Haji Ifrâd dan Haji Qirân

6.1.2. Haji Ifrâd dan Haji Qirân

a. Menurut Fiqih Ahlul Bait

Cara mengerjakan haji Ifrâd adalah kita melakukan ihram untuk haji dari mîqât atau dari rumah kita sendiri jika rumah kita berada di dalam batas mîqât . Kemudian kita menuju padang Arafah dan melakukan wukuf di sana pada tanggal 9 Dzulhijjah. Setelah itu, kita mengerjakan sisa manasik haji hingga sempurna dan ber-tahallul dari ihram tersebut. Kita masih memiliki kewajiban untuk melakukan umrah Mufradah. Umrah ini dapat dilakukan dimulai dari daerah di luar daerah haram yang terdekat atau dari salah satu mîqât yang ada. Umrah ini dapat dilakukan kapan pun dalam setahun. Haji ini dinamakan dengan haji Ifrâd dan umrahnya dinamakan dengan umrah Mufradah , karena orang yang melakukan ibadah haji melakukan masing- masing dari kedua kewajiban itu secara independen.

Cara mengerjakan haji Qirân adalah sama seperti melaksanakan haji Ifrâd dalam seluruh manasiknya. Perbedaannya adalah orang yang mengerjakan haji Qirân harus menuntun binatang kurbannya pada saat melakukan ihram. Yaitu, membarengkan antara talbiah dan bintang kurban sehingga dengan itu ia harus menuntunnya. Sementara itu, orang yang melaksanakan haji Ifrâd tidak berkewajiban untuk menyembelih binatang kurban sama sekali.

Orang-orang yang hidup di sekitar Masjidil Haram dapat memilih salah satu dari dua cara haji ini. 1

1 Dalîl Al-Manâsik, karya Sayid Muhsin Al-Hakîm, cet. Al-Âdâb, Najaf, tahun 1377 H., hal. 37-45.

B AB III: P ASAL K ETIGA

b. Menurut Fiqih Mazhab Khulafâ’

Dalam haji Qirân, kita harus membarengkan antara umrah dan haji. Yaitu mengumpulkan antara kedua kewajiban itu dengan satu niat dan satu

talbiah dengan berkata: “Labbaik bi hajjatin wa ‘umrah” atau kita berniat umrah pada bulan-bulan haji, dan kemudian menyertakan haji dengan umrah itu sebelum kita ber-tahallul dari umrah tersebut. Orang yang melakukan haji Qirân dan tidak berdomisili di sekitar Masjidil Haram harus

menyembelih binatang kurban. 1 Dalam haji Ifrâd, kita tidak melakukan haji secara Tamatu‘ dan tidak

juga secara Qirân. Kewajiban kita hanyalah melakukan haji semata. 2 Menurut sebagian pendapat, ibadah haji ini dilaksanakan sendirian, ufrida

al-haj . Dan dalam sebagian riwayat, ibadah haji ini “ditelanjangi” (dari umrah), jurrida al-haj. 3

Semua itu adalah jenis-jenis haji (di dalam Islam). Adapun orang-orang musyrik, prinsip mereka berkenaan dengan masalah haji dan umrah telah disebutkan di dalam Shahîh Al-Bukhârî dan Muslim, Musnad Ahmad, As-Sunan Al-Kubrâ , karya Al-Baihaqî, dan selain kitab-kitab tersebut berikut ini:

Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ia pernah bercerita tentang kondisi orang- orang musyrik pada masa Jahiliyah seraya berkata: “Mereka memiliki keyakinan bahwa melakukan umrah pada bulan-bulan haram adalah keburukan yang paling keji di muka bumi ini dan menjadikan bulan Muharam sebagai bulan Shafar. Mereka berkata, ‘Jika unta-unta telah melahirkan, bekAs-bekas kaki unta telah musnah (dari atas jalan), dan bulan Shafar telah berlalu, maka umrah adalah halal bagi orang yang ingin melakukan umrah.’” 4

1 Berbeda dengan pendapat sebagian sahabat Mâlik seperti telah dinukil oleh Bidâyah Al-Mujtahid .

2 Berkenaan dengan pendapat yang telah kami paparkan ini, kami merujuk Bidâyah Al-Mujtahid , pasal Al-Qawl bi Al-Qârin, jil. 1, hal. 348 dan Nihâyah Al-Atsar, karya

Ibn Al-Atsîr, kata [ نارقلا]. 3 Sunan Al-Baihaqî, bab Man Ikhtâr Al-Ifrâd, jil. 5, hal. 5.

4 Shahîh Al-Bukhârî, kitab Al-Haj, bab At- Tamattu‘, Al-Qirân, wa Al-Ifrâd; Fath Al- Bârî , kitab Manâqib Al-Anshar, jil. 4, hal. 168-13-69; Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 249,

252, 332, dan 339; Sunan Abi Dâwûd, kitab Al-Manâsik, bab Al- ‘Umrah; Sunan An- Nasa’î, kitab Al-Haj, hal. 77; Sunan Al-Baihaqî, jil. 4, hal. 354; Al-Muntaqâ, hadis ke-2422. Silakan juga merujuk Musykil Al-Âtsâr, karya Ath-Thahâwî, jil. 3, hal. 155 dan Syarah Ma‘ânî Al-Âtsâr, pasal Fî Manâsik Al-Haj, jil. 1, hal. 381.

