Sistem Norma, Nilai, dan Tata Aturan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Hutan Mangrove

BAB VI PERUBAHAN YANG DITIMBULKAN DARI INTERAKSI

SOSIAL-EKOLOGIS MASYARAKAT MUARA ANGKE DI SEKITAR HUTAN MANGROVE

6.1 Dimensi Perubahan Sosial pada Masyarakat Pesisir Muara Angke

Interaksi antar elemen masyarakat pesisir Muara Angke tidak hanya meninggalkan konsekuensi pada kualitas dan daya dukung lingkungan hidup. Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya mengenai bentuk interaksi sosial- ekologi, terdapat beberapa perubahan sosial yang saling beriringan dan berhubungan timbal balik dengan perubahan ekosistem pesisir. Menurut Usman 2002, perubahan sosial di lingkungan pesisir didasarkan pada lingkungan alam sekitar yang membentuk sifat dan perilaku masyarakat. Lingkungan fisik dan biologi mempengaruhi interaksi sosial, distribusi peran sosial, karakteristik nilai, norma sosial, sikap serta persepsi yang melembaga dalam masyarakat. Nilai-nilai sosial yang berkembang dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi lingkungan dapat memacu terjadinya perubahan sosial.

6.1.1 Sistem Norma, Nilai, dan Tata Aturan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Hutan Mangrove

Pada kasus konflik yang melibatkan berbagai pihak di Muara Angke terkait pola pengelolaan kawasan hutan mangrove dan meyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan ideologi yang melatarbelakanginya. Masing-masing aktor memiliki pemahaman dan pola pikir yang berbeda terkait pemanfaatan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove. Perbedaan ini tentu berkaitan erat dengan pola interaksi dan perubahan sosial- ekologi di lingkungan pesisir Muara Angke. Ideologi pemanfaatan sumberdaya pesisir yang dianut masing-masing aktor adalah sebagai berikut: 1 Masyarakat nelayan menganut ideologi welfare orientation yaitu pemanfaatan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove untuk tujuan pemenuhan kesejahteraan pola nafkah. Masyarakat nelayan pada umumnya sangat bergantung pada kualitas dan kelimpahan sumberdaya pesisir termasuk hutan mangrove, mengingat mangrove memiliki banyak fungsi pemijahan ikan. Sehingga kondisi ini sangat berpengaruh pada tingkat produktivitas perikanan tangkap di wilayah Muara Angke, apalagi bagi lingkup nelayan tradisional yang jarak melaut relatif lebih dekat dengan tepi pantai. Ekosistem mangrove yang rusak tentu menjadi salah satu faktor menurunnya hasil tangkapan ikan dan penguranan pendapatan bagi nelayan. Pola pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove yang dianut oleh nelayan tradisional Muara Angke memiliki tata kelola dan sistem nilai berupa kearifan lokal. Kearifan lokal tersebut berupa mitos-mitos yang diciptakan dari generasi ke generasi mengenai hutan mangrove yang dianggap keramat. Masyarakat secara sadar, bahkan tidak berani melakukan kerusakan dan mengganggu satwa yang terdapat di dalam hutan. Kepercayaan yang dianut masyarakat inilah yang secara tidak langsung mengatur interaksi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove. 2 Pengelola Kawasan SMMA sebagai dari Pemerintah pusat menganut ideologi konservasi. Ideologi ini erat dengan konsep perlindungan, pengawetan, pemeliharaan, dan penyelamatan sumberdaya hutan mangrove dari laju pengerusakan. Status pengelolaan hutan yang dimiliki negara state property menyebabkan masyarakat sekitar tidak dapat leluasa memasuki dan memanfaatkan potensi sumberdaya alam di dalamnya. Keadaan tersebut berlangsung sejak ditetapkannya kawasan hutan menjadi Cagar Alam hingga kini berubah menjadi Suaka Margasatwa Muara Angke. 3 Swasta diwakili oleh PIK berpegang pada ideologi kapitalisme dan profitifisme yang tercermin pada ekspansi usaha dan peningkatan laju reklamasi pantai utara Jakarta untuk digunakan kawasan bisnis. Pengembangan bisnis di sektor properti dan pemukiman merangsang para investor untuk berlomba-lomba melakukan reklamasi wilayah pantai utara Jakarta guna memperoleh laba sebesar-besarnya. Kondisi ini membuat pihak swasta memiliki kuasa dan otoritas lebih besar untuk memanfaatkan sumberdaya dibandingkan dengan nelayan Muara Angke. Pembangunan dalam skala besar dalam kawasan reklamasi tersebut kini justru mendatangkan petaka bagi sebagian besar masyarakat pesisir Muara Angke yang juga memiliki ikatan dengan sumberdaya pesisir. Tumpang tindih wewenang dan kepentingan antara swasta dengan masyarakat nelayan yang pada akhirnya menyebabkan konflik. 4 Pemerintah daerah di level Provinsi DKI Jakarta dan Kotamadya Jakarta Utara yang menganut ideologi integralisme, yaitu pola pikir untuk penyatuan atau penggabungan serta penyelarasan kepentingan berbagai elemen masyarakat demi terwujudnya stabilitas di tingkat lokal. Pemerintah daerah dituntut dapat mewadahi dan mengatur pengembangan wilayah dari segi ekonomi, sosial, budaya, politik, dll. Hanya saja, dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah pesisir, pemerintah masih cenderung berpihak kepada swasta dengan keluarnya kebijakan reklamasi pantai utara Jakarta untuk dijadikan kawasan bisnis dan pemukiman elit. Hal tersebut juga yang mendorong terjadinya konflik bentrokan antara masyarakat nelayan Muara Angke dengan pemerintah daerah sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Berdasarkan uraian di atas dapat disarikan bahwa beberapa bentuk interaksi yang bersifat disosiatif antar elemen masyarakat Muara Angke bermuara pada sistem nilai dan norma yang dianut oleh masing-masing aktor. Perubahan sosial yang terjadi tidak hanya berupa konflik dan interaksi disosiatif lainnya. Seiring semakin maraknya ideologi kapitalisme di kalangan elit swasta dan pemerintah yang high consumption dan rakus terhadap sumberdaya alam, ternyata mengakibatkan pengikisan nilai, norma, dan tata aturan. 