997 Tindak Pidana Kehutanan termasuk dalam pengertian Tindak Pidana Lingkungan yang secara umum terbagi dalam dua bentuk yaitu
tindakan perusakan dan pencemaran. Dalam beberapa Pasal menyangkut Ketentuan Pidana, UU No. 23 tahun 1997 secara tegas juga menyebutkan istilah tindak pidana untuk
menyebut perusakan dan atau pencemaran, diantaranya Pasal 43 ayat 3, Pasal 44 ayat 2, Pasal 45 dan Pasal 46 ayat 1 dan 2. Lebih tegas lagi dalam pasal 48 disebutkan
Tindak Pidana yang diatur dalam Bab Kentuan Pidana digolongkan sebagai kejahatan. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab terdahulu bahwa penulisan
karya ilmiah ini lebih difokuskan pada persoalan kehutanan yang terkait masalah Ilegal Logging olek karenanya pada bagian ini akan dibahas mengenai hal-hal yang erat
kaitannya dengan pelanggaran yang sering terjadi dalam bidang kehutanan antara lain :
a. masalah Ilegal logging atau lebih dikenal dengan penebangan hutan secara liar
Universitas Sumatera Utara
b. masalah surat perizinan dimana untuk memperoleh kayu hasil hutan tersebut harus disertai dengan surat perizinan yang dikeluarkan oleh wewenang pemerintah yang
bersangkutan c. mengenai masalah Surat Keterangan Hasil Hutan dimana setiap kayu hasil hutan yang
akan dipergunakan untuk kepentingan dari yang bersangkutan haruslah memperoleh atau memiliki surat keterangan hasil hutan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah
setempat. Masalah Ilegal Logging atau lebih dikenal dengan penebangan hutan secara liar
yang dilakukan tanpa ijin dari instansipejabat kehutanan, digolongkan sebagai tindakan yang melawan hukum. Termasuk, perbuatan penebangan liar dilakukan subjek hukum
yang telah memperoleh ijin menebang namun melampaui batastarget yang diberikan instansipejabat kehutanan.
30
Pengertian Ilegal Logging dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun terminologi illegal logging dapat
dilihat dari pengertian secara harfiah yaitu dari bahas inggris. Dalam The Contemporary English Indonesia Dictionary, illegal
artinya tidak sah, dilarang, atau bertentangan dengan hukum atau haram. Dalam black’s Laws Dictionary illegal artinya “forbidden by
law;unlawful” artinya yang dilarang menurut hukum atau tidak sah. “Log” dalam bahasa
Inggris artinya menebang kayu dan membawa ketempat gergajian.
31
30
Alam Setia Zain,Hukum Lingkungan Konservasi Hutan,1994,Penerbit Rineka Cipta,Jakarta, hal.45-46
31
IGM Nurdjana,Korupsi dan Ilegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi,2005,Penerbit Pustaka Belajar,Yokyakarta,hal.13
Universitas Sumatera Utara
Dalam inpres RI No.5 tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal Ilegal Logging
dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Lauser dan Taman Nasional Tanjung Putting, istilah Illegal Logging disamakan dengan istilah
penebangan kayu illegal, istilah iilegal logging disinonimkan dengan penebangan kayu ilegal..
Ilegal logging identik dengan istilah “pembalakan illegal” yang digunakan oleh Forest Watch Indonesia
FWI dan Global Forest watch GFW yaitu untuk menggambarkan semua praktik atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan
pemenenan, pengelolaan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia. Lebih lanjut FWI ilegal logging menjadi dua yaitu:
Pertama, yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan
dalam ijin yang dimilikinya. Kedua, melibatkan pencuri kayu, pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.
32
Gambaran ilegal logging menurut pendapat ini menunjukkan adanya rangkaian suatu kegiatan yang merupakan suatu rantai yang saling terkait, mulai dari sumber atau
Luasnya jaringan kejahatan ilegal logging yang mencerminkan luasnya pengertian dari ilegal logging itu sendiri menurut Haba, ilegal logging digambarkan bahwa:
Penebangan liar “…occur right through the chain from source to costumer, from illegal extraction, ilegal transport and processing throught to ileggl export and sale, where
timber is often laundered before entering the legal market”.
