kedekatannya dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta membuat para investor tertarik untuk mengembangkan usaha di sana. Pemerintah selaku pemangku
kekuasaan tentu mengatur pergerakan para investor dengan adanya kebijakan dan peraturan. Namun dalam pengaturannya, pemerintah belum mampu
mengendalikan manuver pihak swasta sehingga menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan di Kelurahan Pluit dan khususnya
kawasan hutan mangrove Muara Angke. Interaksi semacam ini menimbulkan korban yaitu masyarakat umum yang secara langsung atau tidak langsung
dirugikan baik dari segi sosial maupun ekologis. Manusia dan alam sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
sering kali terjadi pola dan arus hubungan yang tidak seimbang sehingga salah satu pihak mengalami kerugian dan pihak lain diuntungkan. Interaksi yang tidak
seimbang inilah yang terjadi pada kasus Masyarakat Muara Angke dengan beberapa pihak stakeholder seperti sesama manusia yaitu antar masyarakat,
pemerintah dan swasta serta dengan alam itu sendiri. Interaksi secara sosial yang tidak seimbang antara pihak-pihak ini menimbulkan marginalisasi, ancaman dari
masing-masing pihak kepada pihak yang lain, konflik dengan derajat kedalaman tertentu pada setiap aktor yang terlibat sehingga dapat bermuara pada terjadinya
aksi demonstrasi dan bentrokan.
5.2.3.1 Marginalisasi
Masyarakat pesisir
Muara Angke yang didominasi oleh kehidupan nelayan yang hubungan kekerabatannya tinggi dan bersifat patron-klien yang secara
normatif menjadi modal sosial dalam membangun sebuah sistem sosial pesisir. Pembangunan pantai utara Jakarta yang semakin lama mengarah pada
pembangunan ekonomi dan industri, membuat rakyat kecil yang diwakili oleh warga Kampung Kali Adem jadi pihak yang terabaikan dari sisi ekonomi dan
sosial. Kebijakan pemerintah juga turut andil dalam proses peminggiran hak masyarakat pesisir Muara Angke dengan dibukanya Hutan Angke-Kapuk menjadi
kawasan perumahan elit. Sebagian kawasan hutan Angke-Kapuk HAK mulai dilepaskan oleh
pemerintah dimulai sejak tahun 1988. Keputusan Menteri Kehutanan dengan SK
No. 097KPTS-II98 telah melepaskan kawasan hutan mangrove Angke-Kapus seluas 831.63 ha dalam rangka pembangunan kawasan komersial PIK. Setelah
pembangunan kawasan komersil PIK berlangsung selama beberapa tahun, masyarakat kawasan Kelurahan Kapuk dan Muara Angke mulai merasakan
dampak buruknya. Lingkungan menjadi sering tergenang air akibat intrusi air laut ke daratan. Dampak buruk ini mengakibatkan masyarakat menanggung kerugian
sosial dan ekonomi. Hak masyarakat Muara Angke untuk hidup di kawasan yang aman dari
musibah banjir juga terabaikan akibat pembangunan PIK. Puncaknya terjadi pada tahun 2003 dan 2005 ketika sebagian besar wilayah Jakarta dilanda banjir.
Peristiwa ini membuat kemarahan serta kekecewaan warga di wilayah kelurahan Kapuk dan Kelurahan Pluit menjadi suatu keniscayaan. Masalah lain yang
muncul yaitu peminggiran hak Masyarakat Muara Angke di sektor ekonomi terkait dengan akses dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan hutan mangrove.
Keterdesakan ekonomi membuat sebagian masyarakat nelayan Muara Angke khususnya nelayan tradisional Kampung Kali Adem terkadang harus
memulung sampah di bantaran Kali Angke dan di dalam kawasan komersial dan hunian PIK. Mereka sering mengalami pengusiran oleh penghuni dan pengelola
kawasan hunian PIK karena dianggap mengganggu kenyamanan dan keindahan kawasan sebagaimana yang diutarakan responden:
Dulu anak-anak kami masih bisa main-main ke sana kawasan hunian elit, sambil memulung sampah untuk membantu orang tua. Tetapi
sekarang sudah tidak boleh lagi. Lihat saja, pagar pembatas kompleknya sudah lebih dibuat tinggi, jadi kami tidak bisa masuk ke
sana lagi. Kata mereka penghuni hunian elit, anak-anak kami itu suka mencuri di situ. Kami jadi jengkel jika dibilang begitu. Kami tidak
terima jadinya kami ada sedikit cek-cok dengan mereka
Bapak Kar, 27 tahun, warga Kampung Kali Adem
Polemik lain pun bermunculan seperti penangkapan nelayan oleh pihak keamanan kawasan komersil dan hunian PIK. Penangkapan ini dilakukan karena
nelayan dianggap memasuki kawasan hutan mangrove yang diklaim milik PIK pada saat kapal merapat di tepi batas hutan, tanpa melalui proses sosialisasi yang
memadai. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pihak swasta yang diwakili oleh PIK mempunyai kewenangan dan kuasa yang lebih atas akses dan kontrol
terhadap sumberdaya hutan mangrove. Marginalisasi tampak pada peminggiran nelayan tradisional dari sisi menyempitnya area tangkap. Dengan begitu, nelayan
harus menempuh jarak lebih jauh untuk memperoleh tangkapan dan umpan sebagaimana keterangan responden:
Orang komplek kaya sempat buat rugi karena kelompok nelayan saya sempat ditangkap oleh pihak swasta pengelola perumaham elit yang
akan dibangun di kawasan lahan mangrove yang sudah direklamasi. Tidak ada sosialisasi sebelumnya kalau ada pembangunan di situ, ada
peraturan, jadi nelayan tidak tahu. Swasta selalu mencurigai nelayan. Nelayan terpaksa mencari tangkapan ikan di tempat lain yang jaraknya
jauh dan menyebabkan hasil tangkapan menurun, bahkan hanya mendapat uji umpan berupa lintah dan yuyu merah saja.
Bapak Suk, 42 tahun, warga Perumahan Nelayan Muara Angke
Tindakan marginalisasi oleh pihak swasta yang membatasi wilayah melaut terasa sangat merugikan bagi nelayan, mengingat tingginya biaya operasional
terlebih untuk biaya bahan bakar solar dan biaya makan yang dibutuhkan untuk menempuh jarak jauh dalam mencari tangkapan. Keadaan ekonomi nelayan pun
menjadi makin terpuruk, terlebih dengan ditambah berkurangnya kelimpahan biota laut akibat polusi dan perusakan habitat, membuat hasil tangkapan ikan
semakin berkurang.
5.2.3.2 Ancaman