Ancaman Konflik Interaksi Sosial-Ekologi Bersifat Disosiatif antar Aktor Manusia

terhadap sumberdaya hutan mangrove. Marginalisasi tampak pada peminggiran nelayan tradisional dari sisi menyempitnya area tangkap. Dengan begitu, nelayan harus menempuh jarak lebih jauh untuk memperoleh tangkapan dan umpan sebagaimana keterangan responden: Orang komplek kaya sempat buat rugi karena kelompok nelayan saya sempat ditangkap oleh pihak swasta pengelola perumaham elit yang akan dibangun di kawasan lahan mangrove yang sudah direklamasi. Tidak ada sosialisasi sebelumnya kalau ada pembangunan di situ, ada peraturan, jadi nelayan tidak tahu. Swasta selalu mencurigai nelayan. Nelayan terpaksa mencari tangkapan ikan di tempat lain yang jaraknya jauh dan menyebabkan hasil tangkapan menurun, bahkan hanya mendapat uji umpan berupa lintah dan yuyu merah saja. Bapak Suk, 42 tahun, warga Perumahan Nelayan Muara Angke Tindakan marginalisasi oleh pihak swasta yang membatasi wilayah melaut terasa sangat merugikan bagi nelayan, mengingat tingginya biaya operasional terlebih untuk biaya bahan bakar solar dan biaya makan yang dibutuhkan untuk menempuh jarak jauh dalam mencari tangkapan. Keadaan ekonomi nelayan pun menjadi makin terpuruk, terlebih dengan ditambah berkurangnya kelimpahan biota laut akibat polusi dan perusakan habitat, membuat hasil tangkapan ikan semakin berkurang.

5.2.3.2 Ancaman

Kerasnya kehidupan di pesisir utara Jakarta membuat maraknya tindak premanisme yang tumbuh pada struktur sosial kemsyarakatan. Pelabuhan dan pasar pelelangan ikan Muara Angke menjadi tempat para preman berkuasa. Keberadaan preman membawa dampak positif dan negatif bagi para nelayan dan warga pada umumnya. Preman dianggap dapat menjaga kawasan pasar dan pelabuhan menjadi kondusif untuk aktivitas perniagaan. Namun, terkadang para nelayan juga sering mendapat ancaman dari preman, jika nelayan hendak melapor pada polisi hutan ketika para preman secara sengaja masuk di kawasan hutan konservasi. Warga juga kerap merasa takut karena beberapa anggota preman terlibat dalam tindakan kejahatan seperti, mencopet, memeras pedagang di pasar ikan Muara Angke, dan sebagainya.

