Banyak warga yang tidak pernah ikut gotong royong. Warga saya saja hanya itu-itu saja yang suka ikut kami gotong royong. Sibuk melaut terus.
Ya tahu sendiri kan kalo melaut itu butuh waktu yang lama, bisa semalaman, bisa berhari-hari. Apalagi sekarang tangkapan makin
sedikit, jadi nelayan juga lebih lama melautnya. Kalau nelayan tidak pergi melaut dan tidak dapat uang ya nanti kasihan keluarganya.
Mungkin karena itu juga kegiatan gotong royong hanya bisa diikuti oleh warga yang bukan nelayan. Padahal gotong royong juga untuk
kepentingan semua warga
Bapak Mul, 48 tahun, Warga Kampung Kali Adem.
Kegiatan gotong royong yang diadakan masyarakat dalam hal bersih- bersih lingkungan sekitar sungai dan hutan mangrove justru banyak yang
menganggap tidak terlalu menguntungkan dari segi ekonomi. Nelayan banyak yang mementingkan kegiatan melaut untuk menambah pendapatannya. Hal ini
tidak sepenuhnya dapat dijadikan alasan bahwa penumpukan sampah di muara Kali Angke adalah kesalahan warga Muara Angke. Mengingat sampah adalah
masalah induk dari pengelolaan Daerah Aliran Sungai DAS yang saling terkait dari hulu ke hilir.
5.2.1.2 Kemitraan
Interaksi asosiatif juga bisa dalam bentuk kemitraan yang berarti keberadaan elemen masyarakat yang satu bersifat saling menguntungkan dengan
elemen masyarakat yang lainnya. Bentuk kemitraan yang terjalin pada lingkup masyarakat Muara Angke melibatkan beberapa aktor seperti warga Muara Angke
dengan pemerintah, warga dengan pihak swasta pelaku bisnis dan industri, serta kemitraan yang terbangun antar warga sendiri. Pola kemitraan berdasarkan
aktornya dapat dijelaskan sebagai berikut: a
Kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat pesisir Muara Angke. Bentuk kemitraan ini merupakan pola kerjasama yang berkaitan langsung dengan
pemanfaatan, pelestarian, dan perlindungan hutan mangrove. Interaksi antara masyarakat pesisir Muara Angke dengan Pemerintah dalam hal ini adalah
pemerintah pengelola hutan mangrove yaitu Suaka Margasatwa Muara Angke berkaitan dengan kebijakan yang diturunkan menjadi peraturan mengenai
upaya konservasi hutan mangrove dan ekosistem di dalamnya. Ketentuan- ketentuan umum tentang konservasi sumberdaya alam dapat ditemukan dalam
UUPLH Pasal 1 ayat 15 bahwa konservasi sumberdaya alam merupakan
pengelolaan sumberdaya alam tidak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana, serta sumberdaya alam yang terbaharui
untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya, dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
Upaya konservasi sumberdaya mangrove yang dilakukan oleh pemerintahan DKI Jakarta yang terdiri dari Kementrian Kehutanan dan Pemda
DKI Jakarta melalui lembaga konservasi Suaka Marga Satwa Muara Angke pasti menimbulkan konsekuensi sosial pada masyarakat yang memiliki kedekatan
secara geografis dan sejarah dengan keberadaan sumberdaya tersebut. Respon atau tanggapan masyarakat Muara Angke mengenai peraturan yang ditetapkan
pemerintah untuk melindungi ekosistem hutan mangrove berbeda-beda. Adapun gambaran dukungan masyarakat pesisir Muara Angke terhadap kebijakan
pemerintah dalam hal penelolaan hutan mangrove dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Jumlah Persentase Dukungan Masyarakat Pesisir Muara Angke terhadap Kebijakan Konservasi Hutan Mangrove oleh Pemerintah Tahun 2010
Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif 2010 Data pada gambar di atas dapat diinterpretasikan bahwa secara umum
masyarakat pesisir Muara Angke menanggapi secara positif akan kebijakan pemerintah dalam upaya perlindungan dan rehabilitasi hutan mangrove.
