kepadanya: Jikalau demikian ini perihal laki-laki dengan bini, tiada berfaedah kawin. Matius 19: 1 - 10
25
Dari percakapan ini jelas, bahwa Jesus Isa hanya bermaksud membatasi kesewenang-wenangan orang Yahudi dalam mempergunakan izin talaq yang telah
diberikan Musa kepadanya, kemudian ia menghukumi mereka ini dengan larangan bercerai kecuali sebab si perempuan itu berbuat zina. Dengan demikian, apa yang
diperbuatnya itu adalah obat sementara untuk waktu tertentu, sehingga datanglah agama yang universal dan abadi; yaitu dengan diutusnya Nabi Muhammad s.a.w.
Tidak rasional kalau al-Masih menghendaki hukumnya ini bersifat abadi dan berlaku untuk segenap ummat manusia. Sebab murid-muridnya sendiri telah
menyatakan keberatannya terhadap hukum yang sangat berat ini. Mereka berkata: Jikalau demikian ini perihal laki dengan bini, tiada berfaedah kawin. Sebab
semata-mata kawin dengan seorang perempuan, berarti dia menjadikan perempuan itu sebagai belenggu di lehernya yang tidak mungkin dapat dilepaskan
dengan apapun, kendatipun hatinya penuh kebencian, kesempitan dan kemurkaan; dan betapapun watak dan pembawaan kedua belah pihak itu berbeda.
Dahulukala seorang failasuf berkata: Sebesar-besar bencana, adalah beristerikan seorang perempuan yang tidak kamu setujui tetapi tidak juga kamu cerai.
Dan berkatalah seorang penyair Arab: Barangsiapa menghalang-halangi kebebasan dunia,
Maka pasti dia akan menemui musuh dari kawan seiringnya sendiri.
3.2.20.8 Islam Membatasi Persoalan Talaq
Syariat Islam telah meletakkan beberapa ikatan yang membendung jalan yang akan membawa kepada perceraian, sehingga terbatas dalam lingkaran yang sangat
sempit.
Oleh karena itu talaq yang dijatuhkan tanpa suatu alasan yang mengharuskan dan tanpa meninjau jalan-jalan lain seperti yang kami sebutkan di atas, adalah talaq
yang diharamkan dalam Islam. Sebab talaq seperti itu --sebagaimana dikatakan oleh sebagian ahli fiqih-- cukup membahayakan, baik pada dirinya sendiri
maupun pada isterinya. Sedang mengabaikan maslahah yang sangat diperlukan untuk kedua belah pihak tanpa ada suatu kepentingan yang mengharuskan,
hukumnya haram, seperti merusak harta benda. Sebab Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
Tidak boleh membuat bahaya dan membalas bahaya. Riwayat Ibnu Majah dan Thabarani dan lain-lain
Adapun apa yang diperbuat oleh orang-orang yang suka berselera dan suka mencerai isteri, adalah satu hal yang samasekali tidak dibenarkan Allah dan
Rasul-Nya. Seperti sabda Rasulullah s.a.w.:
Saya tidak suka kepada laki-laki yang suka kawin cerai dan perempuan yang suka kawin cerai. Riwayat Thabarani dan Daraquthni
Dan sabdanya pula: Sesungguhnya Allah tidak suka kepada laki-laki yang suka kawin cerai dan
perempuan-perempuan yang suka kawin cerai. Riwayat Thabarani
Abdullah bin Abbas juga berkata: Talaq itu hanya dibenarkan karena suatu kepentingan.
3.2.20.9 Mencerai Perempuan Waktu Datang Bulan
Apabila ada keperluan dan kepentingan yang membolehkan talaq, tidak berarti seorang muslim diperkenankan untuk segera menjatuhkan talaqnya kapan pun ia
suka, tetapi harus dipilihnya waktu yang tepat. Sedang waktu yang tepat itu -- menurut yang digariskan oleh syariat-- yaitu sewaktu si perempuan dalam
keadaan bersih, yakni tidak datang bulan, baru saja melahirkan anak nifas dan tidak sehabis disetubuhinya khusus waktu bersih itu, kecuali apabila si perempuan
tersebut jelas dalam keadaan mengandung,
Karena dalam keadaan haidh, termasuk juga nifas, mengharuskan seorang suami untuk menjauhi isterinya. Barangkali karena terhalangnya atau ketegangan alat
vitalnya itu yang mendorong untuk mentalaq. Oleh karena itu si suami diperintahkan supaya menangguhkan sampai selesai haidhnya itu kemudian
bersuci, kemudian dia boleh menjatuhkan talaqnya sebelum si isteri itu disetubuhinya.
Sebagaimana diharamkannya mencerai isteri di waktu haidh, begitu juga diharamkan mencerai di waktu suci sesudah bersetubuh. Sebab siapa tahu
barangkali si perempuan itu memperoleh benih dari suaminya pada kali ini, dan barangkali juga kalau si suami setelah mengetahui bahwa isterinya hamil
kemudian dia akan merubah niatnya, dan dia dapat hidup senang bersama isteri karena ada janin yang dikandungnya.
Tetapi bila si perempuan itu dalam keadaan suci yang tidak disetubuhi atau si perempuan itu sudah jelas hamil, maka jelas di sini bahwa yang mendorong untuk
bercerai adalah karena ada alasan yang bisa dibenarkan. Oleh karena itu di saat yang demikian dia tidak berdosa mencerainya.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dikisahkan, bahwa Abdullah bin Umar Ibnul-Khattab pernah mencerai isterinya waktu haidh. Kejadian ini
sewaktu Rasulullah s.a.w. masih hidup. Maka bertanyalah Umar kepada Rasulullah s.a.w., maka jawab Nabi kepada Umar:
Suruhlah dia Abdullah bin Umar supaya kembali, kemudian jika dia mau, cerailah sedang isterinya itu dalam keadaan suci sebelum disetubuhinya. Itulah
yang disebut mencerai pada iddah, sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam firmanNya: Hai Nabi Apabila kamu hendak mencerai isterimu, maka cerailah dia
pada iddahnya. Yakni menghadapi iddah, yaitu di dalam keadaan suci.
Di satu riwayat disebutkan: Perintahlah dia Abdullah bin Umar supaya kembali, kemudian cerailah dia
dalam keadaan suci atau mengandung. Riwayat Bukhari
Akan tetapi apakah talaq semacam itu dipandang sah dan harus dilaksanakan atau tidak?
Pendapat yang masyhur, bahwa talaq semacam itu tetap sah, tetapi si pelakunya berdosa.
Sementara ahli fiqih berpendapat tidak sah, sebab talaq semacam itu samasekali tidak menurut aturan syara dan tidak dibenarkan. Oleh karena itu bagaimana
mungkin dapat dikatakan berlaku dan sah?
Diriwayatkan: Sesungguhnya Ibnu Umar pernah ditanya: bagaimana pendapatmu tentang
seorang laki-laki yang mencerai isterinya waktu haidh? Maka ia menceriterakan kepada si penanya tentang kisahnya ketika ia mencerai isterinya waktu haidh, dan
Rasulullah s.a. w. niengembalikan isterinya itu kepadanya sedang Rasulullah tidak menganggapnya sedikitpun. Riwayat Abu Daud dengan sanad yang sahih
3.2.20.10 Bersumpah Untuk Mencerai Hukumnya Haram