5.2.3.3 Konflik

Konflik yang terjadi di kawasan pesisir Muara Angke dpat dibedakan berdasarkan aktor yang terlibat yaitu sebagai berikut: a Konflik antara masyarakat Muara Angke dengan pihak swasta yang diwakili oleh pengembang kawasan komersi dan hunian PIK. Kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh swasta menyebabkan timbulnya perlawanan oleh masyarakat. Tindakan marginalisasi oleh pihak swasta PIK terhadap masyarakat pesisir Muara Angke bermuara pada munculnya konflik. Tumpang tindih wewenang dan kepentingan antara kedua belah pihak membuat konflik semakin berkskalasi. Gambar 10. Persentase Masyarakat Pesisir Muara Angke Berdasarkan pada Sikap terhadap Keberadaan Kawasan Komersil dan Hunian PIK Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif 2010 Masyarakat yang melakukan pertentangan dengan swasta, seperti yang tertera pada Gambar 10 dilihat dari sikapnya terhadap keberadaan kawasan komersial dan hunian PIK. Berdasarkan data 50 responden terdapat 46 persen 23 orang yang menentang keberadaan swasta namun hanya berdiam diri dan juga terdapat warga yang menentang swasta serta melakukan aksigerakan nyata dengan jumlah perentase yang sama yaitu 46 persen. Aksi atau gerakan nyata yang dilakukan berupa protes, demonstrasi, bahkan upaya dialog dengan pemerintahan dan wakil rakyat DPRD DKI Jakarta. Upaya-upaya tersebut mereka lakukan untuk menyuarakan kepentingan mereka sebagai pihak yang terpinggirkan hak-hak sosial-ekonominya akibat pembangunan kawasan komersil dan hunian elit PIK. Sedangkan hanya terdapat 8 persen 4 orang yang 8 46 46 10 20 30 40 50 Mendukung, ikut terlibat dan membantu pihak swasta Mendukung, tidak melibatkan diri Tidak ada reaksi apapun Menentang, tidak ada aksi nyata Menentang,aksi dan gerakan sosial mendukung kegiatan swasta karena motif ekonomi seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya yaitu hubungan asosiatif masyarakat dengan PIK terkait kemitraan yang menyediakan lapang kerja bagi masyarakat Muara Angke. Letak perumahan elit PIK, apartemen dan deretan pertokoan ruko yang berbatasan langsung dengan hutan mangrove dan pemukiman nelayan menyebabkan persinggungan kepentingan. Bentuk konflik masyarakat Muara Angke dengan pihak swasta juga dapat dilihat pada Gambar 11 dengan interpretasi terdapat 16 persen 7 orang dari 46 responden yang tidak menyetujui kegiatan swasta merujuk pada gambar 6. Mereka adalah yang warga pernah terlibat peristiwa kekerasan dengan pihak swasta terkait upaya penggusuran pemukiman nelayan yang berada di bantaran sungai oleh swasta yang difasilitasi pemerintah Kelurahan Pluit akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian bentuk interaksi disosiatif: Bentrokan. Beberapa bentuk interaksi disosiatif yang terdapat pada beberapa aktor dapat dilihat pada Gambar 11 yang interpretasi masing-masing bagiannya akan dijelaskan pada sub bab berikutnya. Gambar 11. Bentuk dan Kedalaman Konflik dari Beberapa Pihak Terkait dengan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Mangrove Tahun 2010 Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif 2010 Kemudian, responden yang mengalami keadaan saling megancam dengan pihak swasta pada Gambar 11 yaitu sebesar 24 persen 11 orang sebelum bentrok dengan swasta terjadi pada tahun 1990-an. Ancaman yang didapat warga adalah berupa surat peringatan untuk segera pergi dari kawasan yang akan disterilkan dari pemukiman kumuh. Namun warga masih bersikukuh untuk tidak 16 24 12 12 30 88 88 30 20 40 60 80 100 Masyarakat - Masyarakat Masyarakat - Pemerintah Masyarakat - Swasta perang saling bunuh kekerasan anarchism saling ancam adu pendapat desas-desus gossip pindah dari tempat tinggalnya sehingga muncul ketegangan dari kedua pihak. Sedangkan responden yang terlibat dalam adu pendapat dengan swasta adalah sebesar 30 persen 14 orang dengan jenis saling tidak terima dengan perilaku masing-masing pihak. Keterdesakan ekonomi membuat masyarakat nelayan khususnya nelayan kecil terkadang harus memulung sampah di kawasan elit dan mereka sering diusir oleh penghuni dan pengelola komplek real estate karena dianggap mengganggu kenyamanan seperti yang diutarakan oleh Bapak Kar 27 tahun dan Bapak Suk 42 tahun. Interaksi yang berat sebelah antara penghuni perumahan elit dengan masyarakat seperti penuturan Bapak Kar 27 tahun dan Bapak Suk 42 tahun di atas selain menimbulkan adu pendapat antara masyarakat dengan swasta, juga dapat menjadi isu yang kerap