barangsiapa beranggapan, bahwa mansukhnya perkenan kira itu telah ditarik kembali, dan kepastian mansukh itu telah batal, maka dia adalah berdusta dan
mendustakan; berkata sesuatu yang tidak diketahuinya. Cara semacam ini jelas haram dengan nas al-Ouran, kecuali apabila dia dapat membawakan dalil, sedang
dalil untuk itu samasekali tidak ada, melainkan disewanya tanah itu dengan suatu bagian yang ditentukan dari hasil tanah tersebut misalnya 13 atau 14, dan ini
tegas dilakukan sendiri oleh Rasulullah s.a.w. terhadap penduduk Khaibar sesudah dilarangnya
bertahun-tahun lamanya.
Dan penyewaan
seperti ini
terus berlangsung sampai beliau wafat.
21
Yang berpendirian seperti ini ialah sejumlah ulama salaf. Thawus salah seorang ahli fiqih dari Yaman dan seorang Tabiin besar tidak suka
menyewakan tanah dengan emas atau perak uang, tetapi dengan 13 atau 14.
Ketika pendapatnya ini dibantah, dengan alasan bahwa Nabi melarang menyewakan tanah, maka Thawus menjawab: Muaz bin Jabal --duta Nabi ke
Yaman-- datang kepada kami, kemudian menyewakan tanah dengan 13 dan 14 sedang kami mengetahuinya sampai sekarang ini, yang seolah-olah menganggap,
bahwa penyewaan tanah yang dilarangnya itu ialah penyewaan dengan uang emas dan perak. Adapun muzaraah dipandangnya tidak apa-apa.
Yang berpendapat seperti ini ialah Muhammad bin Sirin dan al-Qasim bin Muhammad bin Abubakar as-Siddiq. Keduanya berpendapat tidak salah kalau
menyerahkan tanahnya kepada orang lain dengan penyewaan 13, 14 atau 110 nya sedang si pemilik tanah tidak memberikan pembelanjaan sedikitpun.
Di samping itu, kedua ulama itupun berpendapat dilarang melakukan kira. Ada pula segolongan tabiin yang tidak membolehkan penyewaan tanah secara
keseluruhannya, baik dengan uang ataupun bagi hasil. Tetapi satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa mereka ini tidak mengetahui dibolehkannya hal tersebut
dengan filiyah Nabi sendiri, para khalifahnya dan Muaz waktu di Yaman. Dan inilah perundang-undangan dalam bidang pekerjaan yang ditetapkan untuk kaum
muslimin pada mass-masa permulaan.
Adapun larangan menyewakan tanah dengan uang, sudah cocok dengan nas dan akal.
4.2.16.3 Qias yang dapat Menetapkan Dilarangnya Menyewakan dengan Uang
Qias yang benar terhadap kaidah-kaidah Islam dan nas-nas yang sahih menetapkan tidak bolehnya menyewakan tanah gundul dengan uang, sebagai
berikut:
a Rasulullah s.a.w. melarang menyewakan tanah dengan satu bagian tertentu dari hasilnya, misalnya: 24 gantang, 48 gantang, 1 kwintal, atau 2 kwintal yang
ditentukan untuk si pemilik tanah.
Rasulullah s.a.w. tidak membenarkan juga penyewaan tanah dengan bagian hasil muzaraah, melainkan dengan bagian yang masih relatif misalnya 14, 13, 12
nya. Atau dengan kata lain pembagian secara prosentase. Hal ini dimaksudkan supaya kedua belah pihak sama-sama mendapat keuntungan apabila tanah tersebut
menghasilkan buah dan tidak diserang hama suatu apapun; dan juga bersama- sama menerima kerugian apabila tanah tersebut diserang hama.
Adapun menentukan bagian untuk salah satunya, supaya dia beroleh keuntungan besar dan di lain pihak hanya mendapat keringat, kecapaian dan kerugian, tak
ubahnya dengan perbuatan riba dan berjudi.
Kalau kita mau merenungkan masalah penyewaan tanah dengan uang menurut kacamata ini, maka apakah perbedaannya dengan penyewaan bagi hasil
muzaraah yang dilarangnya?
