Pe-nasakh-an Hukum Nikah Mu t‘ah Sebanyak Dua Kali atau Lebih

6.2.13. Pe-nasakh-an Hukum Nikah Mu t‘ah Sebanyak Dua Kali atau Lebih

Dalam Ash-Shahîh-nya, Muslim menulis sebuah bab yang berjudul Bab Nikâh Al- Mut‘ah wa Bayân annahû Ubîha tsumma Nusikha tsumma Ubîha tsumma

Nusikha wa-staqarra Hukmuh ilâ Yawm Al-Qiyâmah (Nikah Mut‘ah dan Penjelasan bahwa Nikah ini Diperbolehkan, kemudian Di-nasakh, kemudian Diperbolehkan lagi dan Di-nasakh lagi, dan Akhirnya Hukumnya

Ditetapkan hingga Hari Kiamat). 1 Dalam buku tafsirnya, Ibn Katsîr berkata: “Syafi‘î dan sekelompok

ulama berkeyakinan bahwa nikah mut‘ah diperbolehkan, kemudian di- nasakh , kemudian diperbolehkan, dan kemudian di-nasakh sebanyak dua kali.” 2

1 Shahîh Muslim, kitab An-Nikâh, hal. 1032. 2 Tafsir Ibn Katsîr, jil. 1, hal. 474 ketika menafsirkan ayat ‘fama-stamta‘tum’.

B AB III: P ASAL K ETIGA 373

Ibn Al- ‘Arabî berkata—sebagaimana ucapannya akan dijelaskan setelah ini: “Nikah mut‘ah mengalami nasakh sebanyak dua kali, dan kemudian

diharamkan.” Az-Zamakhsyarî di dalam Al-Kasysyâf-nya juga menyinggung masalah ini. 1 Sebagian ulama yang lain berkata: “Pe-nasakh-an (nikah mut‘ah) ini terjadi sebanyak dua kali.” 2 Mereka adalah benar. Karena jika kita berkeyakinan diperboleh-kannya nasakh berkenaan dengan satu hukum dengan tujuan untuk menyelesaikan kontradiksi hadis-hadis yang ada, maka kita juga harus meyakini diperbolehkannya pengulangan nasakh atas beberapa hadis yang kontradiktif. Atas dasar ini, benar apa yang ditegaskan oleh Al-Qurthubî setelah ia menyebutkan ucapan Ibn Al- ‘Arabî tersebut: “Selain Ibn Al- ‘Arabî, ada ulama lain yang telah mengumpulkan hadis-hadis (Rasulullah) berkenaan dengan masalah nikah mut‘ah ini dan berpendapat bahwa seluruh hadis itu menuntut penghalalan dan pengharaman sebanyak tujuh kali. Ibn ‘Umrah meriwayatkan bahwa nikah mut‘ah ini disyariatkan pada masa permulaan Islam. Salamah bin Akwa‘ meriwayatkan bahwa nikah mut‘ah disyariatkan pada peristiwa lembah Awthâs. Sebagian riwayat menegaskan pengharamannya pada perang Khaibar. Dan riwayat Rabî‘ bin Saburah menegaskan ke-boleh-annya pada peristiwa penaklukan kota Mekkah. Seluruh jalur periwayatan ini terdapat di dalam Shahîh Muslim. Sebagian riwayat lain yang diriwayatkan dari Ali menegaskan pelarangan-nya pada perang peristiwa Tabuk. Dalam Sunan Abi Dâwûd, diriwayatkan dari Rabî‘ bin Saburah bahwa nikah mut‘ah ini dilarang para peristiwa haji Wadâ‘. Abu Dâwûd berkeyakinan bahwa riwayat ini adalah riwayat yang paling sahih dalam masalah ini. Dengan meriwayatkan dari Hasan, ‘Amr berkat a, ‘Nikah mut‘ah ini tidak pernah halal, tidak sebelum peristiwa haji Wadâ‘ dan tidak juga setelahnya.’ Dalam hal ini juga diriwayatkan dari Saburah, ‘Ini adalah tujuh tempat di mana nikah mut‘ah dihalalkan, dan kemudian diharamkan ....’” 3

