Ghanîmah dan Maghnam (Harta Rampasan Perang)

5.4.5. Ghanîmah dan Maghnam (Harta Rampasan Perang)

Pasca era Jahiliyah, kata ghanîmah dan maghnam mengalami perubahan arti sebanyak dua kali: pertama, di dalam syariat Islam, dan kedua, di kalangan mutasyarri‘ah (muslimin) sehingga—akhirnya—arti kedua kata itu ekuivalen dengan perampasan harta (as-salb wa an-nahb) dan peperangan.

Penjelasan

Salabahû salban, jika ia mengambil hartanya (salabah). Salab(u) Ar-rajul(i), berarti pakaiannya dan segala sesuatu yang diambil oleh seorang sahabat

dari sahabatnya yang ia selalu memakai dan membawanya ke mana ia pergi, seperti pakaian, senjata, binatang tunggangan, dan lain sebagainya. Bentuk pluralnya adalah aslâb.

Haribahû haraban, jika ia merampas seluruh hartanya dan membiar- kannya tak memiliki secuil harta apa pun. Huriba Ar-rajul mâlahu, ia dirampas hartanya. Isim maf‘ul-nya adalah mahrûb dan harîb (orang yang dirampas). Bentuk pluralnya adalah harbâ dan harbâ’. Harîbatuh, berarti hartanya yang telah dirampas darinya, dan ukhidzat harîbatuh, berarti harta yang merupakan biaya kehidupannya dirampas. Ahrabahû, berarti menun-

jukkan kepadanya harta yang dirampas dari musuhnya. Nahabahû wa nahibahû, jika ia mengambil hartanya secara paksa. An- nahb , An-nuhbâ, dan An-nuhaibâ, mengambil harta (orang lain) secara paksa, dan bentuk pluralnya adalah nihâb dan nuhûb. An-nahb berarti juga satu jenis

1 Silakan rujuk Bihâr Al-Anwâr, karya Al-Majlisî, kitab Al-Khums, bab Al-Anfâl, jil. 96, hal. 204-214, cet. baru.

B AB III: P ASAL K ETIGA

dari serangan dan perampasan. Anhaba ‘irdhah wa mâlah, berarti memperbolehkan hartanya kepada orang yang dikehendakinya.

Begitulah kosa kata-kosa kata itu di dalam kamus-kamus bahasa Arab. 1 Kosa kata-kosa kata itu —dengan arti-arti tersebut—juga digunakan di dalam

sirah dan hadis, dan oleh para sahabat, sebagaimana berikut ini: Dalam sebuah hadis disebutkan: “Barang siapa membunuh seseorang, maka ia berhak memiliki seluruh hartanya.” 2 Dalam sabda Rasulullah saw. kepada seorang penyanyi yang telah meminta izin kepada beliau untuk menyanyi di Madinah disebutkan: “Aku telah menghalakan seluruh hartamu sebagai rampasan bagi para pemuda Madinah.” 3

Dalam buku sirah disebutkan bahwa ketika Rasulullah saw. memberikan kepada Abu Sufyân bin Harb, Shafwân bin Umaiyah, ‘Uyainah bin Hishn, dan Aqra‘ bin Hâbis masing-masing sebanyak seratus ekor unta dan memberikan kepada Abbas bin Mirdâs kurang dari itu pada perang Hunain, Abbas bin Mirdâs berkata dalam syairnya,

Apakah engkau membagikan bagianku dan bagian ‘Ubaid ini di 4 antara ‘Uyainah dan Aqra‘?

1 Seperti Ash-Shihâh, karya Al-Jauharî, Nihâyah Al-Atsar, karya Ibn Al-Atsîr, Lisân Al- ‘Arab, karya Ibn Manzhûr, dan Al-Qâmûs dan syarahnya.

2 Sunan Ad-Dârimî, kitab As-Siyar, bab Man Qatala Qatîlan fa Lahu Salabuh, jil. 2, hal. 229; Musnad Ahmad, jil. 5, hal. 295, 306, dan 312; Sunan Abi Dâwûd, kitab Al-

Jihâd , jil. 2, hal. 3 dan bab Fî As- Salb Yu‘thâ Al-Qâtil, jil. 2, hal. 13. 3 Sunan Ibn Mâjah, kitab Al-Hudûd, hadis ke-2613.

