Model Pembelajaran Inquiry Training

tersebut. 25 a. Keterampilan melakukan pengamatan, pengumpulan, dan pengorganisasian data, termasuk merumuskan dan menguji hipotesis, serta menjelaskan fenomena. Jadi, di dalam model pembelajaran inquiry training ini, beberapa aspek atau kejadian yang berhubungan dengan situasi yang disajikan kepada siswa harus diselidiki oleh mereka sendiri. Model pembelajaran ini sangat penting untuk mengembangkan nilai dan sikap yang sangat dibutuhkan agar siswa mampu berpikir ilmiah, seperti: b. Kemandirian belajar. c. Keterampilan mengekspresikan secara verbal. d. Kemampuan berpikir logis. e. Kesadaran bahwa ilmu bersifat dinamis dan tentatif. 26 Pembelajaran dengan inquiry training dapat dilakukan secara individu, kelompok maupun klasikal sehingga dengan pembelajaran tersebut siswa akan lebih aktif serta lebih memahami materi yang telah diterimanya. 27 Model pembelajaran inquiry training memiliki keunggulan karena siswa akan melakukan penelitian secara berulang-ulang dan dengan bimbingan yang berkelanjutan. Dengan demikian, apabila di dalam tujuan pembelajaran, guru menginginkan proses pembelajaran siswa dapat berjalan aktif dan materi pembelajarannya lebih dapat dipahami oleh siswa, maka siswa dapat melaksanakan model pembelajaran inquiry training ini, baik secara individu maupun kelompok. 28 Hasil penelitian Schlenker yang dikutip oleh Trianto menunjukkan bahwa latihan inkuiri dapat meningkatkan pemahaman sains, produktif dalam berpikir kreatif, dan siswa menjadi terampil dalam memperoleh dan menganalisis informasi. Jadi, eksplorasi pengetahuan di dalam pembelajaran yang dilakukan secara intensif oleh siswa merupakan suatu keunggulan dari model pembelajaran inquiry training ini. 29 25 Made Wena, Loc.Cit. 26 Iif Khoiru Ahmadi, dkk., Op.Cit., h.25. 27 Tutut Prasetiyani, Op.Cit., h.5. 28 Aulia Azizah dan Parmin, Inquiry Training untuk Mengembangkan Keterampilan Meneliti Mahasiswa, UNNES Science Educational Journal Vol.1 No.1, 2012, h.2. 29 Trianto, Op.Cit., h.167. Dengan demikian, pemahaman sains, produktivitas dalam berpikir kreatif, dan keterampilan siswa dapat ditingkatkan melalui pembelajaran inquiry training. Dalam melaksanakan model pembelajaran inquiry training ini, Joice dan Weil, seperti yang dikutip oleh Wena, membagi sintaks model pembelajaran ini dalam lima tahap, yaitu sebagai berikut. 30 a. Penyajian masalah confrontation with problem Pada tahap ini, pengajar menyajikan suatu masalah dan menerangkan prosedur inkuiri pada siswa. b. Pengumpulan data verifikasi data gathering-verification Dalam tahap ini, siswa didorong untuk mau berusaha mengumpulkan informasi mengenai kejadian yang mereka lihat atau alami. c. Pengumpulan data eksperimen data gathering-experimentation Dalam hal ini, siswa melakukan eksperimen dengan memasukkan hal-hal variabel baru, untuk melihat apakah akan terjadi perubahan. Dalam tahap ini siswa pun dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang hampir serupa dengan hipotesis. d. Organisasi data dan formulasi kesimpulan organization, formulating, and explanation Dalam tahap ini, siswa mengkoordinasikan dan menganalisis data untuk membuat suatu kesimpulan yang dapat menjawab masalah yang telah disajikan. e. Analisis proses inkuiri analysis of the inquiry process Dalam tahap ini, siswa diminta untuk menganalisis pola inkuiri yang telah mereka jalani, yaitu dengan menentukan pertanyaan mana yang paling produktif menghasilkan data yang paling relevan atau tipe informasi yang sebenarnya mereka butuhkan, tetapi tidak mereka dapatkan. Tahap ini penting untuk memperbaiki proses inkuiri itu sendiri. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tahapan model pembelajaran inquiry training ini memiliki lima tahapan, yaitu penyajian masalah, pengumpulan data 30 Made Wena, Op.Cit., h.77-78. verifikasi, pengumpulan data eksperimen, organisasi data dan formulasi kesimpulan, serta analisis proses inkuiri. Agar model pembelajaran ini dapat berjalan lancar dan memberi hasil yang optimal, maka ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu sebagai berikut. 31 a. Interaksi pengajar-siswa. Proses inkuiri ini harus ditandai dengan kerja sama yang baik atara pengajar-siswa, kebebasan siswa untuk menyatakan pendapat atau mengajukan pertanyaan, serta persamaan hak antara pengajar dan siswa dalam mengemukakan pendapat. b. Peran pengajar. Menurut Diptoadi, dalam model ini pengajar mempunyai beberapa tugas yang penting, yaitu: 1 mengarahkan pertanyaan siswa, 2 menciptakan suasana kebebasan ilmiah di mana siswa tidak merasa dinilai pada waktu mengemukakan pendapatnya, 3 mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan teoritis yang lebih jelas dengan mengemukakan bukti yang menunjang, dan 4 meningkatkan interaksi antarsiswa. Dengan demikian, model pembelajaran inquiry training ini menuntut adanya kerja sama dan persamaan hak antara siswa dengan guru, serta membebaskan siswa dalam menyatakan pendapat atau mengajukan pertanyaan.

