Model Pengembangan Perikanan Tangkap

pendapatan nelayan yang memadai. Pengembangan perikanan dibutuhkan untuk penyediaan protein bagi masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas unit dan produktivitas nelayan yang tinggi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis Monintja, 2000. Pengembangan perikanan tangkap selama ini berjalan lambat. Hal ini, disebabkan oleh kompleksnya permasalahan yang dihadapi, menyangkut faktor- faktor teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan. Penyebab lambatnya pengembangan usaha perikanan tangkap saat ini adalah posisi tawar yang lemah, kurangnya modal usaha, tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang rendah dan kurangnya pembinaan dari instansi terkait. Oleh karena itu dalam perencanaan dan pengembangannya perlu dilakukan suatu pendekatan komprehensif yang dilandasi oleh teknologi yang tepat guna dan tepat waktu sehingga hasilnya benar-benar berdaya guna, terutama bagi nelayan di wilayah masyarakat pantai. Untuk itu, teknologi yang akan dipakai haruslah yang dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknis mencakup aspek sumberdaya, ekonomi, sosiologi, kelembagaan dan lingkungan Yahya, 2007. Selanjutnya dikatakan bahwa pengembangan perikanan harus diubah menjadi suatu usaha perikanan tangkap yang dikelola dengan cara-cara maju, tetapi tetap melibatkan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan suatu desain sistem untuk menghasilkan usaha yang efisien dengan penerapan teknologi yang sesuai. Untuk perencanaan dan pengembangannya diperlukan intervensi kekuatan dari luar antara lain untuk melakukan reformasi modal, menciptakan pasar, sistem kelembagaan dan input teknologi. Sektor perikanan juga akan dihadapkan pada berbagai hambatan seperti ditolaknya produk ekspor hasil perikanan oleh beberapa negara tujuan ekspor seperti Eropa dan Amerika, sebagai akibat mutu produk tidak terjamin dan memenuhi persyaratan, karena diduga tercemar logam berat. Posisi penawaran harga produk yang lemah karena harga ditentukan oleh negara tujuan ekspor yaitu Jepang dan Amerika, Uni Eropa dan Korea. Untuk mengantisipasi gejala ini, pengembangan perikanan harus melalui pengembangan agroindustri, karena agroindustri khususnya industri perikanan membutuhkan ketersediaan bahan baku berkembang tanpa dukungan kegiatan perikanan yang menghasilkan bahan baku primer ikan. Untuk penyediaan bahan baku primer harus didukung oleh sarana alat tangkap dan kapal maupun infrastruktur berupa pelabuhan perikanan yang dilakukan secara bersamaan dan harmonis serta sesuai dengan persyaratan dunia tentang produk hasil perikanan Wahyuni, 2002. Charles 2001 mengemukakan sistem perikanan terdiri dari tiga komponen, yaitu sistem alam natural system, sistem manusia human system dan sistem pengelolaan perikanan fishery management system. Sistem alam terdiri dari 3 subsistem, yaitu ikan fish, ekosistem biota ecosystem dan lingkungan biofisik biophysical environment. Sistem manusia terdiri dari 4 subsistem yaitu nelayan fishers, bidang pasca panen dan konsumen post harvest sector and consumers, rumah tangga dan komunitas masyarakat perikanan fishing households and communities dan lingkungan sosial ekonomi budaya social economiccultural environment. Sistem manajemen dikelompokkan menjadi 4 subsistem, yaitu perencanaan dan kebijakan perikanan fishery policy and planning, manajemen perikanan fishery management, pembangunan perikanan fishery development dan riset perikanan fishery research. Pengembangan wilayah di daerah pesisir, khususnya pengembangan sumberdaya perikanan menuntut sumberdaya di daerah tersebut dapat berkesinambungan. Salah satu cara adalah membuat wilayah tertentu menjadi wilayah terlindung marine protected areas yang merupakan bentuk program untuk melindungi keberagaman dan mengelola habitat laut yang sensitif dan juga untuk melindungi spesies yang mengalami tekanan pemanfaatan berlebih atau spesies yang hampir punah Cho, 2005. Salah satu konsep ruang dalam pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan, yaitu