3.2.22 Menyusahkan Isteri Hukumnya Haram
Seorang suami tidak boleh menyusahkan dan berbuat yang tidak baik dalam pergaulannya dengan isteri, dengan maksud supaya isterinya itu mau menebus
dirinya; yaitu dengan mengembalikan semua atau sebagian harta yang pernah diberikan kepadanya, selama si isteri itu tidak berbuat jahat.
Dalam hal ini Allah telah berfirman: Jangan kamu berlaku kasar terhadap mereka itu lantaran kamu hendak pergi
dengan membawa sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali apabila mereka itu berbuat kejahatan yang terang-terangan. an-Nisa: 19
Kalau pihak suami yang tidak suka itu ingin supaya bercerai karena ada hasrat dengan orang lain, maka dia dilarang mengambil sesuatu dari isterinya.
Sebagaimana firman Allah:
Dan apabila kamu berkehendak akan mengganti isteri di tempat seorang isteri, padahal kamu telah memberi salah seorang dari mereka harta yang banyak, maka
jangan kamu ambil sedikitpun daripadanya, apakah kamu akan mengambilnya dengan cara yang mengagetkan dan dosa yang terang? Bagaimana kamu akan
mengambilnya padahal sebagian kamu telah bersatu dengan sebagiannya dan mereka itu telah mengambil daripadamu perjanjian yang keras? an-Nisa: 20-21
3.2.23 Bersumpah Untuk Menjauhi Isteri, Hukumnya Haram
Salah satu keistimewaan Islam dalam melindungi hak perempuan, yaitu melarang seorang suami yang marah kepada isterinya kemudian menjauhi tempat tidur dan
tidak mau mendekatinya dalam waktu yang kiranya tidak mungkin dapat ditahan oleh sifat kewanitaan.
Apabila meninggalkan tempat tidur ini diperkuat dengan sumpah tidak akan menyetubuhinya, maka dia diberi masa menunggu selama empat bulan;
barangkali dalamasa menunggu itu hatinya menjadi tenang, berkobarnya kemarahan bisa dingin dan suara kalbunya itu bisa ditarik kembali.
Kalau dia bisa kembali kepada tuntunan dan bisa bergaul dengan isterinya sebagaimana semula, sebelum habis waktu empat bulan atau sudah sampai empat
bulan, maka Allah tetap akan memberi ampunan terhadap keteledorannya itu dan selalu membuka pintu taubat. Tetapi dengan syarat dia harus membayar kafarah
untuk menebus sumpahnya itu.
Dan apabila waktu empat bulan itu telah dilaluinya, sedang dia belum menarik diri dari azamnya, maka dia sudah bebas dari sumpah, tetapi isterinya diceraikan
sebagai hukuman yang sesuai, karena dia tidak menghiraukan hak isteri.
Sementara ahli fiqih ada yang berpendapat, bahwa dengan berlalunya waktu otomatis talaqnya jatuh, tanpa menunggu keputusan hakim.
Dan ada pula yang mensyaratkan diajukannya persoalan tersebut kepada hakim setelah waktu yang ditentukan itu habis, kemudian hakim akan memberikan
afternatif apakah dia harus mencabut dan isterinya rela, ataukah dia harus mencerainya. Kemudian dia harus memilih apa yang kiranya manis buat dirinya.
Bersumpah tidak akan mendekati isteri, di dalam syariat Islam dikenal dengan nama ila. Yang dalam hal ini Allah telati berfirman:
Bagi orang-orang yang bersumpah akan menjauhi isterinya, boleh menunggu empat bulan; jika mereka telah memenuhinya maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun dan Maha Belaskasih. Dan jika mereka bermaksud hendak mencerai, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. al-Baqarah:
226-227
Dibatasinya masa tunggu empat bulan, karena kesempatan empat bulan itu sudah cukup bagi seorang suami untuk menarik diri dan kembali ke jalan yang benar.
Sebab masa empat bulan itu secara kebiasaan sudah cukup bagi seorang perempuan bersabar diri dari berkumpul dengan suaminya.