Begitulah keyakinan mereka akan kesahihan seluruh hadis yang terdapat dalam buku-buku referensi hadis yang dinamakan dengan kitab

1 Al-Kasysyâf, jil. 1, hal. 519. 2 Sesuai dengan analisa yang telah dilakukan oleh Ibn Rusyd di dalam Bidâyah Al-

Mujtahid , jil. 2, hal. 63, pe-nasakh-an ini terjadi sebanyak lima kali. 3 Tafsir Al-Qurthubî, jil. 5, hal. 130-130.

B AB III: P ASAL K ETIGA

sahih telah memaksa mereka untuk mengklaim pe-nasakh-an hukum nikah mut‘ah di dalam syariat Islam sebanyak berkali-kali. Alangkah indahnya

ucapan Ibn Al- Qayyim berkenaan dengan masalah ini. Ia berkata: “Pe- nasakh 1 - an semacam ini tidak pernah terjadi dalam (sejarah) syariat Islam.”

Dan termasuk kekurangakalan ucapan Ibn Al- ‘Arabî dalam (menanggapi) masalah ini. Ia berkata: “Adapun bab ini, hukum yang me- nasakh dan yang di-nasakh telah terbukti dengan jelas dan sangat kokoh. Dan hal ini termasuk syariat yang aneh, lantaran hukum tersebut di-nasakh

sebanyak dua kali ....” 2 Di samping penjelasan yang telah kami paparkan itu, aku tidak tahu

bagaimana mungkin salah satu riwayat-riwayat tersebut dapat disahihkan, sedangkan telah dinukil secara mutawâtir dari Khalifah Umar 3 bahwa ia

berkata: “Dua jenis mut‘ah pernah ada pada masa Rasulullah saw. dan sekarang aku melarangnya: nikah mut‘ah dan mut‘ah haji.” Menurut redaksi yang lain: “Aku mengharamkannya”?

Bagaimana mungkin riwayat-riwayat itu dapat disahihkan, sedangkan telah diriwayatkan dari Jâbir secara sahih bahwa ia berkata: “Kami pernah melakukan mut‘ah pada masa Rasulullah, Abu bakar, dan Umar.” Menurut sebuah riwayat: “... hingga ketika penghujung kekhalifahan Umar tiba ....” Dan dalam sebuah riwayat yang lain disebutkan: “Kami sering melakuan nikah mut‘ah dengan mahar segenggam kurma dan tepung untuk beberapa hari pada masa Rasulullah dan Abu Bakar sehingga Umar melarangnya gara- gara peristiwa ‘Amr bin Huraits? 4

Bagaimana mungkin riwayat-riwayat itu dapat disahihkan, sedangkan Khalifah Umar tidak pernah mendengarnya dan tidak juga salah seorang sahabat dan tabiin hingga era Ibn Zubair. Lebih dari itu, tak seorang pun dari muslimin yang mengetahui riwayat-riwayat selama periode itu? Jika mereka pernah mendengarnya, maka pasti mereka akan memberitahukan hal itu kepada Khalifah Umar sehingga riwayat-riwayat itu dapat ia jadikan sebagai bukti (atas pelarangannya) dan juga kepada seluruh pihak penguasa hingga era kekuasaan Ibn Zubair sehingga riwayat-riwayat itu dapat mereka jadikan sebagai bukti (atas klaim mereka itu). Padahal, para penentang

1 Zâd Al- Ma‘âd, jil. 2, hal. 204. 2 Syarah Sunan At-Tirmidzî, jil. 5, hal. 48-51. 3 Buku-buku rujukan riwayat ini t elah disebutkan di awal pembahasan mut‘ah haji dan

nikah mut‘ah. Silakan merujuk Zâd Al-Ma‘âd, jil. 2, hal. 205.