4 Shahîh Muslim, kitab Az-Zakâh, bab I‘thâ’ Al-Mu’allafah Qulûbuhum, jil. 3, hal. 108; Al-Aghânî, biografi Abbas bim Mirdâs, jil. 14, hal. 290. Biografinya terdapat

dalam buku Usud Al-Ghâbah . ‘Ubaid adalah nama kudanya. Perang Hunain terjadi pada tahun kedelapan Hijriah setelah peristiwa penaklukan kota Mekkah. Abu Sufyân bin Harb pernah memerangi Rasulullah saw. pada perang Uhud, Khandaq, dan peperangan-peperangan selainnya. Ia menyatakan diri memeluk agama Islam setelah peristiwa penaklukan kota Mekkah. Ia meninggal dunia pada tahun 31 Hijriah. Shafwân bin Umaiyah Al-Qarasyî Al-Jumhî. Ia meninggal dunia di Mekkah pada masa Utsman atau Mu‘âwiyah berkuasa. ‘Uyainah bin Hishn Al-Fazârî. Menurut sebuah riwayat, ia dibunuh oleh Khalifah Umar. Dan menurut riwayat yang lain, ia mati pada masa Utsman berkuasa. Aqra‘ bin Hâbis At-Tamîmî. Ia meninggal dunia di Jauzjân bersama laskar yang menyerang Khurasan. Nabi saw. memberikan saham mu’allafah qulûbuhum pada perang Hunain. Ibn Mirdâs memprotes beliau seraya berkata: “Engkau telah memberikan sahamku dan saham kudaku, ‘Ubaid ini kepada ‘Uyainah dan Aqra‘.”

B AB III: P ASAL K ETIGA 125

Pada peristiwa perang Badar, kaum Quraisy berkata: “Mereka telah dikeluarkan (baca: diperintahkan) untuk merampas harta- 1 hartamu.”

Di dalam sebuah hadis Rasulullah saw. dis ebutkan: “Jika mereka duduk (baca: enggan berperang), niscaya mereka duduk dalam keadaan belum membalas dendam atas kematian orang-orang mereka dan seluruh hartanya dirampas.” 2

Di dalam hadis Umar disebutkan: “Jauhilah meminjam uang, karena permulaannya adalah kesedihan dan penghujungnya adalah kemusnahan harta.” 3

Di dalam sejarah periode sahabat disebutkan bahwa Mu‘âwiyah pernah berwasiat kepada Sufyân bin ‘Auf Al-Ghâmidî ketika ia meng-utusnya untuk menaklukkan seluruh negeri muslimin yang berada di luar kekuasaan Syam: “Bunuhlah setiap orang yang kau jumpai yang tidak sependapat denganmu, kuasailah setiap kota yang kau lewati, dan rampas-lah seluruh harta (masyarakat), karena perampasan harta adalah serupa dengan pembunuhan dan ia lebih menyakitkan hati.” 4

Di dalam sebuah riwayat disebutkan: “Para sahabat Nabi saw. berhasil mendapatkan harta rampasan perang berupa kambing. Mereka meng- ambilnya dan memasaknya. Nabi saw. berkata, ‘Sesungguhnya harta rampasan perang tidak boleh (dipergunakan untuk kepentingan pribadi).’ Akhirnya, mereka menumpahkan seluruh isi kuali itu.” 5

Dalam misi penaklukan kota Kabul, para prajurit penakluk kota itu berhasil merampas harta rampasan perang berupa kambing. Mereka mengambilnya untuk diri mereka. Abdurrahman menyuruh seseorang untuk mengumumkan: “Sesungguhnya aku pernah Rasulullah saw.

1 Nihâyah Al-Lughah, karya Ibn Al-Atsîr, kata [ برح]. 2 Musnad Ahmad, jil. 4, hal. 328; Shahîh Al-Bukhârî, jil. 3, hal. 31. Redaksi hadis ini

dinukil dari kitab pertama. 3 Muwaththa’ Mâlik, kitab Al-Washiyah, bab Jâmi‘ Al-Qadhâ’ wa Karâhiyatuh, jil. 2,

hal. 236. 4 Wasiat ini telah disebutkan oleh Ibrahim bin Muhammad At-Tsaqafî (wafat 280 H.)

dalam bukunya, Al-Ghârât sesuai dengan riwayat Ibn Abil Hadîd darinya di dalam Syarah Nahjul Balâghah , jil. 2, hal. 58-90. Al-Ghâmidî mati di negeri Romawi setelah tahun 50 Hijriah sedangkan ia masih menjadi komandan peperangan melawan bangsa Romawi yang biasanya dilaksanakan pada musim panas dari sisi Mu‘âwiyah. Silakan Anda rujuk Ahâdîts Ummil Mukminin ‘Aisyah, hal. 242.

5 Musnad Ahmad, jil. 5, hal. 367; Sunan Ibn Mâjah, kitab Al-Fitan, hadis ke-3938. Redaksi riwayat ini dinukil dari kitab pertama.

B AB III: P ASAL K ETIGA

bersabda, ‘Barang siapa mengambil harta rampasan perang, maka ia bukan dari kami.’” Mereka mengembalikan kambing tersebut dan harta rampasan perang yang lain, lalu Abdurrahman membagi-bagikannya (di kalangan mereka) secara sama rata. 1

Semua itu adalah arti dari kosa kata as-salb, an-nahb, dan al-harab. Adapun berkenaan dengan kosa kata ghanîmah dan maghnam, Ar-

Râghib dan Al-Azharî dalam bukunya, tentang kata ghunm berkata: “Ghunm adalah sebuah kata yang memiliki arti yang sudah masyhur ... Ghunm berarti mendapatkan sesuatu. Setelah itu, kata ini digunakan untuk setiap harta yang berhasil didapatkan, baik dari musuh maupun dari selain musuh. Allah swt. berfirman, ‘Ketahuilah, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu

dapatkan ...’ dan ‘Maka makanlah dari sebagian harta yang kamu dapatkan sebagai makanan yang halal lagi baik.’ Maghnam adalah sesuatu (baca: harta) yang diperoleh, dan bentuk pluralnya adalah maghânim. Allah swt. berfirman, 2 ‘... karena di sisi Allah terdapat harta yang Banyak.’”

Di dalam Lisân Al- ‘Arab, Tahdzîb Al-Lughah, karya Al-Azharî, Nihâyah Al- Lughah , dan Mu‘jam Alfâzh Al-Qur’an disebutkan: “Al-ghunm berarti mendapatkan harta. Setelah itu, kata ini digunakan untuk setiap harta yang diperoleh, baik dari musuh maupun dari selain musuh. Ghanima sama seperti wazan sami‘a, ghunman. Maghnam adalah harta yang diperoleh, dan bentuk pluralnya adalah maghânim.

Al-ghunm berarti mendapatkan sesuatu tanpa jerih payah. Ghanima Asy- syai’, berarti fâza bihi (mendapatkannya). Al-ightinâm, yaitu

intihâz 3 al-ghunm (memanfaatkan harta yang diperoleh). Di dalam Lisân Al- ‘Arab dan Nihâyah Al-Lughah, karya Ibn Al-Atsîr,

tentang kata tersebut disebutkan: “Di dalam sebuah hadis ditegaskan, ‘Harta

1 Musnad Ahmad, jil. 5, hal. 62-63. Abdurrahman bin Samurah Al-Qurasyî. Ia meninggal dunia di Bashrah pada tahun 50

atau 51 Hijriah. Biografinya terdapat dalam buku Usud Al-Ghâbah, jil. 3, hal. 297. 2 Mufradât Al- Qur’an, karya Ar-Râghib Al-Ishfahânî, kata [منغ]; Tahdzîb Al-Lughah,

karya Al-Azharî (wafat 370 H.), jil. 8, hal. 149; Mu‘jam Alfâzh Al-Qur’an, jil. 2, hal. 293. Ayat pertama terdapat di dalam surat Al-Anfâl [8]:41, ayat kedua di dalam surat Al-Anfâl [8]:69, dan ayat ketiga di dalam surat An- Nisâ’ [4]:94.

3 Kata [ منغ] dalam buku Nihâyah Al-Lughah, karya Ibn Al-Atsîr, jil. 3, hal. 173, Lisân Al- ‘Arab, jil. 12, hal. 445, Tahdzîb Al-Lughah, karya Al-Azharî, Mu‘jam Maqâyîs Al-

Lughah , karya Ibn Fâris (wafat 395 H.), jil. 4, hal. 397, dan Tafsir Al-Fakhr Ar-Râzî, jil. 15, hal. 166.

B AB III: P ASAL K ETIGA 127

jaminan adalah hak milik orang yang memberi jaminan; ia berhak atas segala keuntunganya dan ia juga harus menanggung segala kerugian- nya.’”

Di dalam Ash-Shihâh, karya Al- Jauharî: “Al-maghnam dan al-ghanîmah memiliki satu arti.” 1

Kata ini digunakan di dalam sebuah hadis dan yang dimaksud adalah memperoleh sesuatu (baca: beruntung). Hadis ini terdapat dalam kitab Sunan Ibn Mâjah, bab Mâ Yuqâlu ‘inda Ikhrâj Az-Zakâh, Rasulullah saw. bersabda: “Ya Allah, jadikanlah zakat itu sebagai keuntungan dan janganlah Kau jadikan sebag 2 ai kerugian.”

Di dalam Musnad Ahmad, diriwayatkan dari Rasulullah saw.: “Keuntungan majelis-majelis zikir (mengingat Allah) adalah surga.” 3

Di antara sifat- sifat bulan Ramadhan: “Bulan ini adalah keuntungan bagi seorang mukmin.” 4

Dan contoh-contoh lain yang sudah disebutkan dalam banyak hadis. Di dalam Al- Qur’an disebutkan: “... karena di sisi Allah terdapat harta yang Banyak.” (QS. An-Nisâ’ [4]:94)

Kesimpulan

Pada masa Jahiliyah dan Islam, bangsa Arab mengatakan: “Salabahû”, jika ia mengambil segala sesuatu yang dimiliki oleh orang yang dirampas, seperti pakaian, senjata, dan binatang ternak. Mereka juga berkata: “Haribahû”, jika ia merampas seluruh hartanya. An-nuhaibah dan an-nuhbâ dalam pandangan mereka adalah sama dengan ghanîmah dan maghnam pada masa kita sekarang ini.

Kita juga mendapatkan bahwa ungkapan ghanima asy- syai’ ghunman di kalangan mereka berarti memperoleh sesuatu tanpa jerih payah, al-ightinâm berarti memnggunakan harta yang didapatkan, dan maghnam adalah harta yang diperoleh, dan bentuk pluralnya adalah manghânim.