B AB III: P ASAL K ETIGA 255

An-Nawawî meriwayatkan di dalam Syarah Shahîh Muslim bahwa para ulama memaparkan syarah riwayat tersebut berikut ini: “Menjadikan bulan Muharam sebagai bulan Shafar”; ungkapan tersebut ingin memberitahukan tentang nasî’ (pengakhiran) yang selalu mereka lakukan. Mereka selalu menamakan bulan Muharam dengan bulan Shafar, menghalalkannya, dan mengakhirkan bulan Muharam. Yaitu, mengakhirkan pengharamannya hingga setelah bulan Shafar supaya mereka tidak mengalami tiga bulan haram secara berturut-turut, karena hal itu akan menyempitkan kesempatan bagi mereka untuk melakukan penjarahan harta kabilah lain atau tindakan-tindakan mereka lainnya.

Ibn Hajar —ketika memberikan alasan atas tindakan mereka itu— berkata: “Alasan mereka memperbolehkan melakukan umrah setelah bulan Shafar berlalu, padahal bulan Shafar tidak termasuk bulan-bulan haji, dan begitu juga bulan Muharam adalah ketika mereka menjadikan bulan Muharam sebagai bulan Shafar dan unta-unta mereka tidak akan melahirkan kecuali ketika bulan Shafar berlalu, mereka menggabungkan bulan tersebut dengan bulan-bulan haram dengan jalan mengikutkannya, dan menjadikan permulaan bulan dimulainya ibadah umrah di bulan Muharam yang pada asalnya adalah bulan Shafar. Ibadah umrah —dalam pandangan mereka 1 —dilakukan pada selain bulan-bulan haji.”

Ini adalah tradisi dan sunah masyakarat Quraisy dalam melaksanakan ibadah umrah, dan Rasulullah saw. menentang mereka dalam hal ini, sebagaimana akan dijelaskan berikut ini.

c. Sunah Rasulullah saw. dalam Umrah

Ibn Al- Qayyim berkata: “Rasulullah saw. telah melakukan umrah sebanyak empat kali setelah berhijrah, dan seluruh umrah beliau itu dilakukan pada bulan Dzulqa‘dah. Dan hal ini dikuatkan oleh riwayat yang telah diriwayatkan oleh Anas bin Mâlik dan ‘Aisyah bahwa Rasulullah saw. tidak pernah melakuk 2 an umrah kecuali pada bulan Dzulqa‘dah.”

1 Silakan merujuk penjelasan hadis ini di dalam Syarah Shahîh Muslim, karya An- Nawawî dan Fath Al-Bârî, karya Ibn Hajar.

2 Zâd Al- Ma‘âd, pasal Fî Hadyih fî Hajjih wa ‘Umarih, jil. 1, hal. 209. Perincian riwayat ini terdapat dalam Shahîh Al-Bukhârî, bab Kam I‘tamara An-Nabi, jil. 1, hal.

212, Shahîh Muslim, kitab Al-Haj, bab Umari An-Nabi saw. wa Zamânihinna, hal. 217-220, hadis ke-916-917, Sunan Al-Baihaqî, bab Man Ustuhibba Al-Ihrâm min Al- Ja‘rânah, jil. 4, hal. 357 dan jil. 5, hal. 10-12, dan Târîkh Ibn Katsîr, jil. 5, hal. 109.

B AB III: P ASAL K ETIGA

Ibn Al- Qayyim berkata: “Maksudnya adalah seluruh umrah Rasu-lullah saw. dilaksanakan pada bulan-bulan haji, dan hal ini bertentangan dengan tradisi orang-orang musyrik. Mereka benci untuk melakukan ibadah umrah pada bulan- bulan haji seraya berkata, ‘Umrah pada bulan-bulan ini adalah keburukan yang paling keji.’ Dan ini adalah dalil bahwa melakukan ibadah umrah pada bulan-bulan haji adalah —tanpa diragukan lagi—lebih utama daripada melakukannya di bulan Rajab.”

Ia mel anjutkan: “Allah tidak akan memilih waktu untuk umrah Nabi- Nya kecuali waktu-waktu yang paling utama dan yang paling layak untuk pelaksanaan umrah tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan umrah di bulan-bulan haji adalah seperti pelaksanaan haji di bulan-bulan tersebut. Allah swt. telah mengistimewakan bulan-bulan tersebut dengan ibadah dan menjadikannya sebagai waktu (khusus untuk) beribadah. Umrah adalah haji kecil. Oleh karena itu, masa yang paling utama untuk melaksanakannya adalah bulan-bulan haji, dan b ulan Dzulqa‘dah adalah bulan haji yang pertengahan. Ini adalah sesuatu yang telah dipilih oleh Allah. Barang siapa memiliki keutamaan ilmu, maka Dia akan menun- 1 jukkannya kepadanya.”

Setelah memaparkan sunah Rasulullah saw. dan sunah orang-orang musyrik da lam melakukan umrah, kini kita kembali ke pembahasan mut‘ah haji menurut perspektif kitab dan sunah, dan kemudian menye-butkan cara para khalifah berijtihad dalam masalah ini pada pembahasan berikut ini.