melibatkan nelayan, meningkatkan kesadaran akan adanya pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan menampung aspirasi yang diaspirasikan oleh semua stakeholder dalam pengembangan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir Storrier dan McGlashan, 2006. Pengelolaan sumberdaya perikanan, haruslah dikelola secara terpadu, karena dalam proses pengaturan, para stakeholder yang umumnya anggota kelompok nelayan memiliki kekuatan dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan di daerahnya. Saat ini, sudah banyak kelompok masyarakat nelayan yang sadar akan pentingnya keterlibatan mereka dalam merumuskan atau merencanakan kegiatan-kegiatan perikanan di wilayahnya Kaplan dan Powell, 2000. Umumnya masyarakat nelayan membutuhkan koordinasi lebih lanjut dengan pemerintah dalam pembentukan peraturan yang mengatur tentang bagaimana sebaiknya memanfaatkan sumberdaya perikanan yang berkesinambungan. Pengelolaan sumberdaya perikanan, hendaknya dimengerti sebagai proses dinamis dan interaktif yang mengalami dinamika dan perubahan secara terus menerus. Untuk itu, dukungan pemerintah untuk mengelola sumberdaya perikanan yang efesien dan berkesinambungan sangat dibutuhkan saat ini Hauck dan Sowman, 2001. Kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan diharapkan tidak terjadi tumpang tindih program dalam pengelolaan. Ada beberapa cara pengembangan perikanan, diantaranya memperbaiki kerangka legislatif yang berpengaruh pada sektor perikanan. Penguatan departemen perikanan berupa kolaborasi yang lebih baik dengan departemen lain, memecahkan masalah pendanaan, meningkatkan penelitian perikanan, serta pengembangan sumberdaya manusia dibidang perikanan Thorpe, 2009. Menurut Putro 2002 bahwa perlunya strategi dalam mengatasi tantangan dan menghadapi berbagai hambatan dalam pengembangan perikanan tangkap antara lain menyusun strategi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah seperti : 1 Membangun prasarana berupa pelabuhan perikanan samudera yang tidak lain adalah untuk memberi pelayanan dalam pengembangan industri perikanan, 2 Menghilangkan birokrasi yang dapat menghambat kinerja industri, 3 Mengembangkan dan mendorong organisasi nelayan agar nelayan tradisional mampu meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan usahanya guna memanfaatkan sumberdaya perikanan guna mensuplai kebutuhan bahan baku industri, 4 Menyediakan modal investasi dan modal kerja kepada industri perikanan agar mampu meningkatkan kualitas produk dengan harga yang kompetitif untuk memenangkan persaingan pasar. Salah satu komponen pokok yang sensitif dan selalu menjadi ciri khas pada pengembangan perikanan tangkap skala kecil dan menengah adalah permasalahan permodalan. Permasalahan modal bukan disebabkan oleh tidak adanya lembaga keuangan dan kurangnya uang beredar, namun disebabkan sebagian besar lembaga keuangan di Indonesia kurang berminat pada kegiatan usaha perikanan, karena dianggap beresiko tinggi high risk mengingat hasil tangkapan nelayan tidak pasti. Sedangkan dalam menyalurkan dana pinjamannya, lembaga keuangan pada umumnya menetapkan syarat agunan collateral yang sulit untuk dapat dipenuhi oleh para pelaku usaha penangkapan ikan skala kecil. Modal merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan perikanan tangkap. Hanya saja pemodal atau lembaga keuangan selalu mempertimbangkan risiko yang melekat pada usaha perikanan tangkap antara lain: 1 production risk, yaitu meliputi risiko atas hasil tangkapan nelayan yang diharapkan, seperti gangguan alam cuaca, arus, stok ikan yang makin tipis; 2 natural risk, yaitu risiko akibat kondisi alam, biasanya merupakan salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya risiko produksi, seperti terjadinya angin badai atau topan; 3 price risk, yaitu harga hasil tangkapan ikan tidak sesuai dengan yang diharapkan, misalnya karena ada permainan tengkulak; 4 technology risk, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi oleh pesatnya kemajuan teknologi, yang dapat menimbulkan ketidakpastian; 5 other risk, yaitu macam risiko lainnya Ritonga, 2004. Perlunya pengelolaan perikanan yang dinamis dalam menghadapi era globalisasi, yaitu sesuai dengan perspektif para stakeholder yang senantiasa berkembang. Implikasi dari perkembangan perspektif tersebut adalah penyesuaian atau perubahan dapat terjadi pada tujuan, strategi dan kegiatan pengelolaan perikanan. Saat ini, pengelolaan perikanan lebih diarahkan untuk memaksimumkan manfaat sumber daya ikan, memastikan diterapkannya keadilan terhadap para pengguna terutama nelayan atau masyarakat pesisir yang masih terjerat dalam kemiskinan, melestarikan sumber daya ikan serta menjaga kondisi lingkungan. Usaha perikanan sangat beragam dan ada faktor yang mempengaruhi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Faktor tersebut meliputi faktor biologi, teknologi, sosial budaya dan ekonomi. Perkembangan percepatan kegiatan atau aktivitas di daerah pesisir lebih diarahkan pada pematangan kelembagaan organisasi perikanan, penataan ruang dan sumberdaya. Guillemot et al, 2009. Pengembangan perikanan tangkap tidak berkembang kearah yang lebih baik, karena 1 masih rendahnya muatan teknologi disektor kelautan dan perikanan; 2 lemahnya pengelolaan; dan 3 masih kurangnya dukungan ekonomi-politik Adrianto dan Kusumastanto, 2004. Perikanan tangkap menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Berdasarkan pengelolaannya, UU No. 22 Tahun 1999 pasal 10 ayat 2 menyatakan bahwa kewenangan daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada pasal 3, meliputi 1 eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut, 2 pengaturan kepentingan administrasi, 3 pengaturan tata ruang, 4 penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, dan 5 bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Selanjutnya pasal 10 ayat 3 dijelaskan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota di wilayah laut, sebagaimana dimaksud pada ayat 2 adalah sejauh sepertiga dari batas laut daerah provinsi. Kegiatan perikanan tangkap di Indonesia dikategorikan di dalam dua kelompok besar, yakni perikanan komersil dengan investasi rendah hingga sedang dan perikanan komersil dengan investasi tinggi atau dapat disebut dengan perikanan industri industrial fishery. Perbedaan dua kelompok tersebut terletak pada armada perikanan tangkap yang digunakan. Perikanan komersil dengan investasi rendah hingga sedang dicirikan oleh penggunaan armada kapal motor 2- 30 Gross Tonnage GT. Nilai investasi yang ditanamkan pada kegiatan ini tergolong kecil hingga sedang dengan alat tangkap yang digunakan juga sangat bervariasi. Daerah operasi penangkapan ikan umumnya terkonsentrasi di perairan pantai pada jalur penangkapan 0,3 – 12 mil. Sedangkan perikanan industri dicirikan menggunakan armada kapal penangkapan ikan berukuran lebih besar dari 30 GT dengan alat tangkap yang relatif besar dan dilengkapi pula dengan alat bantu penangkapan ikan mekanis maupun elektronik. Daerah operasi penangkapan ikan umumnya dilakukan dijalur penangkapan di atas 12 mil hingga perairan ZEE Indonesia sejauh 200 mil Ditjen Perikanan Tangkap, 2005. Perikanan tangkap merupakan aktivitas perekonomian yang meliputi penangkapan atau pengumpulan hewan dan atau tanaman air yang hidup di perairan laut atau perairan umum secara bebas. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan atau berhubungan dan saling mempengaruhi satu dengan sama lainnya. Komponen- komponen perikanan tangkap: 1 SDM nelayan; 2 sarana produksi; 3 usaha penangkapan; 4 prasarana pelabuhan; 5 unit pengolahan; 6 unit pemasaran dan 7 ekspor Kesteven 1973 yang dimodifikasi oleh Monintja, 2001. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam pengembangan perikanan disuatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap banyak tenaga kerja dengan pendapatan yang memadai. Modal yang dibutuhkan untuk pengembangan tersebut perlu disiapkan oleh pemerintah melalui suatu anggaran khusus. Pengembangan perikanan tersebut harus dapat mensinkronkan kegiatan produksi dengan kesiapan sarana dan prasarana perikanan tangkap, penguasaan pasar yang baik, dan kestabilan harga yang diawasi oleh pemerintah dan punya jenis produk yang diunggulkan, kontinyu jumlahnya, punya grade kualitas atau mutu tertentu, selalu ada pada saat dibutuhkan tepat waktu, dan produknya tersedia pada berbagai tempat yang resmi. Pengembangan perikanan khususnya sub sektor perikanan tangkap tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan, tetapi juga untuk meningkatkan konstribusi sektor perikanan terhadap perekonomian nasional, utamanya guna membantu mengatasi krisis ekonomi, baik dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, penerimaan devisa melalui ekspor, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak Manggabarani, 2005. Selajutnya dikatakan bahwa pengelolaan perikanan menjadi semakin penting oleh sebab perubahan-perubahan dalam hal ekonomi, teknologi, dan lingkungan, termasuk penggunaan cara-cara tradisional dalam penanganan sumberdaya perikanan. Contoh pengaruh perubahan-perubahan tersebut adalah peningkatan pendapatan nelayan semakin penting sejalan dengan meningkatnya pengeluaran untuk konsumsi dan barang. Semakin efisien alat penangkapan misalnya gill net berarti semakin banyak ikan yang dapat ditangkap per satuan waktu; juga dengan adanya kemampuan sarana penyimpan seperti freezer, maka lebih banyak ikan yang dapat disimpan. Semua itu menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan meliputi berbagai aspek dan sifatnya dinamis sesuai perkembangan lingkungan. Pengembangan perikanan tangkap membutuhkan kaidah-kaidah tata ruang khususnya tata ruang wilayah pesisir dan laut yang umumnya selalu berubah- berubah seriring terjadi pasang surut di wilayah pantai. Hal ini terkadang menyulitkan terutama untuk justifikasi batas wilayah administrasi daerah. Untuk kepentingan pengelolaan, batas wilayah pesisir dibagi dua macam, yaitu batas wilayah perencanaan planning zone dan batas wilayah pengaturan regulation zone atau pengelolaan keseharian day-today management. Wilayah perencanaan dapat meliputi seluruh daratan apabila terdapat aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia yang secara nyata dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir serta masih memungkinkan untuk dikembangkan. Untuk wilayah keseharian, pemerintah mempunyai kewenangan yang dapat menetapkan beberapa peraturan terkait dengan aktivitas ekonomi atau pembangunan yang dilakukan oleh manusia Dahuri, 2001 Pentingnya melibatkan berbagai pihak, yaitu nelayan, pemerintah, dan stakeholder lainnya dalam pengembangan perikanan tangkap. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan diperlukan untuk menjamin agar sektor perikanan dapat memberikan manfaat yang optimal bagi para stakeholder baik sekarang atau masa yang akan datang, serta terciptanya perikanan yang bertanggung jawab. Pengembangan penangkapan ikan pada hakekatnya terarah pada pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal dan rasional bagi kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan nelayan khususnya, tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya ikan itu sendiri maupun lingkungannya. UUNo.312004 tentang perikanan juga mengamanatkan bahwa pengelolaan perikanan, termasuk kegiatan perikanan tangkap, harus dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efesiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Kendala yang dihadapi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil dan menengah secara umum ada 4 empat faktor yang sangat dominan mempengaruhi keberhasilan upaya pengembangan usaha perikanan yaitu: pemasaran, produksi, organisasi, keuangan dan permodalan. Selain itu, usaha perikanan tangkap sangat berbeda dengan bidang-bidang lainnya. Usaha perikanan tangkap di laut relatif lebih sulit untuk diprediksi keberhasilannya, karena sangat peka terhadap faktor eksternal musim dan iklim serta faktor internal teknologi, sarana dan prasarana penangkapan ikan dan modal. Kerentanan dalam proses produksi akan mengakibatkan adanya fluktuasi dalam perolehan hasil tangkapannya Baskoro, 2006.