6.1.2 Ketidakjelasan Aturan Main dan Pengikisan Nilai-Nilai Sosial sebagai Akar Konflik Pemanfaatan Hutan Mangrove Moda produksi dan konsumsi di sektor perikanan yang berubah seiring perkembangan zaman, membuat perubahan tata nilai dan sikap masyarakat terkait pengelolaan sumberdaya pesisir. Fenomena ini juga ditambah dengan dominasi pemerintah dan swasta yang terlalu besar dalam penentuan kebijakan pemanfaatan kawasan pesisir dan hutan mangrove. Sebagaimana yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya mengenai konflik antara berbagai elemen masyarakat Muara Angke, peristiwa ini berawal dari buramnya aturan main dan tidak ada ketegasan regulasi dari pemerintah. Selain itu, persaingan terbuka antar sesama nelayan tradisonal dan pendatang juga disebabkan karena tidak ada sistem aturan pembatasan wilayah yang jelas di kawasan pesisir Jakarta. Kasus konflik pengelolaan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove antara Masyarakat Kali Adem dengan PIK dan pemerintah SMMA dan pemerintah daerah memiliki akar konflik sebagai berikut: 1 Perbenturan ideologi atau mazhab pemanfaatan kawasan pesisir antar kedua belah pihak. Nelayan yang menganut mazhab welfare orientation berhadapan dengan mazhab profitisme pihak PIK. Sebagaimana yang dikemukakan Dharmawan 2007, ideologi profit-maximizing economy yang dianut oleh para pelaku ekonomi yang selalu melakukan kalkulasi benefit and cost analysis dalam operasionalisasi praktik ekonomi produksi, distribusi, dan konsumsi turut mengukuhkan proses kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan. Kondisi tersebut yang memicu ketegangan sosial antar kedua pihak sehingga pecah mencadi konflik yang berekskalasi. 2 Tumpang tindih kewenangan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang didominasi swasta PIK dan pemerintah. Konflik warga kampung Kali Adem dengan PIK mengacu pada pergeseran etika lingkungan ke arah etika antroposentrisme yang dianut oleh PIK. Etika ini menitikberatkan pada eksploitasi kawasan pesisir hutan mangrove secara besar-besaran yang mengabaikan masalah krisis lingkungan. Selain itu, akar konflik juga berasal dari perbedaan status sosial dam ekonomi yang sangat timpang antara warga PIK dengan masyarakat nelayan timbul prasangka dan kecemburuan sosial, perbedaan suku dan budaya yaitu PIK didominasi oleh suku Tionghoa dan nelayan suku Jawa, Madura, Bugis, dll. 3 Sedangkan akar konflik masyarakat kali Adem dengan pemerintah lebih pada ketidakjelasan kebijakan yang diambil pemerintah, sehingga membuat bingung masyarakat sekaligus mempersempit ruang akses masyarakat nelayan terhadap sumberdaya hutan mangrove. Hal tersebut mengarah pada masalah pokok yaitu terbenturnya ideologi konservasi pemerintah dengan welfare orientation masyarakat nelayan. Sementara itu, pemerintah daerah juga cenderung memihak PIK dalam operasionalisasi kebijakan yang menimbulkan perlawanan dari nelayan Kampung Kali Adem. 4 Tidak ada aturan yang jelas mengenai batas-batas wilayah konservasi hutan mangrove milik negara state property dengan wilayah privat hutan mangrove milik swasta private property. Sehingga nelayan kerap mengalami pengusiran oleh PIK saat merapat untuk singgah di tepi hutan mangrove yang dianggap nelayan adalah kawasan konservasi. Sedangkan konflik yang melibatkan sesama nelayan nelayan lokal tradisional dengan nelayan pendatang Muara Angke juga berkaitan dengan perubahan dan ketidakjelasan tatanan nilai sosial yang diuraikan sebagai berikut: 1 Terjadi tabrakan nilai dan norma antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal tradisional Muara Angke. Nelayan pendatang dari hampir seluruh wilayah nusantara tentu membawa norma dan kebiasaan yang berbeda-beda. Banyak nelayan pendatang yang belum paham aturan konservasi hutan mangrove Muara Angke, sehingga sering terjadi ketegangan dengan nelayan tradisional. Pengusiran terhadap nelayan pendatang oleh nelayan lokal kerap terjadi ketika nelayan pendatang memasuki kawasan hutang mangrove. Mereka biasanya singgah atau melakukan aktivitas penangkapan di perairan Jakarta. Nelayan pendatang rata-rata merupakan nelayan modern, dicirikan dari besarnya kapal dan kelengkapan alat tangkap yang mereka gunakan. 2 Perbedaan alat tangkap antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal juga memicu ketegangan antar kedua pihak. Nelayan pendatang yang menggunakan jaring arad menimbulkan perlawanan dari nelayan lokal. Pengoperasian jaring arad dianggap nelayan lokal dapat merusak lingkungan, padahal nelayan lokal sangat bergantung pada kelestarian lingkungan pesisir untuk menunjang kelangsungan hidupnya. 3 Persaingan wilayah tangkap fishing ground antara kedua kelompok nelayan mengingat pantai adalah sumberdaya yang sifatnya open access. 4 Jalur pelayaran yang sangat padat di perairan Jakarta membuat wilayah ini sering terjadi overfshing atau aktivitas penangkapan ikan yang berlebihan, sehingga menyebabkan kelangkaan sumberdaya hayati pesisir. Kelangkaan tersebut kemudian menyebabkan persaingan antar nelayan menjadi semakin ketat.

