Faktor penyebab banjir di Jakarta tidak hanya menyangkut persoalan reklamasi pantai utara, namun juga pada segi teknis maupun non teknis. Menurut
Susmarkanto 2002, penyebab banjir dari segi teknis menyangkut buruknya sistem pengairan atau drainase di hampir seluruh wilayah Jakarta. Buruknya
sistem pengairan ini tercermin pada tersendatnya proyek Banjir Kanal Timur sebagai bagian penting dari masterplan pengendalian banjir. Sedangkan dari segi
non teknis, banjir Jakarta disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya sebagai berikut:
1. Perubahan iklim global climate change yang menyebabkan tingginya curah
hujan, ketidakjelasan cuaca, dan tingginya gelombang air laut sehingga banjir rob di kawasan pesisir tidak dapat dihindari. .
2. Rusaknya kawasan hutan konservasi dan konversi lahan di daerah hulu seperti
Bogor, Puncak dan Cianjur BOPONJUR untuk kepentingan pembangunan vila, hotel, pusat rekreasi dan pemukiman yang tidak terkendali. Hal ini
merupakan cerminan meningkatnya luasan lahan kritis di hulu yang berdampak pada peristiwa banjir kiriman ke daerah Ibukota.
3. Penyelewengan aturan mengenai peruntukan lahan rawa-rawa menjadi
pemukiman yang sebagian dilakukan oleh PIK. Penyerobotan kawasan hutan mangrove dan rawa-rawa oleh pihak swasta ini menyebabkan hilangnya daerah
resapan intrusi air laut, sehingga sering terjadi banjir rob. 4.
Buruknya pengelolaan 13 Daerah Aliran Sungai DAS yang melewati Jakarta, yang kadar polusi limbah rumah tangga sudah melampaui batas ambang
dengan kadar limbah semakin tinggi ke arah hilir dan muara. Hal ini lambat laun mengakibatkan pendangkalan dan penyempitan sungai. Pendangkalan
tersebut yang sering menimbulkan banjir karena daya tampung sungai untuk mengalirkan air hujan ke laut menjadi berkurang.
6.2.2 Penurunan Hasil Tangkapan Nelayan
Perubahan lingkungan yang terjadi di kawasan pesisir dan muara Sungai Angke berdampak nyata pada kehidupan nelayan Muara Angke. Kondisi perairan
laut yang tidak lagi bagus karena penumpukan sampah serta polusi dari limbah industri menyebabkan matinya beberapa biota laut terutama ikan. Kebutuhan
hidup yang semakin meningkat mendorong nelayan untuk menambah jumlah tangkapan guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Berikut adalah persentase
nalayan yang mengalami penurunan hasil tangkapan.
Gambar 15. Persentase Nelayan Muara Angke yang Mengalami Penurunan Hasil Tangkapan Tahun 2010
Sumber: Hasil Pengolahan Data Kuantitatif 2010 Penurunan hasil tangkapan nelayan bervariasi jumlah besarannya mulai
dari penguranagan tangkapan kurang dari setengah hasil tangkapan biasanya hingga lebih dari hasil tangkapan. Responden yang diambil datanya adalah
sejumlah 39 orang yang berprofesi sebagai nelayan. Persentase nelayan yang mengalami mengurangan hasil tangkapan lebih dari setengahnya adalah sebesar
66.67 persen 26 orang dan responden yang hasil tangkapannya berkurang tidak sampai setengahnya sejumlah 33.33 persen 13 orang. Berkurangnya tangkapan
sejauh ini belum dapat diatasi oleh nelayan karena nelayan Muara Angke merupakan nelayan kecil yang kapalnya bukanlah kapal besar dengan peralatan
yang lengkap. Nelayan hanya mengandalkan peralatan tangkap dan terknologi seadanya saat melaut.
Sekarang hasil tangkapan sudah jauh berkurang, mbak. Dulu setelah melaut bisa dapat ikan macam-macam, sekarang ikan sudah jarang lagi.
