Uji N-gain Pengujian Hipotesis

siswa jauh lebih baik dibandingkan dengan kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran sesuai dengan Kurikulum 2013. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengujian hipotesis yang menggunakan uji t-pasangan hasil pretest dan posttest kelas eksperimen pada taraf 5 lebih besar dibandingkan dengan hasil pretest dan posttest kelas kontrol, yaitu 12,59 untuk kelas eksperimen dan 7,43 untuk kelas kontrol. Meskipun demikian, dua kelas tersebut sama-sama berhasil dalam mempengaruhi keterampilan berpikir kritis. Peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa di kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran inquiry training juga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran sesuai dengan Kurikulum 2013. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengujian N-gain terhadap data pretest dan posttest, baik dari kelas eksperimen maupun dari kelas kontrol. Nilai rata-rata N-gain yang didapat dari pretest dan posttest kelas eksperimen adalah sebesar 0,49 di mana hal ini dapat diinterpretasikan bahwa peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa yang menggunakan model pembelajaran inquiry training berada pada taraf sedang. Sedangkan, nilai rata-rata N-gain yang didapat dari pretest dan posttest kelas kontrol adalah sebesar 0,23 di mana hal ini dapat diinterpretasikan bahwa peningkatan ketereampilan berpikir kritis siswa yang menggunakan pembelajaran sesuai dengan Kurikulum 2013 berada pada taraf rendah. Sementara itu, interpretasi berdasarkan uji homogenitas data pretest dari kelas eksperimen dan kontrol dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan berpikir kritis siswa sebelum dilakukannya pembelajaran dari dua kelas tersebut adalah sama. Begitu juga dengan uji homogenitas data posttest yang dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan berpikir kritis siswa sesudah dilakukannya pembelajaran dari dua tersebut adalah sama. Akan tetapi, apabila dipahami secara mendalam maka hasil perhitungan uji homogenitas antara pretest dan posttest cukup berbeda. Koefisien homogenitas nilai pretest jauh lebih besar dibandingkan dengan koefisien homogenitas nilai posttest. Hal ini dikarenakan nilai-nilai pretest siswa lebih beragam dibandingkan dengan nilai-nilai posttest siswa. Makna “beragam” di sini memiliki maksud bahwa rentang nilai pretest kelas eksperimen yang besarnya 37 lebih luas dibandingkan dengan rentang nilai pretest kelas kontrol yang besarnya hanya 21 di mana rata-rata nilai pretest kelas eksperimen lebih kecil dibandingkan dengan kelas kontrol sehingga nilai kelas eksperimen tersebut tidak dapat mencapai kelas kontrol. Jadi, hal ini dapat dikatakan bahwa secara khusus tingkat berpikir kritis siswa di kelas eksperimen lebih beragam atau sedikit berbeda dibandingkan dengan tingkat berpikir kritis siswa di kelas kontrol yang cenderung sama. Sementara itu, jika dilihat dari nilai-nilai posttest siswa maka dapat disimpulkan bahwa secara khusus tingkat berpikir kritis siswa di kelas eksperimen tidak jauh berbeda dengan tingkat berpikir kritis siswa di kelas kontrol. Hal ini dapat dilihat dari rentang nilai posttest kelas eksperimen yang besarnya 41 sedikit lebih sempit dibandingkan dengan rentang nilai posttest kelas kontrol yang besarnya 47 di mana rata-rata nilai posttest kelas eksperimen lebih besar dibandingkan dengan kelas kontrol sehingga nilai kelas eksperimen dapat mencapai bahkan melampaui kelas kontrol. Berdasarkan hasil analisis indikator keterampilan berpikir kritis, dapat dilihat bahwa rata-rata nilai tiap indikator pada posttest lebih besar daripada rata- rata nilai tiap indikator pada pretest, baik di kelas eksperimen maupun di kelas kontrol. Namun, penguasaan keterampilan berpikir kritis berdasarkan indikatornya, kelas eksperimen mampu mencapai indikator dalam menjelaskan bentuk definisi berupa operasional persamaan, sedangkan kelas kontrol hanya mencapai indikator keahlian dalam menilai kredibilitas sumber. Indikator menjelaskan bentuk definisi berupa operasional persamaan kedudukannya lebih tinggi dibandingkan dengan indikator menilai kredibilitas sumber berdasarkan keahlian. Jika dilihat peningkatan keterampilan berpikir kritis kelas eksperimen berdasarkan indikator secara lebih luas, maka terdapat satu indikator yang peningkatannya tinggi yakni indikator dalam menjelaskan bentuk definisi berupa operasional persamaan. Adapun empat indikator yang peningkatannya sedang yakni indikator dalam menilai kredibilitas sumber berdasarkan keahlian, membuat generalisasi, mempertimbangkan dan memberikan alasan dengan membuat pengandaian posisi kondisi, dan mengintegrasikan kemampuan berpikir kritis dalam membuat dan mempertahankan keputusan. Sedangkan indikator yang peningkatannya rendah ada tiga, yaitu indikator dalam mengidentifikasi atau merumuskan kriteria untuk mempertimbangkan jawaban, menerapkan prinsip- prinsip yang dapat diterima, dan menuliskan asumsi yang dibutuhkan. Untuk kelas kontrol, terdapat dua indikator yang peningkatannya sedang yakni indikator dalam menilai kredibilitas sumber berdasarkan keahlian dan menuliskan asumsi yang dibutuhkan. Sedangkan peningkatan enam indikator lainnya rendah, tidak ada indikator yang peningkatannya tinggi. Jadi, dapat disimpulkan penguasaan keterampilan berpikir kritis kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Hal ini disebabkan model pembelajaran inquiry training yang digunakan oleh kelas eksperimen terdapat tahapan pengumpulan data verifikasi di mana siswa akan mencari segala jenis informasi tentang materi yang akan diselidiki dan harus dibuktikan pada tahapan pengumpulan data eksperimen, baik informasi berupa contoh peristiwa, pengertian, maupun istilah yang digunakan. Kedua tahapan tersebut disempurnakan pada dua tahapan terakhir, yaitu tahapan organisasi data dan formulasi kesimpulan dan tahapan analisis proses inkuiri, sehingga pembelajaran fisika menjadi lebih bermakna. Sementara itu pembelajaran di kelas kontrol, pada tahapan bertanya tidak cukup untuk memberikan informasi yang akan digunakan pada tahapan eksplorasi sehingga siswa tidak dapat menjelaskan bentuk definisi, hanya ahli dalam mengetahui kredibilitas sumber. Selanjutnya, berdasarkan analisis lembar observasi keterlaksanaan model pembelajaran inquiry training, rata-rata persentase keterlaksanaannya sebesar 92,20. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan model pembelajaran inquiry training adalah baik. Semua tahapan pada model pembelajaran tersebut dilaksanakan dengan baik. Namun, ada beberapa sub tahapan kegiatan pembelajaran yang pelaksanaannya kurang maksimal. Sub tahapan tersebut rata- rata yakni kegiatan guru dalam membimbing siswa dalam mengumpulkan informasi atau data-data tentang konsep yang akan dipelajari melalui studi pustaka dari berbagai referensi pada tahapan pengumpulan data verifikasi. Di sana terdapat catatan bahwa masih ada siswa yang tidak melakukannya. Hal ini