Di dalam hadis disebutkan: “Baginya seluruh manfaat yang dihasilkannya”, ketika menyifati bulan Ramadhan disebutkan: “Bulan ini adalah keuntungan bagi seorang mukmin”, dan ketika mengeluarkan zakat beliau berdoa: “Ya Allah, jadikanlah zakat itu sebagai keuntungan”, serta “Keuntungan majelis-majelis zikir adalah surga.”

1 Shihâh Al-Lughah, karya Al-Jauharî, hal. 1999. 2 Sunan Ibn Mâjah, kitab Az-Zakâh, hadis ke-1797. 3 Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 177. 4 Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 330, 375, dan 524.

B AB III: P ASAL K ETIGA

Para ahli bangsa Arab berkata: “Pada arti asalnya, ghunm berarti memperoleh sesuatu. Kemudian, kata itu digunakan untuk segala sesuatu yang diambil dari musuh dan selain musuh.”

Menurut hematku, inklusivitas (syumûl) kata ghunm atas seluruh harta yang diambil dari musuh dan dari selain musuh terjadi pada periode Islam, bukan pada masa sebelumnya. Hal itu dikarenakan muslimin memiliki pengalaman berperang di bawah komando Rasulullah saw. untuk pertama kalinya pada saat perang Badar meletus dan mereka saling bersengketa berkenaan dengan harta rampasan perang yang berhasil mereka rampas setelah kemenangan mereka. Allah mencabut hak kepemilikan atas harta rampasan yang mereka kuasai itu dari diri mereka dan —secara penuh— menjadikkannya sebagai hak Allah dan Rasul-Nya, serta Dia menamakan harta itu dengan nama anfâl. Setelah hukum ini turun dan dijelaskan di dalam surah Al-Anfâl, para prajurit dalam seluruh peperangan mereka menyerahkan segala harta yang telah mereka dapatkan kepada pemimpin supaya ia memperlakukannya (baca: mengalokasikan-nya) sesuai dengan pendapatnya, dan tak seorang pun dari mereka berhak mengambilnya secara terang-terangan atau menyimpannya untuk dirinya sendiri secara sembunyi-sembunyi. Rasulullah saw. telah mengharamkan pengambilan harta tersebut, seperti telah diriwayatkan oleh Ibn Mâjah dan Ahmad — redaksi hadis ini milik Ibn Mâjah: “Sesungguhnya pengambilan harta rampasan perang (a-nuhbah) tidak dihal alkan.” Beliau juga bersabda: “Barang siapa mengambil sebuah harta rampasan perang, maka ia bukan dari kami.” 1

Dalam Shahîh Al-Bukhârî dan Musnad Ahmad diriwayatkan dari ‘Ubâdah: “Kami membaiat Nabi untuk tidak mengambil harta rampasan perang.” 2

1 Kedua hadis tersebut terdapat di dalam Sunan Ibn Mâjah, kitab Al-Fitan, bab An- Nahy ‘an An-Nuhbâ, hal. 1299. Hadis pertama terdapat di dalam Musnad Ahmad, jil.

4, hal. 194 dan hadis kedua terdapat di dalam Musnad Ahmad, jil. 3, hal. 140, 197, 312, 323, 380, dan 395, jil. 4, hal. 439 dan 446, dan jil. 5, hal. 62. 2 Shahîh Al-Bukhârî, kitab Al-Mazhâlim, bab An-Nuhbâ bi Ghairi Idzni Shâhibih, jil. 2, hal. 49; Musnad Ahmad, jil. 5, hal. 321. Biografi ‘Ubâdah telah disebutkan sebelumnya.

B AB III: P ASAL K ETIGA 129

Dalam Shahîh Al-Bukhârî, diriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda: “Seseorang tidak akan mengambil harta rampasan perang

yang memiliki kemuliaan, sedangkan ia dalam keadaan beriman.” 1 Dalam Sunan Abi Dâwûd, bab An-Nahy ‘an An-Nuhbâ, diriwayatkan dari

salah seorang dari kalangan kaum Anshar bahwa ia berkata: “Kami pernah keluar bersama Rasulullah saw. dalam sebuah perjalanan. Orang-orang yang ikut (dalam perjalanan itu) sangat memerlukan makanan. Lalu mereka berperang dan berhasil mendapatkan kambing. Mereka mengam-bilnya untuk diri mereka sendiri. Kuali-kuali kami sudah mendidih. Tiba-tiba Rasulullah saw. datang dengan membawa busur panahnya. Beliau membalikkan kuali-kuali kami terebut dengan busur panahnya dan mulai menggosok-gosokkan daging-daging itu ke atas tanah. Beliau bersabda, ‘Harta yang diambil dari harta rampasan perang tidak lebih halal daripada bangkai.’” 2

Allah dan Rasul-Nya mengharamkan pengkhianatan. Allah ber-firman: “Barang siapa yang berkhianat [dalam urusan rampasan perang itu], maka

pada Hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.” (QS. Ali ‘‘Imrân [3]:161)