Sebab pemilik tanah sudah pasti akan menerima bahagiannya itu berupa uang, sedang pihak penyewa akan mempertaruhkan tenaga dan kecapaiannya dengan
tidak mengetahui apakah akan beruntung atau rugi? Apakah tanahnya itu dapat menghasilkan atau tidak?
b Orang yang menyewakan sesuatu adalah tetap memilikinya sampai seterusnya. Oleh karena itu dia berhak mendapat upah atas persediaan yang diberikan kepada
pihak penyewa dan persiapan guna dimanfaatkan oleh penyewa. Upah mana sebagai ganti atas penyusutan yang dialami oleh barangnya itu sedikit demi
sedikit.
Sekarang manakah persediaan yang harus diberikan oleh si pemilik tanah untuk dipersiapkan buat pihak penyewa? Padahal Allah menyediakan tanah untuk kita
semua untuk ditanami, bukan untuk dimiliki. Sekarang manakah penyusutan yang dialami oleh tanah karena ditanami, sedang tanah tidak termakan dan tidak
tergerak karena ditanami, seperti halnya bangunan dan alat?
c Seseorang yang menyewa rumah, secara langsung dapat memanfaatkan rumah itu dengan ditempati, misalnya, tanpa ada yang menghalangi sedikitpun. Begitu
juga orang
yang menyewa alat.
Adapun penyewa
tanah tidak
dapat memanfaatkannya secara langsung. Ketika dia menyewa tidak sekaligus dapat
memanfaatkannya seperti halnya menyewa rumah, bahkan dia harus berusaha dan mencurahkan fikiran guna memanfaatkannya, yang kadang-kadang berhasil dan
kadang-kadang tidak. Oleh karena itu setiap qias analogi untuk menyamakan persewaan tanah dengan rumah, adalah suatu qias yang tidak benar.
d Dalam hadis Bukhari diterangkan, bahwa Rasulullah s.a.w. melarang menjual buah-buahan yang masih dalam kebun baca: pohonnya sebelum nampak jelas
baiknya, padahal waktu itu sudah diketahui selamat dari hama. Kemudian Rasulullah s.a.w. dalam memberikan alasan larangannya itu sebagai berikut:
Apakah kamu akan beranggapan, bahwa jika Allah melarang buah-buahan, kemudian salah seorang di antara kamu itu halal mengambil harta saudaranya?
Riwayat Bukhari
Kalau demikian halnya tentang orang yang menjual buah-buahan yang sudah nampak baiknya tetapi belum dapat diyakinkan keselamatannya, yang kadang-
kadang diserang oleh hama yang menghalang kesempurnaan masaknya buah- buahan tersebut, maka bagaimana halnya orang yang menyerahkan sebidang tanah
gundul yang tidak dapat dipukul dengan kayak dan tidak patut ditaburi benih. Apakah kepada orang semacam ini tidak sepatutnya kita ajukan suatu pertanyaan:
Apakah kamu akan beranggapan, jika Allah melarang tentang buah-buahan, berarti kamu halal mengambil harta saudaramu?
Saya pernah menyaksikan dengan mata-kepala sendiri, ada beberapa kebun kapas yang dimakan ulat, sehingga tinggal pohonnya dalam keadaan kering tidak lagi
menghasilkan apa-apa, sedang si pemilik tanah tetap menuntut sewa, dan si penyewa tidak ada jalan lain hanya menyerah bulat di bawah kekejaman belenggu
yang melilit. Maka di manakah letaknya tolong-menolong taawun? Dan di mana letaknya keadilan yang selalu dicanangkan oleh Islam?
Keadilan tidak akan terwujud, kecuali dengan muzaraah penyewaan bagi hasil menurut prosentase di mana keuntungan dan kerugian akan dipikul bersama oleh
kedua belah pihak.
22
Sekalipun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membolehkan menyewakan tanah, tetapi beliau sendiri menyebutkan, bahwa muzaraah adalah lebih sesuai dengan keadilan
dan prinsip syariah Islamiah. Beliau berkata: Muzaraah lebih halal daripada kira, dan lebih mendekati kepada keadilan dan pokok ajaran Agama Islam. Sebab
dalam Muzaraah itu kedua belah pihak bersekutu dalam keuntungan dan kerugian, Berbeda dengan kira, maka pemilik tanah sudah pasti menerima
keuntungan, sedang pihak penyewa kadang-kadang dapat dan kadang-kadang tidak dapat.
