Benar mereka telah berdusta atas nama Allah, yaitu dengan bukti, bahwa agama Allah itu pada hakikatnya tidak membeda-bedakan antara suatu kaum terhadap
kaum lain dan melarang berbuat khianat melalui lidah setiap rasuINya.
Dan yang cukup kita sesalkan ialah, bahwa perasaan Israiliyah inilah yang merupakan kejahatan biadab, yang kiranya tidak patut untuk dinisbatkan kepada
agama Samawi agama Allah. Sebab budi yang luhur bahkan budi yang sebenarnya mestinya harus mempunyai ciri yang menyeluruh dan universal,
sehingga tidak terjadi anggapan halal untuk ini tetapi haram untuk itu.
Perbedaan prinsip antara kita dan golongan badaiyah primitif hanyalah dalam hal luasnya daerah budiakhlak. Bukan ada atau tidak adanya budi itu. Sebab soal
amanat misalnya, menurut anggapan mereka dipandang sebagai suatu sikap yang baik dan terpuji, tetapi hanya khusus antar putera sesuatu kabilah. Kalau sudah
keluar dari kabilah itu atau lingkungan keluarga, boleh saja berbuat khianat; bahkan kadang-kadang dipandang siasat baik atau sampai kepada wajib.
Pengarang Qishshatul Hadharah menceriterakan, bahwa semua golongan manusia hampir ada persesuaian dalam kepercayaan yang menunjukkan mereka lebih baik
daripada yang lain. Misalnya bangsa Indian di Amerika, mereka menganggap dirinya sebagai hamba Tuhan yang terbaik. Tuhan menciptakan mareka ini
sebagai manusia yang berjiwa besar khusus untuk dijadikan sebagai tauladan di mana manusia-manusia lainnya harus menaruh hormat kepadanya.
Salah satu suku Indian itu ada yang menganggap dirinya sebagai Manusia yang tidak ada taranya. Dan suku yang lain beranggapan, bahwa dirinya itu manusia
diantara sekian banyak manusia. Suku Carbion mengatakan pula hanya kamilah yang disebut manusia sesungguhnya dan seterusnya.
Kesimpulannya, bahwa manusia primitif didalam mengatur cara pergaulannya dengan golongan lain tidak menggunakan jiwa etika yang lazim seperti yang biasa
dipakai dalam berhubungan dengan kawan sesukunya.
Ini merupakan bukti nyata, bahwa etika akhlak merupakan fungsi yang paling ampuh guna memperkukuh jamaah dan memperteguh kekuatannya untuk
menghadapi golongan lain. Oleh karena itu persoalan etika dan larangan tidak akan dapat berlaku sesuai melainkan untuk penduduk golongan itu sendiri.
Untuk golongan lain, tidak lebih daripada tamu. Justeru itu boleh saja mereka mengikuti tradisi golongan tersebut sekedarnya saja.
1.11 Keadaan Terpaksa Membolehkan Yang Terlarang
ISLAM mempersempit daerah haram. Kendatipun demikian soal haram pun diperkeras dan tertutup semua jalan yang mungkin akan membawa kepada yang
haram itu, baik dengan terang-terangan maupun dengan sembunyi-sembunyi. Justeru itu setiap yang akan membawa kepada haram, hukumnya haram; dan apa
yang membantu untuk berbuat haram, hukumnya haram juga; dan setiap kebijakan siasat untuk berbuat haram, hukumnya haram. Begitulah seterusnya seperti yang
telah kami sebutkan prinsip-prinsipnya di atas.
Akan tetapi Islam pun tidak lupa terhadap kepentingan hidup manusia serta kelemahan manusia dalam menghadapi kepentingannya itu. Oleh karena itu Islam
kemudian menghargai kepentingan manusia yang tiada terelakkan lagi itu, dan menghargai kelemahan-kelemahan yang ada pada manusia. Justeru itu seorang
muslim dalam keadaan yang sangat memaksa, diperkenankan melakukan yang haram karena dorongan keadaan dan sekedar menjaga diri dari kebinasaan.
Oleh karena itu Allah mengatakan, sesudah menyebut satu-persatu makanan yang diharamkan, seperti: bangkai, darah dan babi:
Barangsiapa dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka tiada berdosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun
dan Maha Belas-kasih. al-Baqarah: 173
Yang semakna dengan ini diulang dalam empat surat ketika menyebut masalah makanan-makanan yang haram.