Di dalam hadis Rasulullah saw.: “Tidak boleh mengambil harta rampasan perang, tidak boleh berkhianat, dan tidak boleh mencuri. Barang siapa berkhianat, maka pada Hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang telah dikhianatkannya.” 3

Di dalam hadis ini, an-ahb (pengambilan harta rampasan perang) dan a- ighlâl (berkhianat) disebutkan sejajar dengan pencurian. Di dalam hadis yang lain beliau bersabda: “Serahkanlah sehelai benang dan sepotong jarum (dari harta rampasan perang itu kepada pemimpinmu), dan juga yang lebih besar atau lebih kecil dari itu. Karena pengkhianatan dalam harta rampasan perang (a-ghulûl) itu adalah sebuah cela yang sangat keji bagi pelakunya pa 4 da hari kiamat.”

Ibn Al- Atsîr berkata: “Al-ghulûl adalah pengkhiatan dalam harta rampasan perang dan mencuri (harta tersebut) sebelum dibagi- bagikan.”

1 Shahîh Al-Bukhârî, kitab Al-Asyribah, jil. 3, hal. 214. Silakan Anda rujuk juga jil. 2, hal. 48.

2 Sunan Abi Dâwûd, kitab Al-Jihâd, bab Fî An- Nahy ‘an An-Nuhbâ, jil. 3, hal. 66. 3 Sunan Ad-Dârimî, jil. 2, hal. 230. 4 Sunan Ad-Dârimî, kitab As-Siyar, bab Mâ Jâ’a Annahû Qâla Addû Al-Khaith wa Al-

Mikhyath , jil. 2, hal. 230.

B AB III: P ASAL K ETIGA

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh: “Ketika Rasulullah saw. mendapatkan ghanîmah, beliau memerintahkan Bilâl untuk meng- umumkan kepada masyarakat (supaya menyerahkan seluruh ghanîmah tersebut). Mereka pun berdatangan menyerahkan harta-harta rampasan perang itu. Beliau memngeluarkan khumusnya dan membagi-bagikan (sisanya). Setelah itu, seseorang datang dengan membawa tali pengekang kuda yang terbuat dari bulu seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, inilah ghanîmah yang berhasil kami dapatkan.’ Beliau menimpali, ‘Apakah engkau mendengar Bilâl telah mengumumkan sebanyak tiga kali?’ Ia menjawab, ‘Iya.’ Beliau berkata, ‘Apakah yang mencegahmu untuk menyerahkannya?’ Akhirnya, orang itu meminta maaf. Beliau menimpali, ‘Serahkanlah tali pengekang itu pada hari kiamat, dan aku tidak akan memerimanya.’” 1

Di dalam Sunan Ibn Mâjah, kitab Al-Jihâd, bab Al-Ghulûl disebutkan bahwa seseorang dari Bani Asyja‘ meninggal dunia di Khaibar. Nabi saw. berkata: “Kerjakanlah salat atas sahabatmu ini.” Mereka menolaknya dan wajah mereka berubah. Ketika melihat itu, beliau bersabda: “Sesungguh-nya sahabatmu ini telah mencuri harta 2 rampasan perang.”

Di dalam Sunan Ad-Dârimî, kitab As-Siyar, bab Mâ Jâ’a fî Al-Ghulûl min Asy-Syiddah , diriwayatkan dari Umar bin Al-Khatab bahwa ia berkata: “Beberapa orang terbunuh pada perang Khaibar. Masyarakat mengatakan, ‘Si Polan adalah syahid.’ Hingga akhirnya mereka menyebutkan seseorang dan mereka mengatakan, ‘Ia adalah syahid.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak demikian! Sesungguhnya aku melihatnya berada di dalam api neraka dengan memakai jubah atau gamis yang telah dicurinya dari harta rampasan perang.’” 3

Di dalam Sunan Ibn Mâjah, kitab Al-Jihâd, bab Al-Ghulûl, disebutkan bahwa di antara laskar Nabi saw. ada seseorang yang bernama Karkarah. (Dalam peperangan) ia meninggal dunia. Beliau berkata: “... dia berada di dalam api neraka.” Mereka pergi untuk melihatnya. Tiba-tiba mereka

1 Sunan Abi Dâwûd, kitab Al-Jihâd, bab Ta‘zhîm Al-Ghulûl, jil. 2, hal. 13. Di dalam kitab ini juga terdapat bab balasan bagi orang yang mencuri harta rampasan perang,

ia menyebutkan bahwa mereka sering merubah harta yang diambil oleh pencuri itu, dan di samping itu terdapat juga bab orang yang menutup-nutupi orang yang mencuri harta rampasan perang, maka adalah sama dengannya.

