bersama. Kasus interaksi sosial-ekologis masyarakat pesisir Muara Angke bersifat
asosiatif yang melibatkan aktor sesama manusia terbagi menjadi beberapa golongan menurut klasifikasi spesifik pihak yang terlibat, yaitu interaksi
masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan swasta. Sedangkan interaksi sosial-ekologi asosiatif juga terjadi antara
manusia dengan alam.
5.2.1. Interaksi Sosial-Ekologi bersifat Asosiatif antar Manusia
Interaksi yang bersifat asosiatif antar masyarakat pesisir Muara Angke dilihat dari segi aktor yang terlibat dan mempunyai keterkaitan satu sama lain.
Masyarakat Muara Angke merupakan suatu kesatuan sosial majemuk yang tingkat keberagamannya tinggi, mulai dari keberagaman budaya, etnis, mata pencaharian,
status sosial dan ekonomi. Sedangkan di wilayah Muara Angke sendiri terdapat sumberdaya hayati penunjang kehidupan Kota Jakarta yang harus dilindungi dan
dilestarikan yaitu kawasan hutan mangrove Muara Angke-Kapuk. Upaya perlindungan hutan mangrove di Jakarta menuntut adanya peran serta dari
berbagai stakeholder yaitu pemerintah sebagai penggagas sekaligus pembuat kebijakan dan masyarakat yang disertai dukungan dari pihak swasta.
Berbagai elemen masyarakat di atas saling bersentuhan kepentingan dan motivasi dalam hal pemanfaatan dan perlindungan hutan mangrove, yang pada
akhirnya melahirkan berbagai macam interaksi salah satunya hubungan asosiatif. Interaksi asosiatif antar manusia bisa berlangsung dalam bentuk kerjasama seperti
kegiatan gotong royong, kemitraan, penghijauan hutan mangrove, serta kegiatan untuk hiburan masyarakat. Adapun uraian dari berbagai bentuk interaksi asosiatif
antar masyarakat terkait pengelolaan hutan mangrove adalah sebagai berikut:
5.2.1.1 Gotong Royong
Kebiasaan dan rutinitas masyarakat Muara Angke dalam melakukan gotong royong guna menjaga serta membersihkan lingkungan khususnya aliran
Kali Angke yang juga mengairi hutan mangrove. Aktivitas sosial kemasyarakatan ini, lebih bersifat informal yang dikendalikan oleh tokoh masyarakat di Kampung
Kali Adem atau di perumahan nelayan Muara Angke. Kondisi perairan bantaran Kali Angke yang terhubung langsung dan menjadi satu kesatuan dengan
ekosistem hutan mangrove memang penuh dengan tumpukan sampah oganik dan
anorganik. Hal ini tentu dapat mengganggu keseimbangan dan keanekaragaman hayati di hutan mangrove. Gotong royong diperuntukkan lebih bagi kebersihan
lingkungan tempat tinggal warga Muara Angke. Kegiatan membersihkan sampah dai bantaran Kali Angke merupakan kegiatan utama karena selain menyangkut
kebersihan lingkungan, juga untuk upaya pencegahan bencana banjir yang kerap melanda warga Kampung Kali Adem. Data yang menggambarkan keikutsertaan
masyarakat pada kegiatan gotong royong di Muara Angke dapat dilihat pada Gambar 3.
f. g.
h.
Gambar 3. Distribusi Masyarakat Pesisir Muara Angke Berdasarkan Keikutsertaan pada Kegiatan Gotong Royong Tahun 2010
Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif 2010 Gambar 3. di atas menunjukkan bahwa dari 50 responden terdapat 28
persen 14 orang yang tidak pernah melakukan gotong royong. Sementara responden yang mengaku pernah bergotong royong dengan frekuensi tiga bulan
sekali sejumlah 46 persen 23 orang. Kegiatan gotong royong yang dilakukan dua bulan sekali diikuti oleh 16 persen warga 8 orang dan dengan frekuensi satu
bulan sekali sebanyak 10 persen 5 orang. Keguyuban yang terbangun antara masyarakat pesisir Muara Angke terkait pengelolaan hutan mangrove tergolong
rendah karena jumlah masyarakat yang melibatkan dirinya secara aktif rutin setiap bulan dalam kegiatan gotong royong hanya 10 persen dari 50 responden.
Masyarakat yang mengaku tidak pernah dan jarang mengikuti kegiatan gotong royong disebabkan oleh faktor kesibukan sebagai nelayan yang waktu
kerjanya lebih banyak dihabiskan di laut dari pada di darat, sebagaimana yang dituturkan oleh masyarakat:
10 16
46 28
10 20
30 40
50
setiap bulan setiap dua bulan
setiap tiga bulan tidak pernah
Banyak warga yang tidak pernah ikut gotong royong. Warga saya saja hanya itu-itu saja yang suka ikut kami gotong royong. Sibuk melaut terus.
Ya tahu sendiri kan kalo melaut itu butuh waktu yang lama, bisa semalaman, bisa berhari-hari. Apalagi sekarang tangkapan makin
sedikit, jadi nelayan juga lebih lama melautnya. Kalau nelayan tidak pergi melaut dan tidak dapat uang ya nanti kasihan keluarganya.
Mungkin karena itu juga kegiatan gotong royong hanya bisa diikuti oleh warga yang bukan nelayan. Padahal gotong royong juga untuk
kepentingan semua warga
Bapak Mul, 48 tahun, Warga Kampung Kali Adem.
Kegiatan gotong royong yang diadakan masyarakat dalam hal bersih- bersih lingkungan sekitar sungai dan hutan mangrove justru banyak yang
menganggap tidak terlalu menguntungkan dari segi ekonomi. Nelayan banyak yang mementingkan kegiatan melaut untuk menambah pendapatannya. Hal ini
tidak sepenuhnya dapat dijadikan alasan bahwa penumpukan sampah di muara Kali Angke adalah kesalahan warga Muara Angke. Mengingat sampah adalah
masalah induk dari pengelolaan Daerah Aliran Sungai DAS yang saling terkait dari hulu ke hilir.
5.2.1.2 Kemitraan