Cara seperti ini tidak boleh dianggap mansukh.
19
Sebab terjadinya mansukh harus semasa hidup Rasulullah s.a.w. Adapun sesuatu yang dikerjakan oleh Nabi sampai
beliau meninggal dunia, dan kemudian disepakati oleh para khalifahnya dan mereka pun mengerjakannya, dan tidak seorangpun yang menentangnya, maka
bagaimana mungkin hal semacam ini dianggap mansukh? Kalau hal itu dimansukh semasa hidup Nabi, tetapi mengapa beliau sendiri mengerjakannya
sesudah dimansukhnya hukum tersebut? Mengapa mansukhnya itu justru dirahasiakan sehingga tidak seorang khalifah pun yang menyampaikan hal itu,
padahal kisah Khaibar ini sangat masyhur di kalangan mereka? Siapakah perawi mansukh ini, sehingga mereka tidak menyebut dan dia sendiri tidak
menyampaikan hal itu kepada para sahabat yang lain?
4.2.16.2 Muzaraah yang Tidak Dibenarkan
Ada suatu bentuk muzaraah yang sudah biasa berlaku di zaman Nabi, tetapi oleh beliau dilarangnya karena terdapat unsur-unsur penipuan dan kesamaran yang
berakibat kepada persengketaan; dan bertentangan dengan jiwa keadilan yang sangat dijunjung tinggi oleh Islam dalam seluruh lapangan.
Banyak para sahabat yang memberikan persyaratan kepada orang yang mengerjakan tanahnya; yaitu dengan ditentukan tanah dan sewanya dari hasil
tanah baik berupa takaran ataupun timbangan. Sedang sisa daripada hasil itu untuk yang mengerjakannya atau masih dibagi dua lagi, misalnya.
Rasulullah s.a.w. melihat, bahwa apa yang disebut keadilan, yaitu kedua belah pihak bersekutu dalam hasil tanah itu, sedikit ataupun banyak. Tidak layak kalau
di satu pihak mendapat bagian tertentu yang kadang-kadang suatu tanah tidak menghasilkan lebih dari yang ditentukan itu. Dalam keadaan demikian, maka
pemilik tanah berarti akan mengambil semua hasil, sedang di lain pihak menderita kerugian besar. Dan kadang-kadang pula, suatu tanah yang ditentukan itu tidak
menghasilkan apa-apa, sehingga dengan demikian dia samasekali tidak mendapat apa-apa, sedang di lain pihak penyewa memonopoli hasil.
Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu
banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau samasekali
tidak menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara ini lebih menyenangkan jiwa kedua belah pihak.
Diriwayatkan dari jalan Rafi bin Khadij, ia berkata: Kami kebanyakan pemilik tanah di Madinah melakukan muzaraah, kami
menyewakan tanah, satu bagian daripadanya ditentukan untuk pemilik tanah ...
maka kadang-kadang si pemilik tanah itu ditimpa suatu musibah sedang tanah yang lain selamat, dan kadang-kadang tanah yang lain itu ditimpa suatu musibah,
sedang dia selamat, oleh karenanya kami dilarang. Riwayat Bukhari
Di lain riwayat Rafi bin Khadij berkata: Di zaman Nabi orang-orang biasa menyewakan tanah yang dekat sumber dan
yang berhadapan dengan parit-parit dan beberapa macam tanaman, maka yang ini rusak dan yang itu selamat; yang ini selamat dan yang itu rusak, sedang orang-
orang tidak melakukan penyewaan tanah kecuali demikian, oleh karena itu kemudian dilarangnya. Riwayat Muslim
Rasulullah s.a.w. bertanya kepada para sahabat: Apa yang kamu perbuat terhadap tanam-tanamanmu itu? Mereka menjawab:
Kami sewakan dia dengan 14 dan beberapa wasag dari korma dan gandum. Maka jawab Nabi, Jangan kamu berbuat demikian. Riwayat Bukhari
Maksud hadis ini, yaitu mereka menetapkan ukuran tertentu yang mereka ambilnya dari hasil tanah itu, kemudian membagi sisanya bersama orang-orang
yang menanaminya, untuk ini 14 dan untuk itu 34 misalnya.
Dari sini pula kita dapat mengetahui, bahwa Nabi sangat berkeinginan untuk mewujudkan keadilan secara merata dalam masyarakatnya, serta menjauhkan
semua hal yang menyebabkan pertentangan dan perkelahian di kalangan masyarakat Islam.
Zaid bin Tsabit meriwayatkan, bahwa ada dua orang yang sedang bertengkar tentang masalah tanah, kemudian mengadukannya kepada Nabi, maka jawab
Nabi:
Kalau ini persoalanmu, maka janganlah kamu menyewakan tanah. RiwayatAbu Daud
Jadi masing-masing dari pemilik tanah dan penyewa, harus ada sikap toleransi tasamuh yang tinggi. Misalnya si pemilik tanah jangan minta terlalu tinggi dari
hasil tanahnya itu. Begitu juga sebaliknya si penyewa jangan merugikan pihak pemilik tanah.
Justru itu dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia mengatakan:
Sesungguhnya Nabi s.a.w. tidak mengharamkan menyewakan tanah muzaraah, tetapi ia memerintahkan supaya satu sama lain bersikap lemah-lembut. Riwayat
Tarmizi
Dan justru itu pula, ketika Thawus ditanya, maka dia menjawab: Hai Abu Abdirrahman Kalau kamu tinggalkan penyewaan tanah mukhabarah niscaya
mereka akan beranggapan, bahwa Rasulullah s.a.w. melarangnya, padahal ia berkata:
Bahwa saya akan menolong mereka dan akan memberi mereka. Riwayat Ibnu Majah
Jadi tidak seluruh keinginannya Nabi akan mengerjakan tanahnya sekalipun di situ ada orang yang sangat ingin untuk mengerjakannya. Tetapi Nabi akan
memberikan pertolongan kepada mereka dan akan memberinya. Dan inilah corak masyarakat Islam.