Dukungan masyarakat yang sangat mendalam terhadap kebijakan konservasi mangrove oleh pemerintah tercermin pada kemauan masyarakat untuk tidak
hanya sekedar mematuhi peraturan tetapi juga ikutserta melestarikan ekosistem hutan mangrove atau bahkan ikut mengajak warga lain agar mematuhi peraturan
pemerintah. Persentase responden n = 50 orang yang termasuk dalam golongan
2 26
38 34
Menentang dan melanggar kebijakan pemerintah
Tidak mendukung Biasa saja tidak acuh
Dukung dan melaksanakan Dukung, melaksanakan, dan ikut
menghimbau masyarakat
5 10 15 20 25 30 35 40
tersebut adalah sebesar 34 persen 17 orang . Kemudian responden yang hanya sebatas memberi dukungan dengan cara mematuhi secara sadar terhadap peraturan
pemerintah adalah sejumlah 34 persen 19 orang. Sementara itu, ada responden yang tidak acuh atau menganggapnya biasa saja tanpa merasa ada keterkaitan dan
kedekatan dengan pihak pemerintah yang merumuskan kebijakan tersebut yaitu sebesar 26 persen 13 orang serta hanya sejumlah dua persen 1 orang yang tidak
mendukung kebikajan pemerintah untuk melindungi hutan mangrove. Interaksi asosiatif terlihat dari banyaknya masyarakat mendukung dan
melaksanakan peraturan pemerintah SMMA dan merasa bahwa masyarakat memang memiliki hubungan yang erat dengan ekosistem hutan mangrove. Lain
halnya dengan masyarakat yang tidak acuh bahkan enggan untuk mendukung dan mematuhi kebijakan pemerintah, karena pemerintah SMMA selaku pelaksana
kebijakan pemerintahan di lapangan kurang menjalin kedekatan dan sosialisasi dengan warga. Pola hubungan seperti ini membuat beberapa responden merasa
tidak perlu mematuhi peraturan pemerintah terkait pengelolaan hutan mangrove. Petugas SMMA yang secara intensif berada di lapangan untuk menjalankan
pemantauan dan penjagaan kawasan hutan mangrove juga mengakui keadaan tersebut.
Memang saya akui, selama ini pihak kami kurang melihat secara langsung pada kondisi masyarakat. Belum tahu persis akan kondisi yang
masyarakat rasakan. Malah baru tahu ya pas ikut Dik Nendy wawancara ambil data di masyarakat. Saya rasa, mungkin karena itu juga ada saja
masyarakat yang masih tidak tanggap sama peraturan SMMA. Mungkin juga mereka hanya berpikir yang penting gimana caranya menaikkan
pendapatan dan hasil tangkapnya
Bapak Tan, 38 tahun, polisi hutan Suaka Marga Satwa Muara Angke.
Bentuk dukungan masyarakat pesisir Muara Angke khususnya nelayan yang tinggal di dekat hutan mangrove yaitu kerap membantu tugas para petugas
SMMA dengan ikut menegur warga yang kedapatan sedang mengambil hasil hutan dan menagkap satwa di hutan mangrove secara ilegal. Warga yang
melanggar peraturan pemerintah tersebut pada umumnya bukanlah warga Muara Angke melainkan warga dari luar Kelurahan Pluit bahkan dari luar Jakarta. Selain
ikut menegur, masyarakat juga tidak segan untuk melaporkan kepada petugas SMMA jika ada kejadian penyusupan para oknum di hutan mangrove seperti
kasus pada Bapak Asi 40 tahun.
Saya tahu kalau ada oknum yang menangkap satwa di hutan sini. Tapi itu bukan orang sini kok, rata-rata mereka berasal dari luar Muara
Angke. Karena saya merasa sungkan dan menghormati binatang di hutan ini, jadi ketika saya berangkatpulang melaut kebetulan ada yg ketahuan
menangkap hewan ya saya tegur, saya usir biar pergi dan tidak jadi menangkap. Terkadang, saya juga adukan ke petugas
Bapak Asi, 40 tahun, warga Kampung Kali Adem.