diperbincangkan oleh masyarakat atau menjadi desas-desus yang berkembang. Selain itu, penangkapan nelayan juga secara otomatis membuat hubungan yang semakin memburuk dengan pihak swasta PIK. Konflik kewenangan ini menunjukkan bahwa swasta memiliki kuasa yang lebih besar atas sumberdaya hutan mangrove dari pada masyarakat sekitarnya. Responden yang masuk dalam kelompok ini berdasarkan Gambar 11 adalah sebesar 30 persen 14 orang menjadikan persoalannya dengan swasta menjadi sebuah isu yang berlandaskan pada prasangka dan perasaan dongkol yang tidak berani mereka ungkapkan secara langsung kepada pihak lain. Ada konflik dengan swasta tentang tanah, mbak. Tetapi sebagian warga tidak bisa berbuat apa-apa. Lama-lama lahan di sini dicaplok oleh swasta. Tidak tahu ya, bagaimana kerjanya pemerintah kok bisa seperti itu. Hal itu membuat cemburu pada kami. Kami sebagai warga asli di sini tetapi orang Cina yang malah punya tanah luas-luas di sini, ditambah lagi mereka memakai cara mengurug hutan bakau. Teman-teman saya yang tinggal di bantaran kali kan otomatis bisa diusir. Tetapi saya tidak berani bicara langsung pada pihak pembangun Bapak Sar, 55 tahun, warga Perumahan Nelayan Muara Angke. Kasus yang dialami oleh Bapak Sar 55 tahun di atas menggambarkan sebuah prasangka kepada pihak pengembang swasta yang melakukan pembangunan tanpa memperhatikan dampak negatif yang dirasakan masyarakat. Selain itu, ketimpangan seperti ini keberpihakan pemerintah yang cenderung kepada swasta tentu meyebabkan kecemburuan masyarakat. Swasta tidak akan dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa didukung kebijakan dan perizinan dari pemerintah. Konflik antara masyarakat dengan swasta dapat disimpulkan sudah ada dalam tahap konflik terbuka yang saling melakukan intervensi dan perlawanan nyata satu sama lain, namun belum sampai pada taraf terjadi tragedi pembunuhan. Konflik dalam konteks masyarakat pesisir Muara Angke ini juga tergolong konflik pemanfaatan ruang dan konflik kewenangan pada sektor kehutanan mangrove yang banyak dimanfaatkan untuk kawasan perumahan elit, sehingga membuat posisi masyarakat semakin terdesak. b Konflik antar masyarakat nelayan Muara Angke dengan nelayan pendatang. Interaksi masyarakat terkait dengan pemanfaatan hutan mangrove dan sumberdaya pesisir yang bersifat disosiatif atau merugikan pihak lain tidak terlalu tampak pada masyarakat Muara Angke satu sama lain. Bentuk interaksi disosiatif antara sesama masyarakat Muara Angke adalah konflik yang derajat kedalamannya rendah. Sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 11 bahwa bentuk konflik yang terjadi antara masyarakat 50 responden adalah adu pendapat dan timbulnya desas-desus gossip. Masyarakat yang mengaku pernah terlibat dalam peristiwa adu pendapat dengan pihak lain terkait dengan pemanfaatan hutan mangrove adalah sejumlah 12 persen 6 orang. Mereka terlibat adu pendapat ketika sedang mencoba menegur warga lain untuk tidak mengambil hasil hutan atau menangkap satwa, dan direspon dengan perlawanan dari warga yang diingatkan tersebut. Selain itu, permasalahan juga dilatarbelakangi persaingan penguasaan wilayah tangkap ikan antara nelayan lokal tradisional Muara Angke dengan nelayan pendatang. Kemudian, konflik yang berkembang dalam masyarakat Muara Angke juga dalam bentuk desas-desus gossip sebesar 88 persen 44 orang yang berarti bahwa sebagian besar responden pernah memendam prasangka dengan warga luar Muara Angke yang mengganggu ekosistem hutan mangrove tanpa berani memberi peringatan dan mengusirnya. Tidak ada nol persen responden yang mengaku pernah terlibat dalam insiden saling mengancam, kekerasan, dan pembunuhan warga lain. Prasangka yang timbul di kalangan masyarakat biasanya berkisar tentang konflik antarpribadi yang tidak ada hubungannya dengan interaksinya dengan hutan mangrove. Jenis interaksi disosiatif di kalangan manyarakat ini adalah bentuktipe konflik tertutup latent yang hanya dirasakan pergolakan dalam individu masnyarakat. c Konflik antara masyarakat pesisir Muara Angke dengan pemerintah Pengelola Suaka Marga Satwa Muara Angke Hubungan sosial yang terjalin antara masyarakat pesisir Muara Angke dengan pemerintah dalam hal ini adalah SMMA dapat dilihat pada Gambar 11. mengenai derajat konflik yang pernah mereka alami. Responden yang diambil adalah sebesar 50 orang dengan responden yang mengalami adu pendapat dengan pemerintah terkait kebijakan konservasi hutan mangrove adalah