32
Ibid,hal.14
Universitas Sumatera Utara
produser kayu ilegal atau yang melakukan penebangan kayu secara ilegal hingga ke konsumen atau pengguna bahan baku kayu.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulakan bahwa ilegal logging adalah rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ketempat
pengelolaan hinnga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai ijin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam kejahatan Ilegal Logging tersebut antara lain:
1. adanya suatu kegiatan. 2. menebang kayu.
3. mengangkut kayu. 4. pengolahan kayu.
5. penjualan kayu. 6. pembelian kayu.
7. dapat merusak hutan. 8. ada aturan hukum yang melarang dan bertentangan dengan aturan hukum yang
berlaku.
33
Perlu kita ketahui penyebab kerusakan hutan di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh praktik illegal logging, tetapi juga disebabkan praktik destructive logging yang
dilakukan perusahaan kayu yang memiliki izin resmi dari pemerintah. Destructive logging
mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda dengan illegal logging, yaitu
33
Ibid,hal.15
Universitas Sumatera Utara
penebangan hutan secara liar. Namun, ada perbedaan yang mendasar diantara kedua istilah tersebut. Istilah destructive logging dipakai untuk menggambarkan penebangan
hutan secara liar yang dilakukan oleh perusahaan kehutanan yang memiliki izin resmi dari
pemerintah. Istilah ini tentu berbeda dengan praktik illegal logging yang dilakukan oleh
perusahaan yang tidak memiliki izin resmi dari pemerintah untuk menebang hutan. Contoh kasus terkait praktik destructive logging adalah kasus Adelin Lis yang pernah
ramai dibicarakan di media cetak maupun media elektronik Selanjutnya terkait masalah Surat Perizinan Pemanfaatan hutan dan penggunaan
kawasan hutan, dalam Pasal 26 ayat 2 UU Kehutanan disebutkan bahwa Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemberian izin ini di atur juga dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah PP Nomor 34
Tahun 2002 jo Pasal 19 PP Nomor 6 Tahun 2007 jo PP Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaan Hutan,
dinyatakan bahwa dalam setiap kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat 2, wajib disertai dengan izin pemanfaatan hutan yang
meliputi : a. IUPK Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan
b. IUPJL Izin Usaha Pemnafaatan Jasa Lingkungan c. IUPHHK Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
d. IPHHK Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan
Universitas Sumatera Utara
e. IPHHBK Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu
34
f. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu IUPHHBK. Sedangkan menurut Pasal 2 ayat 2 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.01Menhut-II2008 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional, tanggal 22 Januari 2008, dalam penyusunan rencana usaha pemanfaatan hutan ada beberapa ijin antara lain:
a. Izin usaha pemanfaatan pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan IUPHHK-HA;
b. Izin usaha pemanfaaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam IUPPHHK-RE;
c. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman IUPHHK-HT;
d. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat IUPHHK- HTR;
e. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan IUPJL;
35
1. Izin usaha pemanfaatan kawasan Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 29 ayat 1. Beberapa perijinan dalam bidang kehutanan yang dapat lihat pada Undang-
undang Kehutanan antara lain:
2. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 29 ayat2. 3. Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu Pasal 27 ayat 3.