Dan ayat-ayat ini dan nas-nas lainnya, para ahli fiqih menetapkan suatu prinsip yang sangat berharga sekali, yaitu: Keadaan terpaksa membolehkan yang
terlarang.
Tetapi ayat-ayat itupun tetap memberikan suatu pembatas terhadap si pelakunya orang yang disebut dalam keadaan terpaksa itu; yaitu dengan kata-kata ghaira
baghin wala aadin tidak sengaj 3 dan tidak melewati batas.
Ini dapat ditafsirkan, bahwa pengertian tidak sengaja itu, maksudnya: tidak sengaja untuk mencari kelezatan. Dan perkataan tidak melewati batas itu
maksudnya: tidak melewati batas ketentuan hukum.
Dari ikatan ini, para ulama ahli fiqih menetapkan suatu prinsip lain pula, yaitu: adh-dharuratu
tuqaddaru biqadriha
dharurat itu
dikira-kirakan menurut
ukurannya. Oleh karena itu setiap manusia sekalipun dia boleh tunduk kepada keadaan dharurat, tetapi dia tidak boleh menyerah begitu saja kepada keadaan
tersebut, dan tidak boleh menjatuhkan dirinya kepada keadaan dharurat itu dengan kendali nafsunya. Tetapi dia harus tetap mengikatkan diri kepada pangkal halal
dengan terus berusaha mencarinya. Sehingga dengan demikian dia tidak akan tersentuh dengan haram atau mempermudah dharurat.
Islam dengan memberikan perkenan untuk melakukan larangan ketika dharurat itu, hanyalah merupakan penyaluran jiwa keuniversalan Islam itu dan kaidah-
kaidahnya yang bersifat kulli integral. Dan ini adalah merupakan jiwa kemudahan Islam yang tidak dicampuri oleh kesukaran dan memperingan, seperti
cara yang dilakukan oleh ummatummat dahulu.
Oleh karena itu benarlah apa yang dikatakan Allah dalam firmanNya: Allah berkehendak memberikan kemudahan bagi kamu, dan Ia tidak
menghendaki memberikan beban kesukaran kepadamu. al-Baqarah: 185
Allah tidak menghendaki untuk memberikan kamu sesuatu beban yang berat, tetapi ia berkehendak untuk membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmatNya kepadamu supaya kamu berterimakasih. al-Maidah: 6
Allah berkehendak untuk memberikan keringanan kepadamu, karena manusia itu dijadikan serba lemah. an-Nisa: 28
Catatan kaki Bab Pertama
1. Ali-Imran
. 2.
Maryam .
3. Qawaidun
Nuraniyah al-Fiqhiyah oleh Ibnu Tarmiyah, hal 112-113. 4.
Azl yaitu mengeluarkan mani di luar kemaluan perempuan ketika
bersanggama. 5.
Al-Um 7:317 .
6. Ini
dapat diperkuat dengan riwayat-riwayat para sahabat, bahwa mereka itu tidak meninggalkan khamar arak secara keseluruhannya setelah ayat
al-Baqarah 219 itu turun, karena ayat ini dalam anggapan mereka tidak qathi positif mengharamkan arak, sehingga ayat al-Maidah itu turun,
baru mereka menjauhi seluruhnya.
7. Kiranya
ahli-ahli taqlid itu mengerti, jangan cepat-cepat mengatakan ini haram yang tanpa dalil atau yang mendekati kepada dalil.
8. Tiga batang
kayu untuk dipakai mengetahui nasib, dengan jalan mengundinya. Tiga batang kayu itu masing-masing diberi tanda 1 tertulis
aku diperintah Tuhan, 2 tertulis aku dilarang Tuhan, 3 kosong, Lihat Tafsir al-Maraghi ayat 3 al-Maidah.
9. Ighatsatul
Lahfan 1: 348. 10.
Tersebut dalam Ighatsatul Lahfan juz 1: 348. Pengarang kitab ini berkata,
bahwa Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Abdillah bin Bath-thah dengan sanad yang baik. Dan yang sama disahkan juga oleh Tarmizi.
11. Hadis
ini dipetik dari kitab Ighatsatul Lahfan halaman 352 juz 1 oleh Ibnul Qayim.
BAB KEDUA.
MAKANAN, PAKAIAN
DAN RUMAH
2.1 Makanan dan Minuman