BAB V BENTUK INTERAKSI SOSIAL-EKOLOGIS DI SEKITAR
HUTAN MANGROVE YANG TERBANGUN PADA MASYARAKAT PESISIR MUARA ANGKE
5.1 Akses Masyarakat Pesisir Muara Angke terhadap Hutan Mangrove
Secara alamiah masyarakat pesisir Muara Angke memiliki kaitan dengan kawasan hutan mangrove yang sejak lama telah mendukung keberlangsungan
ekosistem. Hutan mangrove di pantai utara Jakarta semakin mendekati kondisi kritis akibat upaya reklamasi yang marak dilakukan baik oleh pihak pemerintah,
swasta maupun individu. Sejarah hutan mangrove Muara Angke sudah melekat dengan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat sekitarnya. Hutan Mangrove
yang kini pengelolaannya berada di bawah pemerintah dalam bentuk Suaka Margasatwa Muara Angke, dahulu merupakan Cagar Alam sejak pemerintahan
Kolonial Hindia Belanda tepatnya pada 17 Juni 1939. Luasan Cagar Alam yang semula 15.04 ha diperluas menjadi 1344.62 pada tahun 1960-an. Cagar Alam
Muara Angke lambat laun mengalami kerusakan seiring dengan berkurangnya daya dukung lingkungan akibat tekanan penduduk. Kondisi ini menyebabkan
kawasan Cagar Alam statusnya berubah menjadi Suaka Margasatwa Muara Angke yang luas totalnya 25.02 ha pada tahun 1998 berdasarkan SK Menteri Kehutanan
dan Perkebunan No. 097Kpts-II1998 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 755Kpts-II1998 dengan tujuan untuk merehabilitasi
kawasan yang rusak BKSDA DKI Jakarta, 2010. Status pengelolaan hutan yang dimiliki negara state property
menyebabkan masyarakat sekitar tidak dapat leluasa memasuki dan memanfaatkan potensi sumberdaya alam di dalamnya. Keadaan tersebut
berlangsung sejak ditetapkannya kawasan hutan menjadi Cagar Alam hingga kini berubah menjadi Suaka Margasatwa Muara Angke. Akses untuk memasuki
kawasan hutan hanya diperuntukkan bagi warga atau pihak yang mendapatkan izin dari Kantor Balai Konservasi Sumberdaya Alam BKSDA DKI Jakarta
berupa Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi SIMAKSI untuk kepentingan studi, penelitian, dan kegiatan pendidikan lainnya.
Masyarakat Muara Angke pada mulanya masih bisa memanfaatkan hasil hutan untuk dikonsumsi misalnya buah nipah Nypa fruticans untuk dimakan dan
hasil hutan lainnya. Namun, hal itu berlangsung hanya pada saat hutan masih berstatus Cagar Alam dan sejak menjadi Suaka Margasatwa penjagaan semakin
ketat sehingga masyarakat tidak dapat lagi mengambil hasil hutan.
Nah, kalau orang dulu itu masih suka makan buah nipah, untuk dimasak dan dibuat cemilan. Pada waktu itu kami masih bisa ambil
sedikit-sedikit di hutan, tapi tidak sampai tebang pohon, ambil seperlunya saja. Nelayan pun sudah mengerti dan tahu soal itu. Tapi
sekarang selain sudah tidak boleh sembarangan masuk hutan, orang- orang sudah tidak terbiasa lagi makan buah nipah, sudah tidak doyan.
Bapak H.Nam, 50 tahun, Tokoh Masyarakat Muara Angke Berdasarkan hasil penelitian kepada 50 responden, ternyata semua
responden yang berarti 100 persen tidak memiliki hak akses masuk dan pemanfaatan hutan mangrove. Akses dalam hal ini termasuk pada kegiatan dan
pemilikan bukaan lahan mangrove yang didapat pada data penelitian, yang menunjukkan bahwa 100 persen responden tidak memiliki lahan bukaan di dalam
kawasan hutan mangrove. Masyarakat Muara Angke sudah mengetahui dan paham pada peraturan pemerintah bahwa keberadaan hutan mangrove tidak dapat
diganggu dengan aktivitas manusia. Sementara itu, nelayan di Muara Angke hanya memanfaatkan kawasan
pinggiran hutan mangrove sebagai tempat merapat dan istirahat setelah seharian melaut. Kawasan pinggiran hutan mangrove juga kerap dijadikan tempat nelayan
untuk memperbaiki kapal yang rusak, karena kini di pantai utara Jakarta sulit lagi ditemui tempat merapat yang nyaman. Hampir semua garis pantai Jakarta sudah
berubah menjadi perumahan, kawasan industri, pelabuhan, dan sebagainya. Aktivitas nelayan yang seperti ini dianggap tidak menjadi masalah dan tidak
termasuk melanggar peraturan pemerintah, sehingga tidak mendapat teguran dari polisi hutan setempat selama nelayan tidak memasuki dan merusak kawasan
konservasi. Lain halnya dengan nelayan Muara Angke yang telah paham pada
peraturan pemerintah terkait konservasi hutan mangrove, petugas polisi hutan biasanya menindak nelayan yang berasal dari luar Jakarta seperti nelayan
Lampung, Banten, Cirebon dan sebagainya. Nelayan pendatang yang memasuki
perairan Jakarta umumnya belum mengetahui peraturan terkait perlindungan hutan mangrove sehingga masih saja ditemui aktivitas pemotongan ranting pohon
bakau, penangkapan burung dan satwa lain yang dilindungi undang-undang. Fenomena ini sesuai dengan data kualitatif yang diperoleh dari salah satu
informan yaitu sebagai berikut.
Selama saya bertugas di sini, jarang sekali atau malah tidak pernah memergoki warga asli Muara Angke yang melanggar. Biasanya yang
suka masuk diam-diam itu nelayan yang dari luar Jakarta seperti dari Lampung, Banten, Cirebon sama yang warga lain. Biasanya mereka
mengambil ranting untuk kayu bakar, menangkap burung-burung, memancing umpan. Kalau mereka ketahuan, ya saya tegur dulu pada
awalnya. Nanti kalau ternyata masih tetap diteruskan ya terpaksa saya rampas, terus saya bawa ke pos supaya diproses sama teman-teman dan
atasan saya. Jadi warga sini rata-rata sudah paham masalah peraturan SMMA
. Bapak Tan, 38 tahun, polisi hutan Suaka Margasatwa
Muara Angke Akses masyarakat Muara Angke terhadap hutan mangrove terbentur
dengan kebikajan pemerintah yang secara top down menetapkan kawasan hutan sebagai kawasan konservasi dari Cagar Alam menjadi Suaka Margasatwa.
Meskipun begitu, masyarakat Muara Angke dapat memahami dan mematuhi pertauran pemerintah, namun yang justru menjadi hambatan bagi pengelolaan dan
perlindungan hutan mangrove adalah ancaman konversi lahan mangrove untuk pembangunan serta warga yang berasal dari luar Muara Angke yang sengaja
menyusup ke kawasan hutan untuk memburu satwa.
5.2. Interaksi Sosial-Ekologi di Hutan Mangrove bersifat Asosiatif