Seluruh riwayat yang menerangkan tentang muzaraah, sedikitpun tidak dikenal, bahwa bagian penyewa tanah kurang dari separuh, bahkan kadang-kadang lebih
dari separuh.
Memang yang cukup dapat menyenangkan hati, ialah bagian penyewa tidak kurang dari separuh, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dan para
khalifahnya bersama orang-orang Yahudi Khaibar.
Tidak layak kalau bagian pemilik tanah lebih tinggi daripada bagian penyewa.
4.2.17 Syirkah dalam Memelihara Binatang
Ada satu macam muamalah yang berlaku di negeri kita ini Arab, khususnya di desa-desa, yaitu apa yang disebut syirkah dalam memelihara hewan dan binatang
ternak. Salah satu pihak membayar semua harga atau sebagiannya, sedang di pihak lain memelihara. Sesudah itu antara kedua belah pihak membagi hasil dan
keuntungannya.
Supaya jelas, maka kami akan menjelaskan beberapa macam bentuk syirkah ini, yaitu sebagai berikut:
BENTUK PERTAMA: Syirkah semata-mata untuk tujuan dagang. Misalnya syirkah dalam memelihara anak lembu supaya gemuk, atau memelihara sapi dan
kerbau untuk menghasilkan susu.
Yang harus dipenuhinya dalam hal ini, ialah pihak pertama harus membayar harga lembu, sedang pihak kedua memeliharanya. Sedang pembiayaannya, seperti:
makannya dan minumnya, dari kedua belah pihak, bukan dari satu pihak saja. Dan kalau dijual, nafkahnya itu dipisahkan dari harga penjualan, sedang sisanya dari
keuntungan dibagi menurut perjanjian.
Tidak adil kalau satu pihak dibebani nafkah, padahal dia tidak diberi imbalan, sedang keuntungannya dibagi dua. Ini kiranya cukup jelas.
BENTUK KEDUA: Syirkah antara pihak pertama yang membayar harga binatang dengan pihak lain yang memberi nafkah dan memelihara, dengan imbalan dia
dapat memanfaatkan air susunya atau dipergunakan membajak, menarik air dan menanam.
Cara ini tidak apa-apa dan dapat dipandang baik apabila hewannya itu besar dan jelas dapat dimanfaatkan, baik air susunya ataupun tenaganya.
Betul nafkah yang dikeluarkan oleh pihak kedua dan kemudian dapat memanfaatkannya, itu tidak dapat diketahui keadilannya dan tidak ada
persesuaiannya dibanding dengan pihak kedua, bahkan di dalamnya terdapat unsur kesamaran. Akan tetapi kami menganggap baik hal tersebut, dan
kesamaran-kesamaran sedikit tidak kami anggap, sebab ada dalil yang hampir ada persamaannya dengan itu dalam syariat Islam, yaitu tentang masalah gadai,
apabila barang yang digadaikan itu berupa hewan yang mungkin dikendarai atau diambil air susunya.
Dalam hadis yang sahih itu Rasulullah s.a.w. bersabda: Punggung binatang itu boleh dinaiki karena nafkahnya apabila binatang tersebut
tergadaikan; dan air susu unta dapat diminum karena nafkahnya apabila binatang tersebut digadaikan. Sedang kewajiban yang menaiki dan meminum air susunya
ialah memberi nafkah. Riwayat Bukhari dari jalan Abu Hurairah
Dalam hadis ini Rasulullah s.a.w. menetapkan: karena nafkah, maka imbalannya ialah menaiki, apabila punggung binatang tersebut memungkinkan untuk dinaiki.
Atau imbalannya itu air susunya, apabila binatang tersebut mempunyai air susu yang dapat diperah.
Apabila dalam masalah gadai ini dibolehkan, demi kepentingan kerjasama dan memperkuat hubungan antara seorang dengan yang lain, padahal nilai nafkah
kadang-kadang lebih banyak dan kadang-kadang lebih sedikit kalau dibandingkan dengan nilai menaiki atau memerah air susunya, maka tidak salah, kalau kami
membolehkan yang seperti itu dalam hal syirkah binatang seperti yang kami sebutkan di atas, demi memenuhi kebutuhan orang banyak juga.