Penuturan Bapak Asi tersebut juga diperkuat dengan penuturan Bapak Was 42 tahun selaku polisi hutan yang bertugan untuk mengamankan dan
menjaga kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke SMMA.
Bulan ini Desember2010 saja sudah ada yang menangkap burung di SMMA. Tetapi pelakunya bukan warga Muara Angke, melainkan warga
Kamal Muara. Kebanyakan warga di sini tidak ada yang berani macam- macam tangkap dan melukai satwa karena selain sudah tahu
peraturannya juga ada kepercayaan yang diyakini kalau menangkap satwa pasti nanti akan terjadi sesuatu hal seperti kesurupan. Ketika ada
orang yang menyusup ke hutan, saya sering mendapat laporan dari warga sini
Bapak Was, 42 tahun, polisi hutan Suaka Marga Satwa Muara Angke .
Warga yang secara suka rela mendukung dan mengajak warga lainnya untuk mematuhi peraturan pemerintah SMMA adalah mereka yang memang
menyadari pentingnya keberadaan hutan mangrove untuk mendukung kehidupan nelayan. Seperti kasus yang terjadi pada Bapak Nim 55 tahun.
Tahun 1970-an, Kelurahan Pluit ini masih banyak sekali hutannya. Rumah masih sepi. Kalau banyak hutan seperti dulu itu rasanya hidup itu
indah. Ini serius lho ya. Jangan sampai habis hutan ini. Tidak hanya masyarakat miskin yang sengsara, tetapi kita semua nanti yang sengsara.
Saya orang Angke asli juga suka bilang ke tetangga atau teman-teman, bahwa saya paling tigak setuju kalau hutan ini habis, yang ada sekarang
ini ya harus dijaga jangan sampai jadi rumah lagi
Bapak Nim, 55 tahun, warga Perumahan Nelayan Muara Angke.
Berdasarkan uraian di atas, maka secara singkat bentuk dukungan dan interaksi positif antara masyarakat Muara Angke dengan pemerintah pengelola
hutan mangrove yaitu dengan mematuhi peraturan tidak sembarangan masuk kawasan hutan dan mengambil hasil hutan serta satwa yang dilindungi dan
membantu tugas polisi hutan dalam menjaga dan memantau kondisi sekitar hutan dari penyusupan pihak lain. Sedangkan masyarakat yang tidak mendukung
disebabkan karena merasa petugas SMMA tidak pernah menjalin kedekatan dengan mereka.
b Kemitraan antara warga pesisir Muara Angke dengan para pelaku bisnis dan
industri swasta. Pembangunan dan laju pertumbuhan ekonomi dan bisnis berkembang pesat khususnya di pantai utara Jakarta, mengingat kawasan ini
merupakan kawasan niaga sejak masa kolonial Belanda. Ekosistem hutan mangrove di Muara Angke semakin lama juga semakin terdesak seiring
pesatnya industrialisasi di bidang bisnis property dan pariwisata. Pembukaan lahan oleh pihak swasta sebagai contoh: pengembang perumahan elit PIK
pun tidak dapat terhindarkan dan sudah dilakukan sejak tahun 1970-an, 1980- an, bahkan berlanjut hingga kini. Berikut adalah gambaran bagaimana
kawasan hutan mangrove yang diapit oleh keberadaan pemukiman warga dan kawasan industri.
Gambar 5. Kawasan Hutan Mangrove Muara Angke di Tengah Pembangunan Perumahan dan Pusat Industri Tahun 2009
Sumber: Pencitraan Satelit oleh Google Earth 2009 Gambar 5. dapat menampilkan sebuah fenomena keberadaan hutan
mangrove terdapat di tengah-tengah kawasan pembangunan industri komplek pertokoanruko, kantor, usaha periwisata dan tempat hiburan dan hunian elit.