2. Keterampilan Berpikir Kritis

Berpikir melibatkan manipulasi otak terhadap informasi, seperti saat kita membentuk konsep, terlibat dalam pemecahan masalah, melakukan penalaran, dan membuat keputusan. 32 Menurut de Bono dalam Kuswana, berpikir merupakan keterampilan beroperasinya tindakan kecerdasan dan pengalaman. 33 31 Ibid., h.79. 32 Adi Afri Anto, R Wakhid Akhdinirwanto, dan Siska Desy Fatmaryanti, Pemanfaatan Model Pembelajaran Problem Posing untuk Peningkatan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa di Smp Negeri 27 Purworejo, Radiasi Vol.2 No.1, t.t, h.5. 33 Wowo Sunaryo Kuswana, Taksonomi Kognitif: Perkembangan Ragam Berpikir, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2012, cet.1, h.186. Dengan demikian, semua tindakan kecerdasan dan pengalaman melibatkan keterampilan berpikir. Berpikir kiritis adalah proses mental untuk menganalisis informasi. Informasi didapatkan melalui pengamatan, pengalaman, komunikasi, dan membaca. 34 Berpikir kritis merupakan penilaian kritis terhadap kebenaran fenomena atau fakta. Setiap orang memiliki potensi berpikir kritis yang dapat dikembangkan secara optimal dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. Jadi, segala informasi yang didapatkan dan dianalisis dari pengamatan, pengalaman, komunikasi, dan membaca dapat dikatakan sebagai kegiatan berpikir kritis. 35 Berpikir kritis menurut Heger dan Kaye dalam Muhhibin Syah ialah berpikir dengan penuh pertimbangan akal sehat yang dipusatkan pada pengambilan keputusan untuk mempercayai atau mengingkari sesuatu dan melakukan atau menghindari sesuatu. Tujuan dari berpikir kritis, yakni untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Berpikir kritis dapat digunakan untuk saat memecahkan masalah, mengambil tindakan moral, dan mengambil keputusan. Dengan demikian, pada dasarnya berpikir kritis dimiliki oleh setiap orang dan dapat dikembangkan secara optimal dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. Satu di antara banyak cara yang dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis, yakni dengan memberikan penilaian secara kritis terhadap suatu kebenaran fenomena atau fakta. 36 Menurut Beyer, seperti yang dikutip oleh Afrizon, berpikir kritis adalah sebuah cara berpikir disiplin yang digunakan seseorang untuk mengevaluasi validitas sesuatu pernyataan-penyataan, ide-ide, argumen, dan penelitian. Jadi, dalam pengambilan keputusan atas dasar kepercayaan atau strategi melakukan sesuatu, seperti saat memecahkan masalah atau mengambil tindakan moral dan keputusan, seseorang dapat memusatkan cara berpikirnya dengan penuh pertimbangan akal sehat dan menggunakan kemampuan berpikir kritisnya. Pemahaman yang mendalam dapat dicapai melalui berpikir kritis. 37 34 Adi Afri Anto, R Wakhid Akhdinirwanto, dan Siska Desy Fatmaryanti, Loc.Cit. 35 Ibid. 36 Ibid. 37 Renol Afrizon, Ratnawulan, dan Ahmad Fauzi, Peningkatan Perilaku Berkarakter dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Kelas IX MTsN Model Padang pada Mata Pelajaran IPA- Fisika Menggunakan Model Problem Based Instruction, Jurnal Penelitian Pembelajaran Fisika 1, 2012, h.10. Dengan demikian, dalam mengevaluasi atau menilai sesuatu, seseorang akan menggunakan cara berpikirnya secara kritis. Screven dan Paul serta Angelo dalam Afrizon, memandang berpikir kritis sebagai proses disiplin cerdas dari konseptualisasi, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi aktif dan berketerampilan yang dikumpulkan dari, atau dihasilkan oleh observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi sebagai sebuah penuntun menuju kepercayaan dan aksi. 38 Rudinow dan Barry dalam Afrizon, berpendapat