34
Ibid, hal.115
35
Ibid , hal 425
Universitas Sumatera Utara
4. Izin usaha pemanfaatan hasil kayu hutan Pasal 29 ayat 4. 5. Izin pinjam pakai kawasan Pasal 38 ayat 3 dan 5.
6. Izin pertambangan Pasal 42 ayat 2, dan 7. Izin melakukan penelitian kehutanan di Indonesia kepada peneliti asing Pasal 54 ayat
2. Terkait dalam pemanfaatan hutan lindung, ada beberapa izin yang harus dipenuhi,
yakni Pasal 26 ayat 2 UU Kehutanan, bahwa pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui:
a. Perizinan usaha pemanfaatan kawasan. b. Perizinan usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan
c. Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Kemudian berkaitan dengan izin pada Pasal 26 ayat 2, maka dalam Pasal 27
UU Kehutanan dijelaskan beberapa izin dalam pemanfaatan hutan lindung dan dapat diberikan kepada siapa ijin tersebut yang meliput i:
1 Izin usaha pemanfatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat 2 dapat diberikan kepada;
a. perorangan; b. koperasi.
2 Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dalam pasal 26 ayat 2 dapat diberikan kepada;
a. Perorangan;
Universitas Sumatera Utara
b. Koperasi; c. Badan Usaha Milik Swasta Indonesia BUMS;
d. Badan Usaha Milik Negara BUMN atau Badan Usaha Milik Daerah BUMD; 3 Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam pasal 26
ayat 2, dapat diberikan kepada: a. perorangan;
b. koperasi.
36
Mengenai tindak pidana di bidang kehutanan ini ilegal logging sebenarnya jauh sebelum lahirnya UU Kehutanan telah diatur dalam KUHP Indonesia meskipun
pengaturannya masih bersifat umum. Adapun ketentuan-ketentuan perundang-
undangan yang dapat dikenakan pada pelaku Ilegal logging dalam KUHP dapat dilihat dalam pasl-pasal sebagai berikut :
Izin usaha pemanfaatan kawasan yang dilaksanakan oleh perorangan, masyarakat setempat, atau koperasi dapat bekerjasama dengan BUMN, BUMD, atau BUMS
Indonesia. Dengan demikian, perijinan lingkungan kehutanan akan menjadi sarana hukum
yang paling banyak digunakan dalam hukum kehutanan yuridis untuk mengendalikan tingkah laku warganya dan contoh yang representatif dalam merefleksikan tentang
kebersamaan fungsi normatif hukum lingkungan kehutanan.
36
Ibid, hal. 15
Universitas Sumatera Utara
1 Pasal 406-412 mengenai pengrusakan. 2 Pasal 362-367 mengenai pencurian.
3 Pasal 263-276 mengenai pemalsuan. 4 Pasal 372-377 mengenai penggelapan
5 Pasal 480 mengenai penadahan 6 Pasal 187 dan Pasal 188 mengenai pembakaran yang mengakibatkan banjir.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup konsep ilegal logging dijelaskan lebih umum yaitu melarang seseorang untuk
merusak hutan. Bentuk-bentuk tindak pidana kehutanan dalam kegiatan ilegal logging meliputi:
1 Melakukan penebangan tanpa izin. 2 Melakukan penebangan kayu di luar izin konsesi.
3 Mengangkut kayu tanpa SKSHH. 4 Mengangkut kayu dengan SKSHH palsu.
5 Mengangkut kayu dengan jumlah yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam SKSHH.
6 Menggunakan satu SKSHH berulang-ulang. 7 Menggunakan dokumen pengganti SKSHH.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengetahui secara jelas perbuatan apa yang termasuk dalam kategori tindak pidana dalam bidang kehutanan maka akan dikaitkan dengan UU Kehutanan.
