Ikhtisar BENTUK INTERAKSI SOSIAL-EKOLOGIS DI SEKITAR

tinggal yang kumuh dan berada di atas aliran sungai rumah terapung membuat mereka selalu membuang sampah di sungai, padahal mereka juga menggunakan air sungai tersebut untuk keperluan mandi, cuci, kakus MCK. Selama ini, keluarga saya buang sampah di sungai ini. Ya, mau bagaimana lagi. Di Kampung Kali Adem kan tidak ada temapt sampah dan tidak ada yang mengumpulkan mengatur seperti yang ada di komplek perumahan bagus itu. Jadi, sampah mau dikumpulkan di mana? Kampung kami saja letaknya di atas kali begini. Tidak di atas tanah. Jadi, ya mau tidak mau sampah langsung dibuang di kali. Bapak Asi, 40 tahun, warga Kampung Kali Adem Pernyataan Bapak Asi 40 tahun mengenai kebiasaannya membuang sampah di Sungai Angke mewakili alasan masyarakat yang sampai saat ini masih membuang sampah di Sungai Angke. Aktivitas semacam ini tentu dapat mecemari Sungai Angke yang juga airnya mengaliri hutan mangrove di SMMA, sehingga mempengaruhi kondisi kebersihan hutan mangrove yang tampak dari banyaknya sampah yang menyangkut dan masuk di kawasan hutan. Mereka juga belum memiliki kesadaran bahwa perilaku mereka yang membuang sampah di sungai dapat mencemari air laut sehingga dapat mengurangi hasil tangkapan ikan nelayan. Selain itu, perilaku membuang limbah industri oleh para pelaku industri, contohnya PLTU Muara Karang , juga dapat tergolong interaksi disosiatif antara manusia dengan alam. Limbah industri berbahaya bagi kondisi perairan pesisir yang menggenangi hutan mangrove serta dapat mengancam biodeversity ekosistem pesisir. Limbah juga dapat memperburuk dan menghambat pertumbuhan tanaman bakau sehingga luas hutan mangrove semakin menyempit. Hal ini patut diwaspadai mengingat hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting bagi keseimbangan lingkungan.

5.3 Ikhtisar

Status pengelolaan hutan yang dimiliki negara state property menyebabkan masyarakat sekitar tidak dapat leluasa memasuki dan memanfaatkan potensi sumberdaya alam di dalamnya. Keadaan tersebut berlangsung sejak ditetapkannya kawasan hutan menjadi Cagar Alam hingga kini berubah menjadi Suaka Margasatwa Muara Angke. Akses untuk memasuki kawasan hutan hanya diperuntukkan bagi warga atau pihak yang mendapatkan izin dari Kantor Balai Konservasi Sumberdaya Alam BKSDA DKI Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian kepada 50 responden, ternyata semua responden yang berarti 100 persen tidak memiliki akses masuk dan pemanfaatan hutan mangrove. Akses dalam hal ini termasuk pada kegiatan dan pemilikan bukaan lahan mangrove. Masyarakat Muara Angke sudah mengetahui dan paham pada peraturan pemerintah bahwa keberadaan hutan mangrove tidak dapat diganggu dengan aktivitas manusia. Interaksi asosiatif dan disosiatif terbagi menjadi dua golonngan besar yaitu antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam. Interaksi asosiatif dan disosiatif antar sesama manusia berdasarkan keterlibatan setiap aktor stakeholder. Bentuk interaksi sosio-ekologis bersifat Disosiatif antar Manusia terbagi menjadi lima kelompok yaitu marginalisasi, ancaman, konflik, demonstrasi dan bentrokan. Adapun penjelasan singkat dan terperinci dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9 secara terlampir. Interaksi sosio-ekologis berlandaskan etika lingkungan ekosentrisme antara manusia dengan alam menyangkut dengan upaya masyarakat dalam melindungi sumberdaya hutan mangrove seperti perlindungan satwa liar, menjaga ekosistem hutan dengan tidak memanen hasil hutan mangrove, dan penggunaan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Sedangkan interaksi berlandaskan etika antroposentrisme antara manusia dengan alam berupa perilaku membuang sampah dan limbah industri yang masih belum bisa dikendalikan seperti halnya yang dirinci dalam Tabel 7. Tabel 7. Bentuk Interaksi Sosio-Ekologi Berdasarkan Etika Antroposentrisme antara Manusia dengan Alam Tahun 2010 Interaksi Aktor Bentuk Kegiatan ASOSIATIF Antara Manusia dengan alam Warga Kampung Kali Adem Perlindungan satwa liar di sekitar kawasan hutan mangrove dan Suaka Marga Satwa Muara Angke. Pemanfaatan dan pemeliharaan hutan mangrove. Nelayan Tradisional Penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. DISOSIATIF Antara Manusia dengan alam Warga Kampung Kali Adem Membuang sampah rumah tangga, plastik, kertas ke Sungai Angke. Para pelaku industri seperti PLTU Muara Karang Membuang limbah industri di muara sungai. Sumber: Ringkasan Pengolahan Data Kuantitatif dan Kualitatif 2010