Kadang-kadang ada juga pemilik tanah yang lebih suka tanahnya itu dibiarkan gundul, tidak ditanami dan tidak ditaburi benih, daripada dia serahkan kepada
orang yang mampu mengurusnya dengan prosentase yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu Umar bin Abdul Aziz mengutus orang yang berkepentingan:
supaya pemilik tanah itu menyerahkan tanahnya dengan pembagian 14, 13, atau 15 sampai 110 dan jangan dibiarkan tanah itu dalam keadaan gundul.
Cara keempat, yaitu: menyewakan tanahnya tersebut dengan uang, misalnya si pemilik tanah menyerahkan tanahnya itu kepada orang yang sanggup
mengurusnya dengan penyewaan berupa uang dengan jumlah tertentu.
Cara ini oleh kebanyakan ahli fiqih yang masyhur dibolehkannya. Tetapi sementara ada yang melarangnya dengan dalil hadis sahih yang menerangkan,
bahwa Nabi s.a.w. melarang menyewakan tanah dengan penyewaan atau bagian tertentu, yaitu hadis yang diriwayatkan dari Nabi oleh dua orang peserta Perang
Badar, Rafi bin Khadij, Jabir, Abu Said, Abu Hurairah dan Ibnu Umar, semuanya meriwayatkan dari Nabi, bahwa ia melarang menyewakan semua tanahnya.
20
Dapat dikecualikan dari penyewaan yang bernama kira yaitu bentuk muzaraah, karena tegas Nabi sendiri selalu melakukannya bersama penduduk Khaibar
semasa hidup beliau dan kemudian dilanjutkannya oleh para Khulafaur Rasyidin.
Bagi orang yang mau memperhatikan perkembangan perundang-undangan Islam dalam persoalan ini, kiranya akan jelas baginya apa yang diterangkan oleh Ibnu
Hazm dalam Muhalla: Bahwa Rasulullah s.a.w. datang di tengah-tengah masyarakat yang biasa menyewakan tanah ladangnya --sebagaimana riwayat
Rafidan lain-lain-- sedang tanah ladang tidak dapat disangkal lagi adalah disewakan sebelum Muhammad diangkat sebagai Rasul dan sesudahnya. Ini suatu
hal yang tidak mungkin dapat diragukan lagi oleh setiap orang yang berakal. Kemudian tegas riwayat Jabir, Abu Said, Rafi, peserta Perang Badar dan dua
orang peserta Perang Badar lagi dan Ibnu Umar, yang menerangkan bahwa Rasulullah s.a.w. melarang kira secara keseluruhannya. Maka perkenan yang
dahulu itu dibatalkan dengan yakin, tidak diragukan lagi. Oleh karena itu
barangsiapa beranggapan, bahwa mansukhnya perkenan kira itu telah ditarik kembali, dan kepastian mansukh itu telah batal, maka dia adalah berdusta dan
mendustakan; berkata sesuatu yang tidak diketahuinya. Cara semacam ini jelas haram dengan nas al-Ouran, kecuali apabila dia dapat membawakan dalil, sedang
dalil untuk itu samasekali tidak ada, melainkan disewanya tanah itu dengan suatu bagian yang ditentukan dari hasil tanah tersebut misalnya 13 atau 14, dan ini
tegas dilakukan sendiri oleh Rasulullah s.a.w. terhadap penduduk Khaibar sesudah dilarangnya
bertahun-tahun lamanya.
Dan penyewaan
seperti ini
terus berlangsung sampai beliau wafat.
21
Yang berpendirian seperti ini ialah sejumlah ulama salaf. Thawus salah seorang ahli fiqih dari Yaman dan seorang Tabiin besar tidak suka
menyewakan tanah dengan emas atau perak uang, tetapi dengan 13 atau 14.
Ketika pendapatnya ini dibantah, dengan alasan bahwa Nabi melarang menyewakan tanah, maka Thawus menjawab: Muaz bin Jabal --duta Nabi ke
Yaman-- datang kepada kami, kemudian menyewakan tanah dengan 13 dan 14 sedang kami mengetahuinya sampai sekarang ini, yang seolah-olah menganggap,
bahwa penyewaan tanah yang dilarangnya itu ialah penyewaan dengan uang emas dan perak. Adapun muzaraah dipandangnya tidak apa-apa.
Yang berpendapat seperti ini ialah Muhammad bin Sirin dan al-Qasim bin Muhammad bin Abubakar as-Siddiq. Keduanya berpendapat tidak salah kalau
menyerahkan tanahnya kepada orang lain dengan penyewaan 13, 14 atau 110 nya sedang si pemilik tanah tidak memberikan pembelanjaan sedikitpun.
Di samping itu, kedua ulama itupun berpendapat dilarang melakukan kira. Ada pula segolongan tabiin yang tidak membolehkan penyewaan tanah secara
keseluruhannya, baik dengan uang ataupun bagi hasil. Tetapi satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa mereka ini tidak mengetahui dibolehkannya hal tersebut
dengan filiyah Nabi sendiri, para khalifahnya dan Muaz waktu di Yaman. Dan inilah perundang-undangan dalam bidang pekerjaan yang ditetapkan untuk kaum
muslimin pada mass-masa permulaan.
Adapun larangan menyewakan tanah dengan uang, sudah cocok dengan nas dan akal.
4.2.16.3 Qias yang dapat Menetapkan Dilarangnya Menyewakan dengan Uang