2 Sunan Ibn Mâjah, hal. 950. 3 Sunan Ad-Dârimî, jil. 2, hal. 230.

B AB III: P ASAL K ETIGA 131

menemukan selembar kain lebar atau sehelai jubah yang telah dicurinya dari harta rampasan perang. 1

Di dalam Shahîh Al-Bukhârî, Shahîh Muslim, dan Sunan Abi Dâwûd dengan redaksi riwayat yang lain disebutkan di akhir riwayat itu bahwa ketika mendengar itu, seseorang menyerahkan seutas atau dua utas tali sepatu. Rasulullah saw. bersabda: “Seutas atau dua utas tali sepatu dari api neraka.” 2

Islam telah melarang para prajurit untuk —secara terang-terangan— mengambil harta yang telah berhasil dirampas dari tangan musuh sampai- sampai beliau sendiri membaliklan kuali-kuali para prajurit lapar yang telah mengambil kambing dan mengoles-oleskan dagingnya ke atas tanah. Bahkan beliau juga melarang untuk mengambilnya secara sembunyi- sembunyi dan menamakan tindakan semacam ini dengan al-ghulûl (pengkhianatan). Beliau malah menegaskan: “Serahkanlah sehelai benang dan sepotong jarum (dari harta rampasan perang itu), dan yang lebih kecil serta yang lebih besar dari itu.” Beliau menolak melakukan salat atas orang yang berkhianat dalam harta tersebut dan tidak menamakan orang terbunuh yang telah mencuri harta tersebut dengan nama syahid. Oleh karena itu, Islam mencabut hak kepemilikan atas harta yang telah berhasil dirampas dari tangan para musuh itu dari para prajurit yang telah ikut berperang, apa pun bentuknya meskipun berupa seutas tali sepatu dan bagaimana pun caranya, baik secara terang-terangan maupun secara tersembunyi. Al- Qur’an menamakan harta ini dengan anfâl dan menjadi- kannya sebagai hak Allah dan rasul-Nya supaya beliau mempergunakannya sesuai dengan pendapatnya. Jika demikian halnya, bagaimanakah tindakan Rasulullah saw. dalam mempergunakan harta tersebut?

Dalam seluruh peperangannya, Rasulullah saw. memberikan saham kepada para prajurit pejalan kaki sesuai dengan pendapat beliau dan juga demikian berkenaan dengan para prajurit penunggang kuda, 3 baik mereka

1 Sunan Ibn Mâjah, hal. 950. 2 Seluruh hadis ini terdapat di dalam Shahîh Al-Bukhârî, bab Ghazwah Khaibar, jil.

3, hal. 37, Shahîh Muslim, kitab Al-Imân, jil. 1, hal. 75, dan Sunan Abi Dâwûd, kitab Al-Jihâd , jil. 2, hal. 13. Silakan rujuk juga Shahîh Muslim, kitab Al-Imârah, bab Tahrîm Al-Ghulûl , jil. 6, hal. 10.

3 Di dalam Shahîh Al-Bukhârî, jil. 3, hal. 36, bab Ghazwah Khaibar disebutkan bahwa beliau memberikan dua saham kepada prajurit penunggang kuda dan satu saham

kepada prajurit pejalan kaki.

B AB III: P ASAL K ETIGA

berhasil menguasai harta itu maupun tidak. Akan tetapi, beliau memberikan saham yang tidak seberapa kepada kaum wanita.

Lebih dari itu, beliau malah pernah memberikan saham itu kepada orang yang tidak pernah mengikuti perang sama sekali, seperti pemberian saham yang telah beliau terhadap Utsman pada perang Badar dan terhadap para sahabat Ja‘far pada perang Khaibar. Hal ini terdapat di dalam Shahîh Al-Bukhârî , Musnad Ath-Thayâlisî, Musnad Ahmad, dan Thabaqât Ibn Sa‘d bahwa pada perang Badar, Rasulullah saw. telah menunjuk Utsman untuk tinggal supaya menjaga istrinya, putri Rasulullah yang sedang sakit dan beliau memberikan saham harta rampasan perang kepadanya sebagaimana orang yang ikut hadir berperang. 1

Di dalam Shahîh Al-Bukhârî pada halaman yang sama diriwayatkan dari Abu Mûsâ bahwa ia berkata: “Kami mendapat berita bahwa Nabi saw. keluar (untuk menuju Khaibar) sedangkan kami berada di Yaman. Kami pun keluar dalam keadaan berhijrah menuju beliau dalam sebuah rombongan yang berjumlah —kurang lebih—lima puluhan orang. Kami menaiki perahu dan perahu itu membawa kami menuju ke Raja Najâsyî di Habasyah. Kami berjumpa dengan Ja‘far bin Abi Thalib dan para sahabatnya. Kami diam di situ bersamanya sehingga seluruh anggota rombongan kami sampai seluruhnya. Setelah itu, kami berjumpa Nabi saw. ketika beliau telah berhasil menaklukkan Khaibar. Beliau member-kan saham (dari harta rampasan perang itu) kepada seluruh rombongan kami dan kepada Ja‘far berserta para sahabatnya.” 2

Begitu juga Rasulullah saw. memberikan saham (harta rampasan perang) —seperti telah disebutkan sebelum ini—kepada Mu‘allâfah qulûbuhum pada perang Hunain sebanyak beberapa kali lipat saham seorang mukmin yang ikut berjihad.