Mengenai perbuatan apa saja yang dilarang terinci secara jelas dalam Pasal 50 ayat 3 UU Kehutanan mendefinisikan paling sedikit 13 katagori aktivitas kejahatan yang terkait
dengan kehutanan yang dapat dihukum minimal selama 5 tahun dan denda antara Rp.5- 10 miliar. Adapun bunyi dari Pasal 50 ayat 3 tersebut adalah sebagai berikut:
Setiap orang dilarang :
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau mendudukli kawasan hutan secara tidak sah;
b. merambah kawasan hutan; c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai
dengan : 1. 500 lima ratus meter dari tepi waduk atau danau;
2. 200 dua ratus meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai didaerah rawa; 3. 100 seratus meter dari kanan tepi sungai;
4. 50 limapuluh meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 dua kalim kedalaman jurang dari tepi jurang;
6. 130 seratus tiga puluh kaliselisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai;
d. membakar hutan;
Universitas Sumatera Utara
e. menebang pohon atau memanen atau memunguthasil hutan didalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
f. menerima,membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahiu atau patut diduga berasal dari kawasan hutan
yang diambil atau dipungut secara tidak sah; g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan
tambang didalam kawasn hutan, tanpa izin Menteri; h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-
sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; i. mengembalakan ternak didalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secar khusus
untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang; j. membawa alat-alat berat atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan
digunakan untuk mengangkut hasil hutan didalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau menbelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat ynag berwenang;
l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan kedealam kawasan
hutan; dan
Universitas Sumatera Utara
m. mengeluarkan, mambawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi undang-undang yang bersal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang.
37
Terkait pengelompokan jenis-jenis perbuatan yang dilarang didalam aturan diatas yakni menyangkut masalah perlindungan hutan, berdasarkan PP Nomor 28 tahun 1985
Tentang Perlindungan Hutan mengandung unsur pidana khusus. Bentuk tindak pidana secara tegas dirumuskan secara pasal demi pasal. Sedangkan, jenis-jenis tindakan yang
dibolehkan didalam aturan hukum perlindungan hutan tersebut, yakni subjek hukum yang bertindak secara sah memilki kewenangan menurut aturan yang berlaku.
38
1. Dilarang memotong,memindahakan, merusak, atau menghilangkan tanda batas kawsan hutan, kecuali dengan kewenangan yang sah.
Prinsip pengecualian hukum yang berlaku di dalam PP Nomor 28 tahun 1985 tentang
Perlindungan Hutan, diantaranya terkandung sebagai berikut :
2. Dilarang mnduduki tanah dan mengerjakan tanah kawasan hutan, kecuali mendapat izin.
3. Dilarang melaukan penambangan bahan galian dan eksploitasi tanah kawasan hutan, kecuali mendapat izin.
4. Dilarang membakar didalam hutan kecuali mendapat izin dan kewenangan yang sah. 5. Dilarang mengambil memungut hasil hutan kecuali mendapt izin dari pejabat yang
berwenang.
37
Undang-Undang No.41 tahun 1991 Tentang Kehutanan
38
Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan,1996,Rineka Cipta,jakarta,hal.11
Universitas Sumatera Utara
6. Dilarang membawa alat-alat yang lazim digunalkan untuk meotong, menebang, dan memebelah pohon di dalam kawasn hutan, keculai petugas kehutanan atau orang-
orang yang karena tugasnya atau kepentingannya dibenarkan berada di kawasan hutan.
7. Dilarang melakukan penebangan pohon-pohon dalam hutan, kecuali mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
8. Dilarang mengambalakan ternak, mengambil rumpu, serash dan makanna ternak lainnya dari dalam hutan, kecuali pada tempat tertentu yang ditunjuk oleh pejabat
yang berwenang. 9. Dilarang mengangkut hasil hutan, kecuali memiliki surat izin berupa keterangan
sahnya hasil hutan dari pejabat yang berwenang.
39
Perihal masalah perusakan hutan sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 50 ayat 3 diatas, maka perlu kita mengetahui tentang klasifikasi dari jenis-jenis hutan itu sendiri
sesuai denga ketentuan UU Kehutanan. Dalam UU Kehutanan ini jenis-jenis hutan diuraikan mulai dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 9, yang mana ditentukan didalamnya
ada 4 empat jenis hutan yaitu berdasarkan : 1 statusnya, 2 fungsinya, 3 tujuan khusus, 4 pengaturan iklim mikro, estetika,dan resapan air. Keempat jenis hutan itu
dikemukakan berikut ini :
1. Hutan berdasarkan statusnya Pasal 5 Yang dimaksud dengan hutan berdasarkan statusnya adalah suatu pembagian hutan
yang didasarkan pada status kedudukan antara orang, badan hukum, atau institusi
39
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1985
Universitas Sumatera Utara
yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungann terhadap hutan tersebut.
