dengan pihak swasta terkait upaya penggusuran pemukiman nelayan yang berada di bantaran sungai oleh swasta yang difasilitasi pemerintah Kelurahan Pluit dan
Pemerintah daerah Kota Jakarta maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebagaimana yang telah dijelaskan Rudianto 2004, penyebab konflik
pemanfaatan lahan di pesisir Muara Angke dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1 batas dan status kepemilikan sumberdaya tidak jelas Izin Mendirikan
Bangunan, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai; 2 Terjadi “transfer of ownership
”; 3 Eksklusivisme penggunaan lahan untuk industri, pemukiman, perdagangan dan jasa yang disebabkan adanya “power of money”; 4 Pemerintah
daerah tidak konsisten menerapkan rencana tata ruang wilayah yang sudah menjadi produk Peraturan Daerah dan 5 Lemahnya penegakan hukum law
enforcement .
Pemerintah memiliki sudut pandang kawasan pemukiman kumuh harus digusur karena menyalahi peruntukan kawasan Daerah Aliran Sungai DAS.
Upaya penggusuran inilah yang melahirkan perlawanan keras dan terjadilah bentrokan warga Muara Angke melawan Pemerintah. Hal ini berdasarkan pada
keterangan dari responden:
Tahun 1990-an kawasan Kampung Kali Adem sempat akan digusur oleh petugas kamtib. Warga sudah diperingatkan berkali-kali tapi
kami di sini tetap bertahan saja bagaimana pun kondisinya. Kami kan sudah tinggal di sini Kampung Kali Adem terhitung sudah
bukan setahun-dua tahun, tetapi sudah puluhan tahun. Orang-orang menggusur kami ya untuk membangun apartemen dan komplek
perumahan orang kaya itu. Kami sudah tidak punya lahan dan apa- apa lagi di kampung halaman. Jadi, kami tetap bertahan sampai
pihak Pemkot benar-benar menggusur kami. Kami sempat melakukan perlawanan dengan banyak yang membawa golok,
pentungan untuk bersiap melawan petugas trantib. Tetapi akhirnya pihak Pemkot tidak jadi mennggusur karena kami melawan. Alasan
dari Pemerintah menggusur rumah kami katanya agar kota jadi rapi dan bagus, karena yang dilihat kan rumah-rumah elit bukan
penduduk seperti kami ini
Bapak Asi, 40 tahun, warga Kampung Kali Adem
5.2.4 Interaksi Sosial-Ekologi Berlandaskan Etika Antroposentrisme antara Manusia dengan Alam
Masyarakat pesisir Muara Angke yang hidup di sekitar hutan mangrove yang dihubungkan dengan bentangan Sungai Angke juga memiliki perilaku yang
unik dalam memperlakukan sungai yang mengairi hutan mangrove. Pengumpulan
data kuan disosiatif p
Gamb
Re sebesar 13
sungai un melaut. Te
di sungai k pengolaha
Responden bermukim
struktur d sampah d
sebelum s Se
sampah j persen 13
tangga, sa tidak ram
warga Ka warga yan
32
ntitatif yang pada sumbe
bar 13. Perse Sa
Sumb esponden ya
3 persen 6 ntuk memp
erdapat 32 karena di lin
an sampah n yang m
m di kompl dan sistem
dan tempat ampah dian
dangkan, te enis sampah
3 orang res ampah orga
mah lingkun ali Adem y
ng bermuk
1
g dilakukan erdaya alam
entase Masy ampah di Mu
ber: Hasil P ang tidak m
6 orang ya erlancar da
persen resp ngkungan m
h yang di masuk dala
lek peruma pengelolaa
penampun ngkut oleh p
erdapat 30 p h anorganik
sponden yan anik,dan an
ngan ini di yang tidak t
kim di peru
12
pada 50 re mnya seperti
yarakat Pesi uara Sungai
engolahan D membuang
ang meman an tidak m
ponden 16 mereka mem
isiapkan o am golong
ahan nelaya an sampah
ngan samp petugas kebe
persen respo k di sungai
ng membua norganik di
isebabkan o erdapat sist
umahan nel
26
30
esponden m pada Gamb
isir Muara A i Angke Tah
Data Kuanti sampah di
ng secara sa menghambat
orang yan mang tersed
oleh pengu an ini me
an permane yang jela
ah sementa ersihan Pem
onden 15 o i secara sen
ang segala j i sungai. P
oleh keada tem pengelo
layan Muar menunjukka
bar 13 berik
Angke yang hun 2010
itatif 2010 sungai dan
adar memun kapal nela
ng tidak me dia sistem pe
urus RW erupakan r
en yang me as, seperti
ara di seti mda Jakarta
orang men ngaja. Kemu
enis sampah Perilaku war
aan tempat olaan sampa
ra Angke.