Begitulah Islam mencabut hak kepemilikan harta yang berhasil dirampas dari tangan musuh dari orang yang berhasil merampasnya dan menjadikannya sebagai hak Allah dan Rasul-Nya supaya beliau gunakan dan bagi-bagikan sesuai dengan pendapat beliau. Dengan penjelasan ini, kita bisa mengklaim bahwa orang yang telah mendapatkan saham dari harta

1 Shahîh Al-Bukhârî, kitab Al-Jihâd wa As-Siyar, bab Idzâ Ba‘atsa Al-Imâm Rasûlan ilâ Hâjatin aw Amara bi Al-Muqâm, hal. Yusahhimu Lah, jil. 2, hal. 131; Musnad Ath-

Thayâlisî , hadis ke-1985; Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 68 dan 75 dan jil. 2, hal. 101 dan 102; Thabaqât Ibn Sa‘d, jil. 3, hal. 56; Bidâyah Al-Mujtahid, kitab Al-Jihâd, pasa kedua, jil. 1, hal. 410-412.

2 Kami mennukil riwayat ini dari Shahîh Al-Bukhârî secara ringkas.

B AB III: P ASAL K ETIGA 133

rampasan perang tersebut, baik ia telah mengikuti perang maupun tidak, ia telah mendapatkannya tanpa jerih payah sedikit pun. Hal itu lantaran ia telah mendapatkan harta itu dari tangan Rasulullah saw., bukan dari keikutsertaannya dalam perang. Begitu juga, kita dapat menganggap harta yang telah berhasil dirampas itu sebagai satu jenis ghanîmah dan maghnam karena kedua kosa kata ini di kalangan bangsa Arab juga mengindikasikan arti sesuatu yang berhasil didapatkan dari selain musuh tanpa jerih payah, dan untuk harta yang didapatkan dari tangan musuh memiliki nama-nama lain, seperti telah kami paparkan sebelumnya. Dan dengan pengertian ini juga ayat: “Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang telah kamu dapatkan ...” turun dalam peperangan itu setelah ayat (yang menjelaskan tentang) anfâl turun di permulaan surah, atau ayat itu turun pada peristiwa perang Uhud. Setelah ayat ini turun, ghanîmah memiliki dua arti:

a. Arti linguistik, yaitu mendapatkan sesuatu tanpa jerih payah, dan harta yang berhasil dirampas dari tangan musuh tidak termasuk dalam kategori ini, karena harta itu memiliki nama-nama lain, yaitu as-salab , an-nahb, dan al-harab.

b. Arti syar‘î, yaitu sesuatu yang dirampas dari musuh dan selain musuh, sebagaimana telah ditafsirkan oleh Ar-Râghib. Begitu juga, Islam telah menjadikan seluruh harta yang berhasil dirampas dalam sebuah peperangan (aslâb al-harb) sebagai salah satu kategori maghnam setelah sebelumnya ia tidak termasuk demikian.

Dan kita menemukan kadang-kadang kata ghanîmah dan maghnam sering digunakan di dalam sirah dan hadis dengan arti linguistiknya, sebagaimana kosa kata-kosa kata lain yang dipakai dalam artinya yang hakiki tanpa memerlukan kepada proporsi (qarînah), seperti telah kami paparkan sebelumnya, dan kadang- kadang juga digunakan dalam arti syar‘î-nya jika terdapat sebuah proporsi di dalam ucapan atau kata itu menunjuk kepada arti syar‘î yang diinginkan ketika perbicaraan sedang berlangsung.

Kedua kata itu digunakan demikian hingga era penaklukan- penaklukan negara lain memuncak pada periode kekhalifahan Khalifah Umar dan setelah itu di mana derivasi-derivasi kata ghunm sering digunakan dalam arti harta yang berhasil dirampas dari tangan musuh secara khusus dengan menggunakan proporsi- proporsi kondisional (hâliyah) atau tekstual (maqâliyah) yang menunjukkan maksud (pembicara). Ketika para ahli bahasa datang

B AB III: P ASAL K ETIGA

setelah periode itu dan mengadakan penelitian tentang contoh- contoh penggunaan kata ghunm di kalangan bangsa Arab pada masa mereka dan setelah masa mereka, mereka mendapatkan bahwa kosa kata ini digunakan dalam arti-arti berikut ini:

c. Memperoleh sesuatu tanpa jerih payah, pada masa Jahiliyah dan

permulaan periode Islam di seluruh kalangan bangsa Arab.

d. Memperoleh sesuatu (dengan merampas) dari musuh dan dari selain musuh, setelah ayat khumus turun. Arti ini digunakan di kalangan muslimin secara khusus hingga masa sahabat.