Hutan berdasarkan statusnya dibagi dua macam, yaitu hutan negara dan hutan hak. a. Hutan Hak
Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah Pasal 5 ayat1
b. Hutan Negara Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak
atas tanah. Yang termasuk dalm kualisifikasi hutan negara adalah hutan adat, hutan desa, dan hutan kemasyarakatan. Hutan adat adalah hutan negara yang
diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat rechtgemeenschap. Hutan desa adalah hutan negara yang dikelolah oleh desa dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraaan desa. Hutan kemasyarakatan adalah hutan yang pemanfaatannya untuk memberdayakan masyarakat.
2. Hutan berdasarkan Fungsinya Pasal 6 sampai dengan Pasal 7. Hutan berdasarkan fungsinya adalah penggolongan hutan yang didasarkan pada
kegunaannya. Hutan ini dapt digolongkan menjadi 3 tiga macam, yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.
a. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragman tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya.
Universitas Sumatera Utara
Hutan konservasi terdiri atas tiga macam, yaitu kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru.
1 Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu yangmempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga
kehidupan. 2 Kawasan hutan pelestarian alam.
adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan penyangga kehidupan pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
3 Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.
b. Hutan lindung adalah kawasn hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi penerobosanair laut, dan memelihara kesuburan tanah.
c. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
Universitas Sumatera Utara
3. Hutan berdasarkan tujuan khusus, yaitu penggunaan hutan untuk keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan, dan latihan, serta untuk kepentingan religi dan
budaya setempat Pasal 8. Syaratnya tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan. 4. Hutan berdasarkan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air disetiap kota
ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota. Hutan kota adalah hutan yang berfunfsi untuk pengaturan iklim mikro, estetika, dan
resapan air Pasal 9 .
40
a. MengerjakanMenduduki hutan lindung Terkait dengan tindak pidana terhadap hutan ini juga diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 yakni pada Pasal 18 yang didalamnya memuat 5 ayat dalam merumuskan perbuatan apa yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana
terhadap hutan. Adapun kelima ayat tersebut pada intinya mengatur secara rinci hal-hal sebagai
berikut:
b. Membakar hutan lindung. c. Menegrjakanmenduduki hutan bukan hutan lindung
d. Salah penggunaan kawasan hutan e. Melakukan eksplorasi dan eksploitasi hutanh tanpa persetujuan menteri
f. Eksplorasi dan eksploitasi hutan tidak sesuai dengan petunjuk menteri g. Penggunaan alat-alat yang dapat merusak hutan
h. Penebangan pohon pelindung
40
Undang-undang No.41 tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
i. Kebakaran hutan karena kelalian j. Merusakmemindahkan tanda batas
k. Penggembalaan ternak dihutan l. Mengerjakan hutan oleh yang berhak tetapi tidak sesuai dengan petunjuk menteri
41
Selanjutnya UU Kehutanan ada mengatur tentang tindak pidana dibidang kehutanan yang terkait masalah Hasil Hutan. Mengenai pengertian hasil hutan itu sendiri
dimuat dalam Pasal 1 ayat 13 yang menyatakan: ”Hasil hutan ialah benda-benda hayat, non hayati, dan turunannya, serta jasa yang bersal
dari hutan”.
Selanjutnya menurut penjelasan pada Pasal 4 UU Kehutanan disebutkan apa saja yang termasuk dalam kategori hasil hutan. Hasil hutan tersebut dapat berupa :
a. Hasil nabati beserta turunannya seperti kayu, bambu, rotan, rumput-rumputan, jamur- jamur, tanaman obat, grtah-getahan, dan lain-lain, serta bagian dari tumbuh-tumbuhan
atau yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan didalam hutan. b. Hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penakarannya, satwa
baru, satwa elok, dan lain-lain hewan, serta bagiannya atau yang dihasilkannya c. Benda-benda non hayati yang secara ekologis merupakan satu kesatuan ekosistem
dengan benda-benda hayati penyusun hutan, antara lain berupa sumber air, udara bersih, dan lain-lain yang tidak termasuk benda-benda tambang.
