hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, termasuk suberdaya genetika Harjasumantri, 2000.
Ketika sengketa muncul berkaitan dengan berbedanya kepentingan tentang alokasi sumberdaya dan lingkungan, paling tidak empat pendekatan dapat dipakai
untuk penyelesaiannya: 1 politis, 2 administrasi, 3 hukum, dan alternatif penyelesaian masalah. Berbagai pendekatan ini tidak selalu berdiri sendiri,
beberapa dapat digunakan secara bersama Mitchell, 2007.
2.1.7 Faktor Penyebab Degradasi Mangrove
Dewasa ini area pesisir semakin banyak yang mengalami penurunan kualitas karena salah satu penyebabnya adalah degradasi ekosistem hutan
mangrove: 1.
Pertumbuhan penduduk. 2.
Meningkatnya tuntutan ekonomi dan teknologi masyarakat Harjasumantri: 2000
3. Pengalihan fungsi hutan mangrove menjadi pemukiman, tambak, pabrik,
kawasan wisata, dan lain-lain 4.
Perebutan sengketa lahan dan pemanfaatan hutan mangrove oleh berbagai pihak negara, swasta, dan masyarakat sehingga menyebabkan ekosistem
mangrove menjadi kawasan yang open access yang tidak mendapatkan control penuh dari pihak-pihak yang berkonflik.
5. Rendahnya kesadaran masyarakat dan tingginya ketergantungan
masyarakat untuk hidup di wilayah pesisir. Sedangkan menurut Kusmana dan Onrizal 2003 terdapat tiga faktor
utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu 1 pencemaran, 2 konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan 3 penebangan
yang berlebihan. Beberapa faktor pendukung lainnya turut pula menimbulkan terjadinya kerusakan dengan berbagai dampaknya pada hutan mangrove.
2.1.7.1 Pencemaran
Pencemaran yang terjadi pada areal mangrove terutama disebabkan oleh minyak dan logam berat. Dua sumber utama pencemaran areal mangrove ini
merupakan dampak negatif dari areal pelayaran, industri, serta kebocoran pada pipatanker industri dan tumpahan dalam pengangkutan. Pencemaran dapat
meracuni tumbuhan dalam rumpun mangrove serta biota yang hidup di dalamnya. Bahkan, pencemaran akibat minyak dan logam berat akan berdampak pada
kualitas sumberdaya pesisir dan mengurangi pendapatan masyarakat nelayan yang hidupnya bergantung pada sumberdaya pesisir khususnya ekosistem hutan
mangrove Kusmana dan Onrizal, 2003.
2.1.7.2 Konversi Lahan Hutan
Lebih dari 70 penduduk Indonesia tinggal dan kehidupannya bergantung pada ekosistem hutan mangrove
4
. Sebagian dari berbagai praktik eksploitasi terhadap hutan mangrove justru mengancam kelestarian sumberdaya hutan
mangrove itu sendiri yang pada akhirnya akan mengancam kehidupan masyarakat sendiri dan generasi yang akan datang. Beberapa bentuk kegiatan yang melakukan
konversi hutan mangrove antara lain adalah sebagai berikut: 1.
Budidaya Perikanan Konversi hutan mangrove untuk budidaya perikanan, terutama untuk
tambak udang windu Penaeus monodon, P. merguensis dan P. indicus maupun tambak ikan telah menyebabkan terdegradasinya hutan mangrove
yang subur dalam skala yang cukup luas. Luas areal tambak di ekosistem mangrove meningkat sebesar 14.4 persen dalam kurun dua tahun dari
tahun 1999 samai 2001 atau 7.2 persen per tahun, yaitu dari 393196 ha 1999 menjadi 450000 ha 2001
5
. 2.
Pertanian Sebagian besar pertanian di areal mangrove terdiri atas padi sawah dan
perkebunan kelapa. Kegiatan ini dilakukan di kawasan pesisir dengan terlebih dahulu menebang habis clear cutting tegakan mangrovenya,
sehingga sangat potensial menyebabkan hilangnya fungsi lindung lingkungan dari hutan mangrove.
3. Jalan raya, industri serta jalur dan pembangkit listrik
4
Widjojo, S. 2002. Pola Kerjasama antar Instansi Pusat dan Daerah dalam Pengelolaan Ekosistem Mengrove
. Makalah Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mengrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002.
5
Ditjen Perikanan Budidya. 2002. Pengelolaan Ekosistem Mengrove untuk Perikanan Budidaya. Makalah Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mengrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002.
Areal mengrove banyak yang dikonversi untuk pembuatan jalan raya, bandara, pelabuhan, pembangunan pembangkit dan jalur listrik guna
mendukung arus transportasi hasil industri, perdagangan, penduduk dan hasil-hasil lainnya yang melewati kawasan mangrove.
4. Produksi garam
Garam dihasilkan dari air laut yang pembuatannya banyak dilakukan di areal mangrove. Tempat pembuatan garam ini merupakan areal mengrove
yang dikonversi dan tingkat kerusakannya bersifat irreversible. Kegiatan produksi garam di Indonesia umumnya dilakukan pada areal mangrove
yang memiliki curah hujan kurang dari 1.000 mm per tahun, misalnya contoh kasus masyarakat di Desa Oesapa Barat, Nusa Tenggara Timur
yang memanfaatkan lahan mangrove untuk areal tambak garam Therik, 2008.
5. Perkotaan
Urbanisasi menyebabkan terjadinya konversi hutan mangrove yang lokasinya berdekatan dengan perkotaan. Selain dijadikan lokasi
pemukiman, hutan mangrove tersebut dikonversi pula untuk keperluan pembangunan infrastruktur pendukung, seperti jalan raya, pelabuhan,
prasarana sanitasipembuangan limbah, dan lain-lain. 6.
Pertambangan Pertambangan terutama minyak bumi, cukup banyak dilakukan di areal
hutan mangrove. Lahan yang cukup luas diperluan untuk tempat penggalian sumur bor, tempat menyimpan minyak mentah, pipa,
pelabuhan, perkantoran, dan pemukiman pekerja. Untuk keperluan tersebut tentunya dengan menebang habis hutan mangrovenya terlebih dahulu,
sehingga memicu terjadinya degradasi mangrove. Selain itu, minyak yang mencemari mangrove dalam berbagai cara juga menyebabkan degradasi
mangrove. 7.
Daerah wisata Meningkatnya aktivitas ekonomi dan pembangunan, pada sisi lain akan
mendorong meningkatnya kebutuhan untuk berekreasi atau wisata. Tentunya hal ini akan meningkatkan kebutuhan akan lahan sebagai tempat
pembangunan prasarana wisata, di mana salah satu pilihannya adalah dengan mengkonversi areal hutan mangrove.
2.1.8 Konflik Pemanfaatan Kawasan Ekosoistem Mangrove di Wilayah Pesisir.