Padahal sebelum berdirinya kawasan industri dan hunian elit, kawasan tersebut merupakan kawasan hutan mangrove yang lebat dan rawa yang menunjang daya
dukung lingkungan di area pesisir Jakarta. Keberadaan kawasan industri yang mengapit hutan mangrove secara langsung atau tidak langsung dapat
menggambarkan interaksi sosial antara pihak swasta selaku pemilik modal dengan masyarakat pesisir Muara Angke. Terdapat pro dan kontra mengenai kegiatan
pembanguan yang dilakukan oleh pihak swasta di kalangan masyarakat pesisir Muara Angke yang dapat dilihat pada Gambar 6.
Hutan Mangrove Muara Angke
Kawasan Swasta Perumahan elit,
Industri, dan Pariwisata
Gambar 6. Respon Masyarakat Pesisir Muara Angke terhadap Pembangunan Kawasan Elit dan Industri oleh Pihak Swasta Tahun 2010
Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif 2010 Data yang diambil dari 50 orang responden menyatakan bahwa hanya
delapan persen 4 orang responden yang setuju pada kegiatan pembangunan oleh swasta di Muara Angke. Jumlah ini merupakan pertanda sebagian besar responden
menyatakan bahwa diri mereka kontra terhadap kegiatan pembangunan di Muara Angke oleh pihak swasta. Responden yang menyatakan setuju adalah wakil dari
masyarakat berprofesi bukan sebagai nelayan melainkan sebagai tukang ojek, satpam security hunian elit dan pedagang yang memang memiliki hubungan
yang bersifat simbiosis mutualisme saling menguntungkan dengan adanya pembangunan sektor hunian dan industri. Pendapatan mereka tergantung pada
keberadaan pihak swasta, dan pihak swasta sebagai penggerak industri sektor formal memang juga tergantung pada jenis pekerjaan sektor informal di
sekitarnya. Para tukang ojek dan pedagang yang pada umumnya mendapat pelanggan
dari penduduk perumahan elit merasa keberadaan kawasan ini justru membantu menaikkan taraf ekonominya. Interaksi yang berlangsung hanya sebatas motif
kebutuhan ekonomi masing-masing pihak yaitu masyarakat Muara Angke dengan pihak pengembang hunian elit swasta. Sedangkan untuk kelompok responden
yang tidak setuju bahkan sangat tidak setuju terhadap pembangunan kawasan komersil dan hunian elit disekitar hutan mangrove adalah perwakilan dari
masyarakat yang haknya terpinggirkan akibat pembangunan tersebut. Pembangunan dan pertumbuhan industri yang pesat dan cenderung
berorientasi profit membuat kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan
8 2
90
20 40
60 80
100
Sangat setuju Setuju
Tidak tahunetral
Tidak setuju Sangat tidak
setuju
menjadi terabaikan. Masyarakat merasakan lebih banyak kerugian dari pada keuntungan atas keberadaan kawasan komersil tersebut, seperti sering terjadinya
banjir kiriman maupun banjir rob yang harus dialami warga. Selain masalah bencana banjir, masalah sosial pun kerap muncul seiring dengan pesatnya
pertumbuhan kawasan komersil yaitu pemingggiran lapangan pekerjaan khususnya nelayan, ketidakharmonisan hubungan warga akibat kesenjangan
sosial-ekonomi yang sangat timpang, serta keterdesakan lahan pemukiman masyarakat nelayan akibat penggusuran untuk pembangunan kawasan komersil.
c Kemitraan antara sesama masyarakat pesisir Muara Angke. Hubungan ini
sangat tampak pada kelembagaan informal masyarakat seperti pola hubungan patron-klien antara pelaku industri rumahan di bidang pengolahan ikan dengan
para nelayan Muara Angke. Pelaku industri pengolahan ikan bertindak sebagai patron yang mengumpulkan hasil tangkapan nelayan untuk dijadikan bahan
baku utama industrinya. Nelayan yang melakukan transaksi perniagaan dengan pelaku industri pengulahan ikan adalah nelayan tradisional Kali Adem.
Keterbatasan jumlah tangkapan membuat meraka tidak memasok di Tempat Pelelangan Ikan TPI Muara Angke. Hubungan ini lebih bersifat simbiosis
mutualisme antara pelaku industri dengan nelayan.
5.2.1.3 Gerakan Penghijauan