6.2 Dimensi Perubahan Lingkungan

Dokumen yang terkait

Dampak reklamasi pantai utara jakarta terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat: tinjauan sosiologis masyarakat di sekitaran pelabuhan Muara Angke, Kelurahan Pluit, Jakarta Utara

10 55 168

Zakat hasil tangkapan laut di kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara

1 31 0

Keragaan Wanita Pekerja pada Industri Pengelohan Hasil Perikanan Tradisional (PI-PT) Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, DKI Jakarta

0 8 137

Penilaian Manfaat Ekonomi Hutan Mangrove di Kawasan Angke-Kapuk Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara

0 8 116

Studi Perbandingan Hasil Tangkapan Ikan yang Didaratkan dan Dilelang di PPJ Muara Angke dan PPI Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara.

0 11 123

Hubungan Motivasi Kerja dengan Perilaku Nelayan pada Usaha Perikanan Tangkap (Kasus di Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)

0 5 107

Sikap komunitas pesisir eks kali adem terhadap huniannya di rumah susun cinta kasih Tcu Chi 2 Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakrta Utara

0 7 108

Sikap Komunitas Pesisir Eks Kali Adem terhadap Huniannya di Rumah Susun Cinta Kasih Tzu Chi 2 Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara

0 12 9

Keanekaragaman Serangga di Ekosistem Mangrove: Studi Kasus Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Angke Kapuk, Jakarta Utara

0 4 72

Faktor faktor yang mempengaruhi migrasi kerja nelayan ke non nelayan di muara angke, kelurahan pluit, kecamatan penjaringan, jakarta utara

1 8 77