2.2 Alat Tangkap

2.2.1 Purse seine

Purse seine biasanya disebut jaring kantong, karena bentuk jaring tersebut waktu dioperasikan menyerupai kantong. Purse seine kadang-kadang juga disebut jaring kolor, karena pada bagian bawah jaring dilengkapi dengan tali kolor yang berguna untuk menyatukan bagian bawah jaring sewaktu operasi, dengan cara menarik tali kolor tersebut Sadhori, 1985. Alat tangkap purse seine merupakan alat tangkap yang dioperasikan secara aktif, yaitu dengan cara mengejar dan melingkarkan jaring pada suatu gerombolan ikan. Selanjutnya dikatakan bahwa purse seine terdiri dua jenis yaitu tipe Amerika dan Jepang. Purse seine tipe Amerika berbentuk empat persegi panjang dengan bagian pembentuk kantong terletak di bagian tepi jaring. Purse seine tipe Jepang berbentuk empat persegi panjang dengan bagian bawah berbentuk busur lingkar. Bagian pembentuk kantong pada purse seine tipe Jepang terletak ditengah jaring Brandt, 2005. Sadhori 1985, menyatakan bahwa purse seine dibedakan berdasarkan empat kelompok besar yaitu : 1 Berdasarkan bentuk jaring utama : persegi panjang atau segi empat, trapesium atau potongan, dan lekuk, 2 Berdasarkan jumlah kapal yang digunakan pada waktu operasi : tipe satu kapal one boat system dan tipe dua kapal two boat system, 3 Berdasarkan waktu operasi yang dilakukan : purse seine siang dan purse seine malam, 4 Berdasarkan spesies ikan yang tertangkap : purse seine lemuru, layang, kembung, cakalang. Prinsip penangkapan dengan menggunakan purse seine adalah melingkari gerombolan ikan dengan jaring, kemudian bagian bawah jaring dikerucutkan sehingga ikan tujuan penangkapan akan terkurung pada bagian kantong, atau dengan memperkecil ruang lingkup gerakan ikan, sehingga ikan tidak dapat melarikan diri. Oleh sebab itu, jika ikan belum terkumpul pada suatu catchable area atau berada diluar kemampuan tangkap jaring, maka dapat diusahakan ikan datang atau berkumpul dengan menggunakan lampu atau rumpon Ayodhyoa, 1981.

2.2.2 Bagan perahu

Bagan lifnet merupakan alat tangkap yang dioperasikan dengan cara menarik waring ke permukaan air pada posisi horisontal. Pada saat pengangkatan waring ke permukaan terjadi proses penyaringan air, ikan yang berukuran lebih besar dari ukuran mata waring akan tersaring pada waring Fridman, 1986. Kontruksi bagan perahu terdiri dari waring, perahu, rumah bagan anjang- anjang, lampu, serok, dan roller yang berfungsi untuk mengangkat dan menurunkan waring Subani dan Barus, 1989. Menurut Von Brandt 2005, bagan diklasifikasikan ke dalam klasifikasi jaring angkat lifnet karena proses pengoperasiannya, jaring diturunkan ke dalam perairan, kemudian diangkat secara vertikal, berdasarkan teknik yang digunakan untuk memikat perhatian ikan agar berkumpul pada area, maka bagan diklasifikasikan dalam light fishing yang menangkap ikan dengan menggunakan atraktor cahaya untuk mengumpulkan ikan. Bagan perahu menggunakan lampu atau cahaya sebagai alat bantu penangkapan, oleh karena itu operasi tidak dimungkinkan dilakukan pada siang hari atau saat sinar bulan terang, karena cahaya menyebar merata dipermukaan air. Penangkapan ikan dengan bagan hanya akan efektif dilakukan pada malam hari. Waktu operasi penangkapan biasanya dimulai saat matahari mulai terbenam hingga menjelang fajar. Pada umumya ikan akan aktif dan menunjukkan sifat fototaksis yang maksimum sebelum tengah malam Gunarso, 1985.