Misalnya, dulu saya bisa dapat 20 sampai 30 kg sekarang paling cuma 10 kg. Selain itu, dulu kami melaut tidak perlu jauh-jauh, ya di dekat sini-
sini saja saya sudah dapat ikan. Tetapi sekarang kami pergi melaut harus jauh sekali sampai jarak 5 mil
dari sini tepatnya di perairan Ancol. Belum lagi harga solar yang naik terus. Nelayan kan jadi repot.
Bapak War, 38 tahun, warga Kampung Kali Adem
Data yang didapat dari keterangan Bapak War 38 tahun menggambarkan kondisi yang sulit sedang dihadapi nelayan Muara Angke. Tidak hanya masalah
penurunan hasil tangkapan, tetapi juga rusaknya ekosistem pesisir terdekat
66.67 33.33
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
80.00
berkurang 0.5 berkurang 0.5 tetap
bertambah 0.5 bertambah 0.5
sehingga membuat nelayan semakin jauh melaut untuk mendapatkan tangkapan. Dengan peralatan yang terbatas, jarak terjauh yang ditempuh nelayan hanya
sebatas perairan utara Jakarta. Cuaca buruk dan gelombang tinggi juga terkadang menghambat nelayan untuk melaut sehingga hasil tangkapan dan pendapatan
nelayan pun berkurang. Menurunnya hasil tangkapan juga bisa berdampak pada menurunnya
tingkat pendapatan bahkan berlanjut pada tingginya tingkat kemiskinan pada rumah tangga nelayan, khususnya nelayan tradisional. Selain disebabkan oleh
rusaknya hutan mangrove, fenomena ini juga disebabkan oleh beberapa faktor yang kompleks yaitu sebagai berikut:
1. Perubahan iklim climate change yang dicirikan fenomena pemanasan global
global warming juga melanda Indonesia. Peristiwa ini menimbulkan naiknya permukaan air laut yang disertai tingginya gelombang pasang. Nelayan adalah
salah satu pihak yang dirugikan akibat global warming, karena mereka menggantungkan pendapatan hasil tangkapan ikan pada kondisi alam. Kini,
nelayan sudah tidak dapat leluasa melaut karena mereka lebih mengutamakan keselamatan dari pada terus menerjang tingginya ombak untuk mencari ikan.
Jarak melaut nelayan pun yang dahulu bisa melaut jauh dari bibir pantai, kini menjadi terbatasi oleh tingginya ombak dan cuaca buruk. Penurunan hasil
tangkapan dan pendapatan nelayan akhirnya tidak dapat dihindari 2.
Rusaknya terumbu karang di perairan pesisir utara Jakarta akibat eksploitasi secara berlebihan. Padahal, terumbu karang tidak terpisahkan fungsinya dengan
ekosistem mangrove yang juga merupakan tempat beberapa biota laut berkembang biak. Kerusakan ekosistem pesisir secara nyata berpengaruh pada
jumlah ikan yang semakin berkurang. Prodiktivitas nelayan dalam hal hasil tangkapan menurun drastis dari masa ke masa, terlebih pasca reklamasi pantai
utara Jakarta. 3.
Polusi di perairan Jakarta yang bersumber dari limbah industri dan limbah rumah tangga, juga merupakan salah satu penyebab menurunnya jumlah ikan.
Nelayan pun kembali menjadi korban karena hasil tangkapan ikan yang semakin berkurang. Tingkat polusi di perairan Muara angke sudah terbilang
tinggi mengingat daerah ini sebagai kawasan pesisir yang dikelilingi oleh kawasan industri dan lalu lintas kapal di Teluk Jakarta.
4. Overfishing yaitu aktivitas penangkapan ikan yang berlebihan tanpa
mempedulikan ekosistem dan kelestarian biota pesisir, mengingat perairan Jakarta adalah perairan dengan jalur pelayaran yang sangat padat. Kegiatan ini
berdampak pada punahnya beberapa spesies ikan dan biota laut lainnya, sehingga kelimpahan sumberdaya hayati pesisir semakin langka. Peningkatan
persaingan antar nelayan pun tidak dapat dihindari lagi. Fenomena tersebut pada akhirnya menjadi salah satu faktor penurunan hasil tangkapan ikan
nelayan tradisional Muara Angke.
6.2.3 Gangguan Satwa Liar ke Pemukiman Masyarakat