5.2.3.4 Unjuk Rasa Demonstrasi
Gerakan unjuk rasa yang kerap dilakukan oleh nelayan Muara Angke adalah upaya untuk menentang tindakan pembuangan limbah di muara sungai
yang dilakukan oleh perusahaan pemerintah PLTU Muara Karang. Limbah industri berdampak langsung pada kualitas perairan yang menggenangi hutan
mangrove, sehingga secara otomatis dapat merusak keanekaragaman hayati ekosistem pesisir. Nelayan merasa sangat dirugikan karena limbah dapat membuat
hasil tangkapan mereka menjadi berkurang drastis akibat banyaknya biota laut yang mati. Tokoh masyarakat Muara Angke sudah menempuh jalur hukum dan
sering mengadu ke pemerintah Pemerintah Kota Jakarta Utara, tetapi kasus pencemaran ini belum mendapat tanggapan yang tegas dari pihak yang
berwenang. Masalah pencemaran perairan sungai dan pesisir di Muara Angke dan
pesisir utara Jakarta hingga kini masih belum menemui titik tengah penyelesaian. Masyarakat yang merasa dirugikan akibat pencemaran seperti nelayan masih
sering melakukan upaya demonstrasi untuk memperjuangkan hak mereka. Pemerintah kurang dapat mengambil tindakan tegas karena kasus pencemaran ini
melibatkan perusahaan pemerintah yaitu PLTU Muara Karang.
5.2.3.5 Bentrokan
Bentokan merupakan puncak dari konflik yang berekskalasi antara masyarakat pesisir Muara Angke dengan pengembang kawasan komersil PIK.
Peran pemerintah dalam mendukung pihak swasta PIK juga menjadi faktor penyebab kemarahan masyarakat. Konflik pemanfaatan lahan antara pengembang
PIK dengan warga Kali Adem muncul akibat tingginya laju pertumbuhan kawasan kumuh yang mengelilingi daerah pemukiman mewah. Kawasan
pemukiman kumuh Kampung Kali Adem sendiri terbentuk akibat status open access
pada wilayah bantaran Kali Angke. Bentuk konflik masyarakat Muara Angke dengan pihak swasta yang
mengarah pada terjadinya bentrokan juga dapat dilihat pada Gambar 11 dengan hasil terdapat 16 persen 7 orang dari 46 responden yang tidak menyetujui
kegiatan swasta. Mereka adalah yang warga pernah terlibat peristiwa kekerasan
dengan pihak swasta terkait upaya penggusuran pemukiman nelayan yang berada di bantaran sungai oleh swasta yang difasilitasi pemerintah Kelurahan Pluit dan
Pemerintah daerah Kota Jakarta maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebagaimana yang telah dijelaskan Rudianto 2004, penyebab konflik
pemanfaatan lahan di pesisir Muara Angke dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1 batas dan status kepemilikan sumberdaya tidak jelas Izin Mendirikan
Bangunan, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai; 2 Terjadi “transfer of ownership
”; 3 Eksklusivisme penggunaan lahan untuk industri, pemukiman, perdagangan dan jasa yang disebabkan adanya “power of money”; 4 Pemerintah
daerah tidak konsisten menerapkan rencana tata ruang wilayah yang sudah menjadi produk Peraturan Daerah dan 5 Lemahnya penegakan hukum law
enforcement .
Pemerintah memiliki sudut pandang kawasan pemukiman kumuh harus digusur karena menyalahi peruntukan kawasan Daerah Aliran Sungai DAS.
Upaya penggusuran inilah yang melahirkan perlawanan keras dan terjadilah bentrokan warga Muara Angke melawan Pemerintah. Hal ini berdasarkan pada
keterangan dari responden:
Tahun 1990-an kawasan Kampung Kali Adem sempat akan digusur oleh petugas kamtib. Warga sudah diperingatkan berkali-kali tapi
kami di sini tetap bertahan saja bagaimana pun kondisinya. Kami kan sudah tinggal di sini Kampung Kali Adem terhitung sudah
bukan setahun-dua tahun, tetapi sudah puluhan tahun. Orang-orang menggusur kami ya untuk membangun apartemen dan komplek
perumahan orang kaya itu. Kami sudah tidak punya lahan dan apa- apa lagi di kampung halaman. Jadi, kami tetap bertahan sampai
pihak Pemkot benar-benar menggusur kami. Kami sempat melakukan perlawanan dengan banyak yang membawa golok,
pentungan untuk bersiap melawan petugas trantib. Tetapi akhirnya pihak Pemkot tidak jadi mennggusur karena kami melawan. Alasan
dari Pemerintah menggusur rumah kami katanya agar kota jadi rapi dan bagus, karena yang dilihat kan rumah-rumah elit bukan
penduduk seperti kami ini
Bapak Asi, 40 tahun, warga Kampung Kali Adem
5.2.4 Interaksi Sosial-Ekologi Berlandaskan Etika Antroposentrisme antara Manusia dengan Alam