Apa yang kami istimbatkan dari hadis ini seperti tersebut, adalah semata-mata pendapat kami. Semoga benar juga
Adapun syirkah dalam hal anak lembu yang belum dapat diambil manfaatnya, baik tenaga maupun air susunya, atas dasar harga dari satu pihak sedang
nafkahnya dari pihak lain, maka menurut kaidah Islam tidak dibenarkan. Sebab pihak yang mengeluarkan nafkah akan menderita kerugian sendirian, tanpa ada
imbalan baik tenaga ataupun air susunya. Sedang di pihak lain dapat mengambil keuntungan atas biaya pihak ke satu.
Ini, samasekali tidak mencerminkan keadilan yang selalu ditekankan oleh Islam dalam seluruh macam muamalah.
Tetapi kalau dimungkinkan kedua belah pihak dapat membagi masalah nafkahnya sehingga tibalah saatnya binatang tersebut dapat dimanfaatkan, maka hal ini boleh
saja, menurut pendapat kami.
4.3 Tentang Hiburan
ISLAM adalah agama realis, tidak tenggelam dalam dunia khayal dan lamunan. Tetapi Islam berjalan bersama manusia di atas dunia realita dan alam kenyataan.
Islam tidak memperlakukan manusia sebagai Malaikat yang bersayap dua, tiga dan empat. Tetapi Islam memperlakukan manusia sebagai manusia yang suka
makan dan berjalan di pasar-pasar.
Justru itu
Islam tidak
mengharuskan manusia
supaya dalam
seluruh percakapannya
itu berupa
zikir, diamnya
itu berarti
berfikir, seluruh
pendengarannya hanya kepada al-Quran dan seluruh senggangnya harus di masjid. Islam mengakui fitrah dan instink manusia sebagai makhluk yang dicipta Allah, di
mana Allah membuat mereka sebagai makhluk yang suka bergembira, bersenang- senang, ketawa dan bermain-main, sebagaimana mereka dicipta suka makan dan
minum.
4.3.1 Sekedarnya Saja
Meningkatnya rohani sebagian para sahabat, telah mencapai puncak di mana mereka beranggapan, bahwa kesungguhan yang membulat dan ketekunan
beribadah, haruslah menjadi adat kebiasaannya sehingga mereka harus
memalingkan dari kenikmatan hidup dan keindahan dunia, tidak bergembira dan tidak bermain-main. Bahkan seluruh pandangannya dan fikirannya hanya tertuju
kepada akhirat melulu dengan seluruh isinya, serta jauh dari dunia dengan keindahannya.
Marilah kita dengarkan kisah seorang sahabat yang mulia, namanya Handhalah al- Asidi, dia termasuk salah seorang penulis Nabi. Ia menceriterakan tentang dirinya
kepada kita sebagai berikut. Satu ketika aku bertemu Abubakar, kemudian terjadilah suatu dialog:
Abubakar: Apa kabar, ya Handhalah? Aku: Handhalah berbuat nifaq
Abubakar: Subhanallah, apa katamu? Aku: Bagaimana tidak Aku selalu bersama Rasulullah s.a.w., ia menuturkan
kepadaku tentang Neraka dan Sorga yang seolah-olah Sorga dan Neraka itu saya lihat dengan mata-kepalaku. Tetapi setelah saya keluar dari tempat Rasulullah
s.a.w., kemudian saya bermain-main dengan isteri dan anak-anak saya dan bergelimang dalam pekerjaan, maka saya sering lupa tutur Nabi itu
Abubakar: Demi Allah, saya juga berbuat demikian Aku: Kemudian saya bersama Abubakar pergi ke tempat Rasulullah s.a.w.
Kepadanya, saya katakan: Handhalah nifaq, ya Rasulullah Rasulullah: Apa?