4.5 Agama, Sosial dan Budaya.
Penduduk Kelurahan Pluit sebagian besar memeluk agama Islam dari total jumlah penduduk yang ada. Fasilitas peribadatan di Kelurahan Pluit meliputi 5
lima masjid, 5 lima unit mushala, 7 tujuh unit gereja dan 4 empat unit vihara. Keluahan Pluit sendiri memiliki kawasan pesisir dengan potensi perikanan
yang tinggi berpusat pada PPI Muara Angke. Masyarakat Muara Angke secara umum memiliki gambaran yang hampir sama dengan masyarakat DKI Jakarta.
Sementara, hal unik yang dimiliki oleh masyarakat Muara Angke adalah ciri khas masyarakat pantai, kenelayanan, dan kelautan. Karakteristik tersebut ikut serta
mempengaruhi pola hubungan sosial, kohesi sosial dan kekerabatan antara masyarakat Muara Angke. Keterkaitan pada segi sosial,ekonomi, dan kebudayaan
berlandaskan pada aktivitas mereka yang bergerak di sektor perikanan nelayan, pengusaha perikanan, dan buruh nelayan maupun non perikanan.
Masyarakat nelayan Muara Angke sendiri terbagi ke dalam lapisan strata sosial berdasarkan lingkungan pemukiman mereka. Strata sosial pertama
ditempati oleh mereka yang tinggal di kawasan perumahan elit real estate yang berada dan berbatasan dengan kawasan pemukiman nelayan Muara Angke.
Pemukiman elit ini dijaga sangat ketat oleh petugas keamanan komplek sehingga interaksi sosial mereka dengan masyarakat di luar komplek sangat kurang. Secara
umum, warga yang mendiami perumahan elit ini adalah warga etnis Tionghoa. Strata sosial kedua yaitu mereka yang pada umumnya tinggal di komplek
pemukiman nelayan permanen yang disiapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Secara kasat mata, keadaan penduduk yang bermukim di komplek
perumahan nelayan ini tergolong cukup mapan dan lebih teratur. Selain berprofesi sebagai nelayan, mereka yang berada di komplek perumahan ini banyak yang
bergerak di usaha perikanan industri pembuatan ikan asin, tukang ojek, pegawai negeriswasta, dan pedagang.
Lain halnya dengan strata sosial pertama dan kedua , masyarakat nelayan yang tinggal di pemukiman di daerah pinggiran muara pantai tergolong pada strata
sosial ketiga. Mereka menempati rumah darurat mirip lapakgubuk yang didirikan dengan fasilitas sangat minimal. Rumah tersebut rata-rata terbuat dari
bambu, kardus, triplek, asbes dan sebagainya yang berada di bibir pantai dan di
pinggir muara sungai Angke. Kondisi hidup di tengah lingkungan yang tidak sehat ini membuat mereka rentan terhadap permasalahan sosial seperti kemiskinan,
kesehatan, konflik antar pribadi, dan masalah lainnya. Masyrakat nelayan memiliki semacam kepercayaan terkait dengan hutan mangrove bahwa terdapat
banyk makhluk halus dan satwa yang mendiami hutan mangrove dianggap memiliki kekuatan gaib sehingga hal ini membuat mereka tidak berani untuk
mengganggu satwa apalagi merusak hutan mangrove.
4.6 Ekonomi dan Sarana Umum