41
Laden Marpaung,Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan , dan Satwa,1995,Penerbit
Erlangga,Jakarta,hal.19
Universitas Sumatera Utara
d. Jasa yang diperoleh dari hutan antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan, jasa perburuan, dan lain-lain
e. Hasil produksi yang langsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan-bahan mentah yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer antara lain berupa kayu
bulau, kayu gergajian, kayu lapis, dan kayu pulp.Termasuk juga benda-benda tambang yang berada dihutan juga dikuasai oleh negara
42
Dalam pengertian yang lebih luas persepsi terhadap “hasil hutan”digambarkan sebagai berikut :
a. Hasil hutan yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat 13 dan termaktub dalam penjelasan Pasal 4 UU Kehutanan yang terdiri dari benda-benda hayati, nonhayati, dan
turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan, yang dapat juga diistilahkan dengan hasil hutan langsung.
b. Hasil hutan berupa “dana” yang wajib dibayar karena mengambil hasil hutan baik berupa Dana Reboisasi maupun IHH Iuran Hasil Hutan dan dana wajib lainnya.
Adapun Tindak Pidana terhadap Hasil Hutan ini dibagi atas Tindak pidana terhadap hasil hutan langsung dan tindak pidana terhadap hasil hutan tidak langsung.
a. Tindak Pidana terhadap Hasil Hutan Langsung Yang termasuk dalam tindak pidana terhadap hasil hutan langsung adalah sebagai
berikut : a. Penebangan pohon dalam hutan lindung
42
Hadi setia Tunggal, Himpunan Peraturan Pelaksana Undang-Undang Kehutanan, 2009, Harvindo, Jakarta, hal.51
Bandingkan dengan UU No.5 Tahun 1967
Universitas Sumatera Utara
b. Penebangan pohon dalam hutan bukan hutan lindung c. Menguasaimengangkut hasil hutan
d. Mengambil hsil hutan tanpa izin e. Membawa alat penebang di kawasan hutan
f. Tindak pidana terhadap tumbuhan yang dilindungi
43
b. Tindak Pidana Terhadap Hasil Hutan Tak Langsung Sebagaimana ditentukan peraturan, peranan Pengusaha Industrian Pengolahan Kayu
Hulu IPKH sangat besar dalam pemungutanpenyetoran Dana Reboisasi DR dan
dana Iuran Hasil Hutan IHH. Namun, perlu disadari bahwa hal tersebut bukan
tidak beresiko jika dipandang dari segi kebutuhan akan dana dalam pelaksanaan PELITA-PELITA yang sedang berjalan.
Kemungkinan lebih kecil resiko jika dipungut berdasarkan LPH Laporan Hasil Produksi
Resiko dalam menjalankan suatu perusahaan adalah hal yang lumrah tetapi berkenaan dengan hak yang telah dimiliki Negara yang berupa kewajiban orang yang
telah ditentukan, bukan merupakan resiko tetapi perbuatan tercela yang patut dihukum karena tidaka menjalankan kewajiban terhadap Negara.
Dengan demikin dapat dipahami jika menipulasi terhadap perhitungan DR atau perhitungan IHH merupakn tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi dapat
dilakukan oleh : a. Pengusaha IPKH
43
Laden Marpaung,Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan , dan Satwa, 1995, Penerbit Erlangga, Jakarta hal.44.
Universitas Sumatera Utara
b. Aparat Kehutanan Pengusaha IPKH
44
Persamaan antar ketiga unsur tersebut meliputi suatu rangkaian aturan tentang tingkah laku, yang diikuti oleh sekelompok tertentu.Dengan demikian sistem yang
B. KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI TERHADAP TINDAK PIDANA DIBIDANG KEHUTANAN.