Membuang sampah di s
Membuang anorganik d
Tidak mem sungai
Memunguti Memunguti
ulang samp
n interaksi kut.
g Membuan
n memungu nguti samp
ayan yang embuang sam
engangkuta masing-ma
responden emang mem
tersedianya iap wilayah
Utara. gaku memb
udian terdap h limbah ru
rga yang s tinggal m
ah seperti h Kondisi te
g semua jenis sungai Angke
g sampah di sungai Ang
mbuang sampah i sampah
i dan mendaur pah di sungai
yang
ng
utinya pah di
akan mpah
n dan asing.
yang miliki
a bak h RT
buang pat 26
umah angat
mereka halnya
empat
ke h di
r
tinggal yang kumuh dan berada di atas aliran sungai rumah terapung membuat mereka selalu membuang sampah di sungai, padahal mereka juga menggunakan
air sungai tersebut untuk keperluan mandi, cuci, kakus MCK.
Selama ini, keluarga saya buang sampah di sungai ini. Ya, mau bagaimana lagi. Di Kampung Kali Adem kan tidak ada temapt sampah
dan tidak ada yang mengumpulkan mengatur seperti yang ada di komplek perumahan bagus itu. Jadi, sampah mau dikumpulkan di
mana? Kampung kami saja letaknya di atas kali begini. Tidak di atas tanah. Jadi, ya mau tidak mau sampah langsung dibuang di kali.
Bapak Asi, 40 tahun, warga Kampung Kali Adem
Pernyataan Bapak Asi 40 tahun mengenai kebiasaannya membuang sampah di Sungai Angke mewakili alasan masyarakat yang sampai saat ini masih
membuang sampah di Sungai Angke. Aktivitas semacam ini tentu dapat mecemari Sungai Angke yang juga airnya mengaliri hutan mangrove di SMMA,
sehingga mempengaruhi kondisi kebersihan hutan mangrove yang tampak dari banyaknya sampah yang menyangkut dan masuk di kawasan hutan. Mereka juga
belum memiliki kesadaran bahwa perilaku mereka yang membuang sampah di sungai dapat mencemari air laut sehingga dapat mengurangi hasil tangkapan ikan
nelayan. Selain itu, perilaku membuang limbah industri oleh para pelaku industri,
contohnya PLTU Muara Karang , juga dapat tergolong interaksi disosiatif antara manusia dengan alam. Limbah industri berbahaya bagi kondisi perairan pesisir
yang menggenangi hutan mangrove serta dapat mengancam biodeversity ekosistem pesisir. Limbah juga dapat memperburuk dan menghambat
pertumbuhan tanaman bakau sehingga luas hutan mangrove semakin menyempit. Hal ini patut diwaspadai mengingat hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat
penting bagi keseimbangan lingkungan.
5.3 Ikhtisar
Status pengelolaan hutan yang dimiliki negara state property menyebabkan masyarakat sekitar tidak dapat leluasa memasuki dan
memanfaatkan potensi sumberdaya alam di dalamnya. Keadaan tersebut berlangsung sejak ditetapkannya kawasan hutan menjadi Cagar Alam hingga kini
berubah menjadi Suaka Margasatwa Muara Angke. Akses untuk memasuki