bahwa berpikir kritis adalah sebuah proses yang menekankan sebuah basis kepercayaan-kepercayaan yang logis dan rasional, dan memberikan serangkaian standar dan prosedur untuk menganalisis, menguji dan mengevaluasi. Jadi, berpikir kritis akan menuntun proses berpikir dan berketerampilan seseorang dalam menuju pada kepercayaan dan aksi. 39 Menurut Halpern dalam Kuswana, menggunakan definisi kerja dengan berpikir kritis sebagai penggunaan keterampilan kognitif atau strategi yang meningkatkan probabilitas hasil yang diinginkan. Berpikir adalah tujuan, beralasan, dan tujuan yang diarahkan, dan efektif untuk konteks dan jenis pemikiran tugas tertentu. Dengan demikian, seseorang dapat dikatakan berpikir kritis jika sebuah basis kepercayaan-kepercayaan dan rasional, serta serangkaian standar dan prosedur dalam proses menganalisis, menguji, dan mengevaluasi sesuatu ditekankan selama proses berpikirnya. 40 Menurut Paul dalam Kuswana, berpikir kritis merupakan suatu disiplin berpikir mandiri yang mencontohkan kesempurnaan berpikir sesuai dengan mode tertentu atau ranah berpikir. Jadi, berpikir kritis merupakan tujuan, beralasan, dan tujuan yang diarahkan serta efektif dengan menggunakan keterampilan kognitif atau strategi. 41 38 Ibid. 39 Ibid. 40 Wowo Sunaryo Kuswana, Op.Cit., h.187. 41 Ibid., h.205. Dengan demikian, kesempurnaan berpikir seseorang yang sesuai dengan ranah berpikir dapat mencerminkan keterampilan berpikir kritis orang tersebut. Sejak 1962, pemikiran Ennis, mengenai taksonomi berpikir kritis, disposisi, dan kecakapan khususnya yang digunakan pada pelatihan terus berkembang. Definisi yang diajukan cenderung tetap walaupun terus dikembangkan, yaitu: “Berpikir kritis adalah berpikir yang wajar dan reflektif yang berfokus pada memutuskan apa yang harus diyakini atau dilakukan.” 42 Pemikiran Ennis tampaknya termasuk pada berpikir kreatif. Menurut pandangannya, berpikir kritis tidak setara dengan berpikir tingkat tinggi karena berpikir kritis melibatkan disposisi. Dengan demikian, jika seseorang memutuskan sesuatu berdasarkan apa yang harus diyakini atau dilakukan, maka orang tersebut berpikir secara kritis. 43 Enam kriteria dalam menilai satu himpunan disposisi berpikir kritis, yaitu simplicity penyederhanaan; comprehensiveness kelengkapan; value nilai; comprehensibility dipahami; conformity of its language to our everyday meanings kesesuaian bahasanya untuk makna sehari- hari; dan fitting of subordinates if any under superordinates pemasangan pemikiran bawahan di bawah atasan jika dimungkinkan. 44 Taksonomi versi 1998 terdiri dari tiga kecenderungan utama dengan subkategori disposisi dan lima belas kemampuan disajikan sebagai daftar beberapa dengan subkategori untuk menyediakan isi kurikulum berpikir kritis. Ennis mengungkapkan bahwa terdapat dua belas indikator dan beberapa sub indikator berpikir kritis yang dikelompokkan dalam lima besar aspek, serta terdapat satu aspek tambahan dengan tiga indikator kemampuan yang membantu auxiliary abilities. Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut: Jadi, konsep disposisi dilibatkan dalam keterampilan berpikir kritis sehingga berpikir kritis ini tidak setara dengan berpikir tingkat tinggi. Berpikir kritis merupakan salah satu bentuk dari berpikir produktif. 45 a. Memberikan klarifikasi sederhana basic clarification 1 Memfokuskan pada pertanyaan 42 Ibid., h.196. 43 Ibid. 44 Ibid., h. 197. 45 Robert H Ennis, The Nature of Critical Thinking: An Outline of Critical Thinking Dispositions and Abilities, diakses pada 4 Februari 2015, h.2-4, faculty.education.illinois.edurhennisdocumentsTheNatureofCriticalThinking_51711_000.pdf