BAB VI PERUBAHAN YANG DITIMBULKAN DARI INTERAKSI

SOSIAL-EKOLOGIS MASYARAKAT MUARA ANGKE DI SEKITAR HUTAN MANGROVE

6.1 Dimensi Perubahan Sosial pada Masyarakat Pesisir Muara Angke

Interaksi antar elemen masyarakat pesisir Muara Angke tidak hanya meninggalkan konsekuensi pada kualitas dan daya dukung lingkungan hidup. Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya mengenai bentuk interaksi sosial- ekologi, terdapat beberapa perubahan sosial yang saling beriringan dan berhubungan timbal balik dengan perubahan ekosistem pesisir. Menurut Usman 2002, perubahan sosial di lingkungan pesisir didasarkan pada lingkungan alam sekitar yang membentuk sifat dan perilaku masyarakat. Lingkungan fisik dan biologi mempengaruhi interaksi sosial, distribusi peran sosial, karakteristik nilai, norma sosial, sikap serta persepsi yang melembaga dalam masyarakat. Nilai-nilai sosial yang berkembang dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi lingkungan dapat memacu terjadinya perubahan sosial.

6.1.1 Sistem Norma, Nilai, dan Tata Aturan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Hutan Mangrove

Pada kasus konflik yang melibatkan berbagai pihak di Muara Angke terkait pola pengelolaan kawasan hutan mangrove dan meyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan ideologi yang melatarbelakanginya. Masing-masing aktor memiliki pemahaman dan pola pikir yang berbeda terkait pemanfaatan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove. Perbedaan ini tentu berkaitan erat dengan pola interaksi dan perubahan sosial- ekologi di lingkungan pesisir Muara Angke. Ideologi pemanfaatan sumberdaya pesisir yang dianut masing-masing aktor adalah sebagai berikut: 1 Masyarakat nelayan menganut ideologi welfare orientation yaitu pemanfaatan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove untuk tujuan pemenuhan kesejahteraan pola nafkah. Masyarakat nelayan pada umumnya sangat bergantung pada kualitas dan kelimpahan sumberdaya pesisir termasuk hutan mangrove, mengingat mangrove memiliki banyak fungsi pemijahan ikan.

Dokumen yang terkait

Dampak reklamasi pantai utara jakarta terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat: tinjauan sosiologis masyarakat di sekitaran pelabuhan Muara Angke, Kelurahan Pluit, Jakarta Utara

10 55 168

Zakat hasil tangkapan laut di kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara

1 31 0

Keragaan Wanita Pekerja pada Industri Pengelohan Hasil Perikanan Tradisional (PI-PT) Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, DKI Jakarta

0 8 137

Penilaian Manfaat Ekonomi Hutan Mangrove di Kawasan Angke-Kapuk Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara

0 8 116

Studi Perbandingan Hasil Tangkapan Ikan yang Didaratkan dan Dilelang di PPJ Muara Angke dan PPI Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara.

0 11 123

Hubungan Motivasi Kerja dengan Perilaku Nelayan pada Usaha Perikanan Tangkap (Kasus di Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)

0 5 107

Sikap komunitas pesisir eks kali adem terhadap huniannya di rumah susun cinta kasih Tcu Chi 2 Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakrta Utara

0 7 108

Sikap Komunitas Pesisir Eks Kali Adem terhadap Huniannya di Rumah Susun Cinta Kasih Tzu Chi 2 Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara

0 12 9

Keanekaragaman Serangga di Ekosistem Mangrove: Studi Kasus Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Angke Kapuk, Jakarta Utara

0 4 72

Faktor faktor yang mempengaruhi migrasi kerja nelayan ke non nelayan di muara angke, kelurahan pluit, kecamatan penjaringan, jakarta utara

1 8 77