e. Memperoleh sesuatu dari tangan musuh secara khusus, pada era penaklukan-penaklukan negara-negara lain dengan disertai proporsi-proporsi yang tidak begitu mendapatkan perhatian. Setelah itu, secara perlahan-lahan kata-kata itu digunakan di dalam msyarakat Islam tanpa menyebutkan proporsi-proporsi (yang diperlukan) hingga periode para ahli bahasa. Ketika para ahli bahasa itu membukukannya, mereka tidak memperhatikan per-kembangan arti kosa kata ghunm seperti yang telah kami paparkan tersebut. Dan hal ini mengakibatkan sebagian ahli bahasa hanya memperhatikan penggunaan kosa kata itu di Madinah pasca disyariatkannya khumus, seperti Ar- Râghib yang berpendapat: “Kata ini digunakan dalam arti setiap harta yang berhasil dirampas dari musuh dan selain musuh.” Ibn Manzhûr dan selainnya hanya memperhatikan pengg unaannya pada periode Jahiliyah dan berkata: “Ghanima Asy- syai’, berarti memperolehnya, dan Al-ightinâm, berarti mempergunakan harta yang telah diperoleh ....” Dan kadang-kadang ia hanya memperhatikan penggunaannya pada era penaklukan- penaklukan negara lain (al-futûh) dengan meng-gunakan proporsi yang tidak mereka ketahui, dan setelah itu, tanpa proporsi sama sekali seraya menulis: “Ghanîmah adalah harta yang berhasil dirampas dari orang- orang yang berperang.” Sementara itu, penulis buku Al-Qâmûs bimbang dalam menentu-kan arti ghunm; apakah kata itu berarti sesuatu yang diperoleh dan 1 fay’, yaitu kata ini digunakan sama dalam kedua arti itu atau kata ghanîmah berarti fay’ dan seluruh derivasinya berarti memperoleh sesuatu. 2

1 Penulis buku Al-Qâmûs menafsirkan fay’ dengan ghanîmah. 2 Al-Qâmûs, kata [ منغ].

B AB III: P ASAL K ETIGA 135

Begitulah para ahli bahasa itu mencampur-adukkan arti dalam menafsirkan kosa kata ghunm. Dan yang benar adalah hendaknya kita menelaah perkembangan arti kata ini (terlebih dahulu), sebagaimana telah kita paparkan sebelumnya. Perkembangan arti kosa kata ghunm ini adalah sebagai berikut:

 Pada era Jahiliyah dan priode permulaan Islam, kosa kata ini digunakan dalam arti linguistik, yaitu secara hakiki berarti memperoleh sesuatu tanpa jerih payah.

 Setelah ayat khumus turun, di dalam syariat Islam, kata ini secara hakiki berarti harta yang dirampas dari musuh dan selain musuh. Meskipun demikian, arti linguistiknya yang hakiki masih tetap digunakan, karena arti ini masih belum terlupakan pada waktu itu.

 Pada periode pembukuan bahasa Arab dan selanjutnya, kata ini—di kalangan mutasyari‘ah (muslimin)—memiliki arti hakiki dalam setiap

harta yang berhasil dirampas dari pihak musuh secara khusus. Dan arti linguistiknya juga masih digunakan dalam periode ini.

Atas dasar ini, jika kita menemukan salah satu derivasi kosa kata ini digunakan dalam sebuah pernyataan hingga era permulaan Islam, kita harus menafsirkannya dengan arti linguistiknya secara khusus. Yaitu, memperoleh sesuatu tanpa jerih payah dan harta yang tidak dirampas dari tangan musuh. Jika kita menemukannya digunakan setelah periode disyariatkannya khumus atau pada era syariat Islam, maka kita harus menafsirkannya dengan arti linguistiknya atau dengan arti syar‘î-nya, yaitu harta yang dirampas dari tangan musuh dan selain musuh, karena kata itu digunakan sama dalam dua arti tersebut. Dan jika kita menemukan kata tersebut digunakan pada masa pembukuan bahasa Arab dan setelahnya, maka yang lebih baik adalah hendaknya kita menfasirkannya dengan arti yang masyhur di kalangan mereka. Yaitu, harta yang berhasil dirampas dari tangan musuh secara khusus.

Dari pemaparan tersebut jelas bahwa jika kita menemukan salah satu derivasi kata itu digunakan di dalam sebuah hadis atau selain hadis setelah disyariatkannya khumus dari sejak periode Rasulullah saw. hingga masa sahabat, maka kita harus menafsirkannya dengan salah satu dari dua artinya: pertama , arti linguistik, yaitu memperoleh sesuatu tanpa jerih payah, dan kedua , arti syar‘î, yaitu harta yang berhasil dirampas dari tangan musuh dan selain musuh. Dalam kondisi demikian, kita seharusnya mencari arahan-

B AB III: P ASAL K ETIGA

arahan (tekstual ataupun kontekstual) yang dapat menunjukkan maksud pembicara.

Berdasarkan penelitian yang telah kami lakukan atas penggunaan- penggunaan kosa kata ini pada era tersebut, pada umumnya kosa kata itu digunakan dengan dibarengi oleh sebuah arahan, baik kontekstual (hâliyah) maupun tekstual (maqâliyah) yang menunjukkan arti syar‘î. Meskipun demikian, masih banyak juga contoh penggunaan kata ini tanpa arahan dan mengandung arti linguistik.