23
Al-Muhaqqiq Ibnul Qayim dalam komentarnya terhadap kezaliman yang dilakukan oleh para penguasa dan militer terhadap kaum petani di masa itu, ia
mengatakan: Kalau militer dan penguasa mau mendukung kaum petani menurut syariat yang telah ditentukan Allah dan RasulNya serta perbuatan para Khulafaur
Rasyidin, niscaya mereka akan memperoleh rezeki dari atas dan dari bawah, dan niscaya Allah akan membukakan pintu-pintu barakahNya dari langit dan bumi.
Namun penghasilan yang berlipat sekarang ini mereka dapat dengan kezaliman dan permusuhan.
Tetapi kebodohan dan kekejaman mereka itu tetap membantahnya, sehingga mereka hanya berbuat kezaliman dan dosa. Mereka tidak mau menerima barakah
dan keluasan rezeki. Oleh karena itu kelak di akhirat mereka akan mendapat siksa dan dicabutnya barakah itu di dunia ini.
Kalau ditanyakan: Bagaimanakah syariat yang telah ditentukan Allah dan Rasul serta perbuatan para khalifah, sehingga orang dapat menirunya dan memperoleh
taufik dari Allah?
Jawabnya: Penyewaan dengan bagi hasil mazaraah dengan adil, itulah yang harus lama-lama dilakukan oleh pemilik tanah dan petani. Tidak ada
keistimewaan untuk satu pihak terhadap pihak lain dari ketentuan ini, menurut hukum Allah. Mengistimewakan seseorang terhadap orang lain inilah yang
menyebabkan hancurnya negara, rusaknya masyarakat, terhalangnya hujan, hilangnya barakah dan menyebabkan para militer dan pembesar berani makan
barang haram. Padahal kalau sesuatu tubuh tumbuh dari barang haram, maka nerakalah tempatnya.
Muzaraah yang adil adalah cara yang dilakukan oleh kaum muslimin di zaman Rasulullah. s.a.w., para Khulafaur Rasyidin, keluarga Abubakar, keluarga Umar,
keluarga Usman, keluarga Ali dan kaum muhajirin. Dan ini pulalah yang menjadi pendirian kebanyakan para sahabat, seperti: Ibnu Masud, Ubai bin Kaab, Zaid bin
Tsabit dan lain-lain lagi. Dan ini pula yang menjadi pendirian ulama ahli hadis, seperti: Imam Ahmad, Ishak bin Rahawih, Muhammad bin Ismail al-Bukhari,
Daud bin Ali, Muhammad bin Ishak bin Khuzaimah, Abubakar bin al-Mundzir, Muhammad bin Nasr al-Maruzi. Dan ini juga yang menjadi pendirian kebanyakan
ulama Islam seperti: Al-Laits bin Saad, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan dan lain-lainnya.
Rasulullah s.a.w. sendiri telah melakukan hal tersebut dengan penduduk Khaibar, yaitu dengan separuh dari hasil tanah. Begitulah sampai beliau meninggal dunia.
Muamalah seperti ini terus berlangsung sampai penduduk Khaibar itu dikeluarkan oleh Khalifah Umar dari Khaibar. Nabi memberi persyaratan kepada mereka
dengan biaya dan bibit dari mereka, bukan dari Nabi.
Oleh karena itu pendapat yang paling benar, ialah bahwa bibit boleh dari pihak penyewa, sebagaimana nas hadis, dan boleh juga dari kedua belah pihak.
Al-Bukhari menyebutkan dalam kitab Sahihnya, bahwa Umar Ibnul-Khattab menyewakan tanah dengan perjanjian bibit dari Umar dan dia akan mendapat
lebih dari separuh. Kalau bibit dari mereka, maka mereka dapat lebih dari separuh juga.
24
Seluruh riwayat yang menerangkan tentang muzaraah, sedikitpun tidak dikenal, bahwa bagian penyewa tanah kurang dari separuh, bahkan kadang-kadang lebih
dari separuh.
Memang yang cukup dapat menyenangkan hati, ialah bagian penyewa tidak kurang dari separuh, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dan para
khalifahnya bersama orang-orang Yahudi Khaibar.
Tidak layak kalau bagian pemilik tanah lebih tinggi daripada bagian penyewa.
4.2.17 Syirkah dalam Memelihara Binatang