Dalam pada itu beberapa ahli tafsir meriwayatkan kisah Umar Ibnul-Khattab ketika mengadakan ronda malam, tiba-tiba terdengar suara perempuan bersyair:
Sungguh malam ini sangat panjang, sekelilingnya penuh kelam Situasinya menjadikan aku tidak baik, karena tidak ada kekasih yang bisa
kuajak bermain Demi Allah, andaikata tidak takut akibat Sungguh ranjang ini akan
goncang.
Umar berusaha untuk menyelidiki kisah si perempuan tersebut. Akhirnya diketahui, bahwa suaminya telah hilang dalam daftar mujahid pada masa yang
sudah cukup lama.
Umar kemudian menanyakan kepada puterinya Hafsah berapa lama perempuan bisa bersabar diri dari suaminya? Jawab Hafsah: empat bulan.
Waktu itulah Umar berniat untuk menetapkan suatu peraturan, bahwa seorang suami tidak boleh meninggalkan isterinya lebih dari empat bulan.
3.3 Hubungan Antara Orang Tua Dan Anak
3.3.1 Islam Memelihara Nasab
Anak adalah rahasia orang tua dan pemegang keistimewaannya. Waktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang, dan sewaktu ia pulang ke rahmatullah, anak
sebagai pelanjut dan lambang keabadian.
Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan orang tua, termasuk juga ciri-ciri khas, baik maupun buruk, tinggi maupun rendah. Dia adalah belahan jantungnya dan
potongan dari hatinya.
Justru itu Allah mengharamkan zina dan mewajibkan kawin, demi melindungi nasab, sehingga air tidak tercampur, anak bisa dikenal siapa ayahnya dan ayah
pun dapat dikenal siapa anaknya.
Dengan perkawinan, seorang isteri menjadi hak milik khusus suami dan dia dilarang berkhianat kepada suami, atau menyiram tanamannya dengan air orang
lain. Oleh karena itu setiap anak yang dilahirkan dari tempat tidur suami, mutlak menjadi anak suami itu, tanpa memerlukan pengakuan atau pengumuman dari
seorang ayah; atau pengakuan dari seorang ibu, sebab setiap anak adalah milik yang seranjang. Begitulah menurut apa yang dikatakan oleh Rasulullah s.a.w.
26
3.3.2 Ayah Tidak Boleh Mengingkari Nasab Anaknya
Dari sini seorang suami tidak boleh mengingkari anak yang dilahirkan oleh isterinya yang seranjang dengan dia dalam perkawinan yang sah. Pengingkaran
seorang suami terhadap nasab anaknya akan membawa bahaya yang besar dan suatu aib yang sangat jelek, baik terhadap isteri maupun terhadap anaknya itu
sendiri. Justru itu seorang suami tidak boleh mengingkari anaknya karena suatu keraguan, atau dugaan atau karena ada berita tidak baik yang mendatang.
Adapun apabila seorang isteri mengkhianati suami dengan beberapa bukti yang dapat dikumpulkan dan beberapa tanda qarinah yang tidak dapat ditolak, maka
syariat Islam tidak membiarkan seorang ayah harus memelihara seorang anak yang menurut keyakinannya bukan anaknya sendiri; dan memberikan waris
kepada anak yang menurut keyakinannya tidak berhak menerimanya; atau paling tidak anak yang selalu diragukan identitasnya sepanjang hidup.
Untuk memecahkan problem ini, Islam membuat jalan ke luar, yang dalam ilmu fiqih dikenal dengan nama lian. Maka barangsiapa yakin atau menuduh, bahwa
isterinya telah membasahi ranjangnya dengan air orang lain kemudian si isteri itu melahirkan seorang anak padahal tidak ada bukti yang tegas, maka waktu itu
suami boleh mengajukan ke pengadilan, kemudian pengadilan mengadakan mulaanah sumpah dengan melaknat antara kedua belah pihak, yang
penjelasannya sebagaimana diterangkan dalam al-Quran: