5.2.2 Interaksi Berdasarkan Etika Ekosentrisme antara Manusia dengan
Alam
Kehidupan ekosistem sekitar hutan mangrove dan pesisir memang sudah menjadi suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan masyarakat
Muara Angke. Eksistensi hutan mangrove memiliki peran yang begitu penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya sebagai kawasan ruang hijau terbuka
RTH berupa hutan yang hanya satu-satunya terdapat di Jakarta. Banyak keuntungan yang dirasakan masyarakat dengan adanya hutan mangrove yaitu
sebagai penyuplai oksigen, tempat pemijahan biota laut, pencegah erosiabrasi pantai, tempat tinggal habitat beberapa satwa, pencegah banjir, dan sebagainya.
Masyarakat Muara Angke rupanya mempunyai cara untuk menjaga eksistensi dan kelestarian hutan mangrove yang sejak lama terjalin hubungan
timbal balik antar keduanya. Peranan hutan mangrove sangat dirasa penting khususnya bagi nelayan. Kali Angke sebagai satu kesatuan ekosistem hutan
mangrove merupakan kawasan strategis lalu lintas kapal untuk merapat. Selain itu, hutan mangrove menjadi tempat berpijahnya ikan dan biota laut lainnya yang
tentu sangat menguntungkan nelayan. Jika tidak ada hutan mangrove, maka nelayan akan kehilangan tempat
merapat yang aman dari ancaman badai dan gelombang laut, serta kehilangan tempat untuk mencari tangkapan ataupun umpan. Oleh karena itu, terdapat
beberapa bentuk interaksi yang menghubungkan manusia dengan alam ekosistem hutan mangrove yaitu dengan upaya perlindungan satwa liar, pemanenan hasil
hutan yang terkontrol, dan upaya penjagaan keanekaragaman hayati kawasan pesisir dengan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan.
5.2.2.1 Pelestarian Satwa Liar
Seperti upaya masyarakat dalam berinteraksi dan memperlakukan satwa serta vegetasi yang terdapat di dalam hutang mangrove. Bentuk interaksi asosiatif
antara masyarakat Muara Angke dengan satwa liar yang selama ini banyak diburu oleh manusia menunjukkan jumlah masyarakat yang tidak menangkap satwa
bahkan ikut serta melindunginya melalui cara tradisional yang telah ada sejak lama. Adapun jenis satwa hutan Muara Angke yang kerap menjadi buruan
manusia antara lain biawak Varanus salvator, ular, burung kutilang Pycnonotus aurigaster
serta berbagai jenis burung lainnya, monyet, dan sebagainya.
Gambar 8. Persentase Interaksi Masyarakat Pesisir Muara Angke dalam Upaya Melindungi Satwa Liar di Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke Tahun 2010
Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif 2010
Keterangan: A = Menangkap dan membunuh satwa untuk dijual,
B = Menangkap satwa untuk jadi hewan peliharaan C = Tidak acuh terhadap keberadaan satwa liar di hutan mangrove
D = Tidak berani menangkap satwa liar E = Ikut mengkonservasi satwa liar dengan menggunakan kearifan lokal.
Hubungan dan perilaku masyarakat dalam memperlakukan satwa tampak pada Gambar 8. Berdasarkan pengelompokan jenis interaksinya yang diperoleh
dari 50 orang responden. Terdapat 6 persen responden 3 orang yang tidak acuh terhadap keberadaan satwa liar di hutan mangrove Muara Angke. Sikap tidak
peduli akan keberadaan satwa liar di hutan mangrove disebabkan oleh pengetahuan dan kesadaran yang minim tentang peleatarian lingkungan. Tidak
ada reponden atau nol persen yang menangkap bahkan membunuh satwa untuk dijadikan komoditas kegiatan jual-beli maupun untuk dijadikan hewan peliharaan.
Sebaliknya, terdapat 34 persen responden 17 orang yang tidak menangkap satwa liar yang berhabitat di hutan mangrove karena mereka tidak
berani dan sudah paham dengan peraturan pihak pengelola SMMA tentang larangan menagkap satwa. Masyarakat Muara Angke tidak hanya menaati
peraturan pemerintah SMMA, namun juga melakukan upaya konservasi yang telah diketahui dan dijalankan secara tradisi turun-temurun. Kelompok masyarakat
diwakili oleh responden berjumlah 60 persen 30 orang yang menggunakan tradisi kepercayaan mitos yang mereka yakini terkait dengan sejarah dan satwa
liar yang terdapat di hutan mangrove Suaka Margasatwa Muara Angke SMMA.
6 60
34 20
40 60
80
A B
C D
E
Masyarakat pesisir Muara Angke meyakini bahwa satwa yang mendiami hutan mangrove memiliki kekuatan-kekuatan gaib sebagai representasi atau
penjelmaan dari penunggu gaib hutan mangrove. Masyarakat yang mengganggu, menangkap, bahkan membunuh satwa liar nanti akan mendapatkan kesialan
berupa kerasukan, dilanda penyakit dan sebagainya. Hal ini didasarkan pada penuturan responden:
Kalau penduduk sini tidak ada yang berani mengganggu binatang di hutan. Mereka takut, dik. Jadi, hewan seperti buaya, ular, monyet yang
ada di hutan ini itu bukan binatang biasa. Istilahnya ya hewan itu dianggap siluman, dik. Jadi kalo binatang itu manpir ke tempat kami, ya
kami tidakak berani menangkap apalagi membunuh. Kami biarkan saja sampai binatang itu pergi sendiri. Orang sini percaya kalau kita jahat
sama binatang di hutan, pasti nanti ada yang kesurupan lah, jatuh lah, banyak pokoknya. Sekarang kan sudah jaman modern, ya masih banyak
orang yang tidak mau percaya hal seperti itu, tetapi buktinya mereka itu yang masih nekat mengganggu hewan di hutan sini, malamnya ada yang
kesurupan, adajuga yang sakit tapi tidak tahu penyakitnya apa padahal sudah ke dokter. Kejadian seperti itu sudah banyak
Bapak Mul, 48 tahun, warga Kampung Kali Adem.
Wah, monyet di hutan seberang itu bukan sembarang monyet. Ada yang “menjaga” mereka di hutan. Tapi yang menjaga ya bukan manusia.
Kami selaku orang sini percaya, seperti yang dikatakan orang sunda: ‘pamali’. Orang sini rata-rata sudah tahu, jadi tidak ada yang berani
macam-macam kepada monyet-monyet itu
Bapak Iwa, 40 tahun, warga Kampung Kali Adem
Penuturan warga tersebut mengimplikasikan bahwa terdapat suatu sistem kepercayaan dan nilai yang dibangun bersama secara turun-temurun oleh sistem
sosial masyarakat pesisir dan hutan mangrove. Mitos yang melekat pada satwa liar hutan mangrove terbentuk dari tradisi dan cara pandang masyarakat terhadap
alamnya. Mitos tentang satwa di hutan mangrove ini termasuk bagian dari kearifan lokal yang masih bertahan dari tradisi dan budaya masyarakat pesisir
Muara Angke. Mitos juga membentuk pengalaman, memberikan arah, dan pedoman kepada manusia untuk bertindak bijaksana
6
. Masyarakat Muara Angke kini melestarikan dan tetap mempercayai mitos ini dalam rangka perlindungan
satwa di hutan mangrove walaupun semakin lama semakin terkikis oleh arus modernisasi, kemajuan teknologi dan pembangunan yang pesat di Jakarta. Upaya
6
Minsarwati, Wisnu. 2002. Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi: Menguak Bahasa Mitos dan Kehidupan Masyarakat Jawa Pegunungan.
Yogyakarta: Kreasi Kencana
semacam kearifan lo
5.2.2.2 Pe