sejumlah 12 persen 6 orang. Biasanya, masyarakat nelayan Muara Angke yang kapalnya merapat dan bersandar di tepi kawasan hutan dilarang oleh petugas polisi hutan SMMA karena diduga dapat merusak dan mengganggu ekosistem hutan. Peristiwa ini menimbulkan adu argumentasi antara kedua pihak yang mencoba memberi alasan dan pembenaran akan tindakannya. Adu pendapat tidak lagi terjadi seiring upaya pemerintah untuk memahami kondisi nelayan yang kini tidak mempunyai tempat merapat. Kemudian, terdapat 88 persen responden 44 orang yang sebatas menyimpan prasangka dan mengungkapkannya dengan sesama warga lainnya terkait hubungannya dengan pemerintah pengelola SMMA. Selama ini, memang petugas SMMA kurang mengenal dan bersosialosasi dengan masyarakat pesisir Muara Angke sehingga menimbulkan prasangka bahwa petugas SMMA cenderung eksklusif dan menutup diri. Sebagaimana kasus yang dialami oleh Bapak Nap 34 tahun yaitu sebagai berikut: Petugas sering keliling sisir kali Angke ini mungkin untuk memantau orang-orang yang akan masuk ke hutan. Saya yang tinggalnya di bantaran kali Angke ini kan dekat dengan hutan, dekat sekali. Bisa dibilang kami ini tetangga mereka. Tapi jarang ya saya liat petugas itu mampir ke sini, mau mendengarkan dan tehu akan kondisi kami. Paling cuma Pak Nam orang dinas kehutanan, warga asli Muara Angke yang kami kenal dengan baik, yang lainnya sepertinya cuek-cuek ya. Bapak Nap, 34 tahun, warga Kampung Kali Adem Kondisi yang dirasakan masyarakat ini memang tidak pernah diketahui oleh petugas SMMA dan hanya sebagai desas-desus yang menjadi pembicaraan satu warga dengan warga yang lainnya. Bentuk konflik desas-desus ini menandakan bahwa konflik masyarakat dengan pemerintah pengelola SMMA berada pada tataran konflik laten tersembunyi dicirikan dengan adanya tekanan- tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak kutub konflik, bahkan yang paling potensial sekalipun. Pengelolaan hutan mangrove dan sumberdaya pesisir di Muara Angke bersifat multi aktor dengan karakteristik dan interest berbeda-beda yang dibawa oleh masing-masing aktor. Interaksi sosial-ekologi terbangun pada setiap dimensi dan lingkup aktor yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu interaksi antara pemerintah, masyarakat nelayan Muara Angke dan swasta PIK. Interaksi bersifat asosiatif terjalin antara pemerintah dengan pihak swasta terkait dukungan pemerintah dalam bentuk legalisasi kawasan PIK. Pemerintah dengan masyarakat nelayan tradisional Muara Angke juga membangun hubungan positif dalam bentuk kerjasama penjagaan kawasan hutan mangrove. Kemudian, nelayan Muara Angke menjalin hubungan patron-klien dengan pengusaha rumahan pengolahan hasil tangkapan. Konflik sebagai salah satu bentuk interaksi disosiatif juga digambarkan dengan membaginya menjadi dua jenis konflik yaitu konflik terbuka dan konflik tertutup. Konflik terbuka terjadi pada interaksi swasta PIK dengan nelayan tradisional Muara Angke dilatarbelakangi ketimpangan wewenang penguasaan sumberdaya pesisir dan pengerusakan lingkungan yang ditudingan kepada swasta sebagai akibat dari reklamasi pantai utara Jakarta. Konflik terbuka antara masyarakat dengan PLTU Muara Karang juga terjadi bermula dari isu pencemaran lingkungan dan penurunan hasil tangakapan nelayan. Sedangkan konflik antara masyarakat nelayan tradisional Muara Angke dengan nelayan pendatang bermula dari persoalan perbedaan alat tangkap, persaingan wilayah tangkap hingga isu perusakan lingkungan pesisir dan hutan mangrove yang kerap dilakukan nelayan pendatang. Berdasarkan penjelasan mengenai beberapa bentuk konflik di atas dapat digambarkan pemetaan jaring sosial antar aktor yang terlibat di dalamnya yaitu pada Gambar 12 berikut: legalisasi kawasan PIK • Ketimpangan wewenang penguasaan lahan pesisir • Pengerusakan lingkungan Desas-desus prasangka Penjagaan kawasan hutan mangrove Pencemaran lingkungan Hubungan dagang patron- klien • Beda alat tangkap • Persaingan wilayah tangkap • Perusakan lingkungan pesisir dan hutan mangrove Gambar 12. Pemetaan Interaksi Sosial dan Konflik antar Aktor HUTAN MANGROVE PEMERINTAH SWASTA MASYARAKAT PESISIR Pemerintah Daerah DKI Jakarta Jakarta Utara Nelayan Pendatang Nelayan Tradisional Muara Angke Kementrian Kehutanan RI : BKSDA DKI Jakarta Warga PIK Pengelola PIK Pengusaha Pengolahan Hasil Perikanan PLTU Muara Karang Keterangan: : konflik terbuka : konflik tertutup : kerjasama : keterkaitan ekologis : lingkup aktor

5.2.3.4 Unjuk Rasa Demonstrasi

Dokumen yang terkait

Dampak reklamasi pantai utara jakarta terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat: tinjauan sosiologis masyarakat di sekitaran pelabuhan Muara Angke, Kelurahan Pluit, Jakarta Utara

10 55 168

Zakat hasil tangkapan laut di kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara

1 31 0

Keragaan Wanita Pekerja pada Industri Pengelohan Hasil Perikanan Tradisional (PI-PT) Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, DKI Jakarta

0 8 137

Penilaian Manfaat Ekonomi Hutan Mangrove di Kawasan Angke-Kapuk Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara

0 8 116

Studi Perbandingan Hasil Tangkapan Ikan yang Didaratkan dan Dilelang di PPJ Muara Angke dan PPI Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara.

0 11 123

Hubungan Motivasi Kerja dengan Perilaku Nelayan pada Usaha Perikanan Tangkap (Kasus di Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)

0 5 107

Sikap komunitas pesisir eks kali adem terhadap huniannya di rumah susun cinta kasih Tcu Chi 2 Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakrta Utara

0 7 108

Sikap Komunitas Pesisir Eks Kali Adem terhadap Huniannya di Rumah Susun Cinta Kasih Tzu Chi 2 Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara

0 12 9

Keanekaragaman Serangga di Ekosistem Mangrove: Studi Kasus Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Angke Kapuk, Jakarta Utara

0 4 72

Faktor faktor yang mempengaruhi migrasi kerja nelayan ke non nelayan di muara angke, kelurahan pluit, kecamatan penjaringan, jakarta utara

1 8 77