minggunya berjumlah 34 persen dan responden yang terganggu oleh satwa yang mengungsi ke pemukiman setiap harinya sebesar 12 persen. Satwa yang kerap kali
ditemui warga adalah utamanya monyet, ular, burung, buaya, biawak dan sebagainya. Satwa yang hampir setiap hari berkunjung ke pemukiman warga pada
umumnya adalah monyet. Monyet sebagai satwa yang hidupnya berkoloni berpindah menuju pemukiman warga untuk mencari makanan dengan mengacak-
acak tempat sampah. Penyempitan luasan hutan mangrove di Muara Angke untuk dijadikan
sentra bisnis dan pemukiman, membuat habitat bagi biota laut juga semakin sempit. Hutan mangrove juga menjadi habitat biota darat dan tempat singgah bagi
satwa yg hidup di udara. Perambahan hutan mangrove membuat beberapa spesies satwa tersebut bermigrasi mencari habitat baru dan pada akhirnya dapat
mengganggu ketentraman manusia yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Berdasarkan kondisi yang dialami masyarakat Muara Angke dapat disimpulkan
bahwa kerusakan hutan mangrove dan penyempitan luasan lahan mangrove akibat tekanan pembangunan, dapat berimbas pada hilangnya habitat satwa, sehingga
tidak heran apabila sering terjadi serbuan koloni satwa di pemukiman warga.
6.3 Ikhtisar
Nilai-nilai sosial yang berkembang dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi lingkungan dapat memacu terjadinya perubahan sosial. Konflik sebagai
pengantar pada terjadinya perubahan sosial di Muara Angke, memiliki aspek keterkaitan dengan sistem nilai dan norma etika ekosentrisme yang mulai luntur
serta ketidakjelasan tata aturan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove. Kondisi ini sangat terlihat pada perbenturan ideologi
pengelolaan sumberdaya alam dari masing-masing aktor. Kerusakan lingkungan di Muara Angke menjadi sebuah keniscayaan
selama interaksi pihak-pihak yang menggunakan sumberdaya alam hutan mangrove masih timpang dalam hal penguasaan lahan, pemanfaatan dan
konservasi hutan mangrove. Perubahan lingkungan dari serangkaian interaksi sosial dan ekologi yang terjadi pada masyarakat pesisir Muara Angke dilihat dari
fenomena bencana banjir, tingkat hasil tangkapan nelayan dan migrasi swasta ke
perumahan penduduk yang dapat mengganggu kenyamanan. Ketiga fenomena ini adalah peristiwa yang sering dialami oleh masyarakat seiring dengan laju
pembagunan yang berkembang pesat di Jakarta khususnya di kawasan pesisir Muara Angke.
Masyarakat Muara Angke kini dapat dilanda banjir baik banjir rob maupun banjir kiriman dengan frekuensi yang sangat sering yaitu banjir harian
setiap hari. Masyarakat nelayan juga mengalami penurunan hasil tangkapan dengan kisaran kurang dari setengah hasil tangkapan hingga lebih dari setengah
hasil tangkapan. Kemudian, masyarakat juga mengalami gangguan dari satwa akibat migrasi satwa yang habitatnya terdesak dengan pembangunan yang
dilakukan swasta. Konsekuensi yang dirasakan masyarakat Muara Angke ini juga ada pengaruh dari perubahan iklim cuaca buruk, ketidakjelasan iklim, naiknya
permukaan air laut dan gelombang tinggi yang berakibat pada terjadinya banjir dan penurunan hasil tangkapan pada nelayan. Berkurangnya luasan lahan
mangrove membuat satwa kehilangan habitatnya sehingga ‘mengungsi’ ke wilayah pemukiman warga dan jika hal ini sering terjadi maka akan merugikan
keamanan serta kenyamanan lingkungan rumah warga. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah interaksi sosial-ekologi yang tidak
seimbang dan terjadi kontestasi kepentingan dapat menimbulkan dampak sosial- ekologis yang merugikan. Interaksi yang dilakukan secara tidak adil dan
mengabaikan kepentingan pihak lain termasuk merugikan alam hanya akan memberikan kuntungan jangka pendek bagi segelintir pihak yang mengeksploitasi
namun justru membawa kerugian jangka panjang bagi semua masyarakat.
BAB VII PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan pada hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Akesibilitas masyarakat Muara Angke terhadap sumberdaya hutan mangrove
terbentur dengan kebijakan pemerintah yang secara top down menetapkan kawasan hutan sebagai kawasan konservasi dari Cagar Alam menjadi Suaka
Margasatwa 2.
Bentuk interaksi sosial-ekologi asosiatif yang terdapat di lingkungan masyarakat Muara Angke, Kelurahan Pluit adalah sebagai berikut:
a. Interaksi sosial ekologi asosiatif antara sesama manusia berlangsung dalam
berbagai bentuk berdasarkan aktor-aktor yang terlibat. Bentuk interaksi asosiatif warga Muara Angke adalah gotong royong.
b. Bentuk dukungan dan interaksi positif antara masyarakat Muara Angke
dengan pemerintah pengelola hutan mangrove yaitu dengan kemitraan. Pola ini tercermin dengan mematuhi peraturan dan membantu pemerintah
dalam menjaga hutan mangrove. Kemudian, bentuk kegiatan penghijauan hutan mangrove yang dirakarsai pemerintah juga dilakukan oleh warga
Muara Angke. c.
Interaksi asosiatif yang berlangsung antara masyarakat Muara Angke dengan swasta PIK yang berlangsung hanya sebatas motif kebutuhan
ekonomi masing-masing pihak. d.
Interaksi sosial-ekologi antara masyarakat dengan alam etika ekosentrisme yaitu hutan mangrove Muara Angke meliputi penggunaan
kearifan lokal berupa mitos untuk menjaga kelestarian alam. Kemudian, dari segi penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan.
3. Bentuk interaksi sosial-ekologi disosiatif yang terdapat di lingkungan
masyarakat Muara Angke, kelurahan Pluit adalah sebagai berikut: a.
Marginalisasi akibat kesenjangan status ekonomi-sosial.