4 Buku-buku rujukannya telah disebutkan dalam pembahasan faktor pengharaman nikah mut‘ah yang telah dilakukan oleh Umar.

B AB III: P ASAL K ETIGA 375

mereka, seperti Ibn Abbas, Jâbir, Ibn Mas‘ûd, dan selain mereka menen- tang para pihak penguasa itu dengan menyodorkan sunah Rasulullah.

Sebagian dari mereka malah mengambil beberapa saksi untuk membukti- kan kebenaran hukum mut‘ah itu dengan menanyakan hal itu kepada Asmâ’, ibu anak Zubair. Ali dan Ibn Abbas berkata: “Seandainya Umar tidak melarangnya, niscaya tidak akan berzina kecuali orang yang celaka.” Dalam semua itu, tak seorang pun dari mereka mengklaim bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut‘ah.

Iya. Semua riwayat itu dipalsukan untuk mengharapkan kebajikan, mendukung sikap Khalifah Kedua muslimin, dan mendepak setiap kritikan yang ditujukan kepadanya, sebagaimana juga riwayat-riwayat yang memerintahkan supaya ibadah haji dipisahkan (dari ibadah umrah) dan melarang pelaksanaan ibadah umrah dipalsukan untuk mengharapkan kebajikan dan mendepak setiap kritikan yang ditujukan kepadanya. Hal ini adalah seperti riwayat yang telah mereka palsukan berkenaan dengan keutamaan-keutamaan surah Al- Qur’an demi menggapai kebajikan, seperti ditegaskan dalam Taqrîb An-Nawâwî : “Para pemalsu (hadis) terbagi dalam beberapa golongan. Golongan yang paling berbahaya adalah kaum yang dikenal sebagai orang zuhud dan memalsukan hadis dengan tujuan untuk menggapai kebajikan —sesuai dengan klaim mereka—dan lalu hadis-hadis palsu mereka itu diterima karena kepercayaan (masyarakat) kepada

mereka.” 1 Dalam syarahnya disebutkan: “Di antara contoh-contoh riwayat yang

telah dipalsukan dengan tujuan untuk menggapai kebajikan adalah riwayat yang diriwayatkan oleh Al-Hâkim dengan sanad- nya kepada Abu ‘Ammâr Al- Mirwazî. Abu ‘Ishmah Nuh bin Abi Maryam pernah ditanya, ‘Dari mana engkau meriwayatkan keutamaan-keutamaan Al- Qur’an dari ‘Ikrimah, dari Ibn Abbas, surah demi surah, sedangkan para sahabat ‘Ikrimah tidak memiliki seluruh keutamaan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku melihat masyarakat telah meninggalkan Al- Qur’an dan menyibukkan diri dengan fiqih Abu Hanîfah dan kisah-kisah peperangan Ibn Ishâq. Aku memalsukan hadis- hadis itu demi mengharapkan kebajikan.’”

1 Taqrîb At-Taqrîb wa At- Taisîr li Ma‘rifah Sunan Al-Basyîr An-Nadzîr, karya Al- Hâfizh Muyiddîn An-Nawâwî (631-676 H.) dan syarahnya yang ditulis oleh As-

Suyûthî (wafat 911 H.) dan diberi judul Tadrîb Ar-Râwî fî Syarah An-Nawâwî, cet. Ke-2, tahun 1392 Hijriah, terbitan Al-Maktabah Al- ‘Ilmiyah di Madinah, jil. 1, hal. 281-283.

B AB III: P ASAL K ETIGA

Setelah menyebutkan riwayat tersebut, Az-Zarkasyî berk ata: “Kemu- dian, para ahli tafsir yang menyebutkan keutamaan-keutamaan Al- Qur’an biasa menyebutkannya di setiap permulaan surah lantaran hal itu dapat merangsang dan memberikan semangat (kepada masyarakat) untuk menghafalkannya, kecuali Az-Zamakhsyarî. Ia menyebutkan keutamaan- keutamaan itu di akhir surah.” 1

Nuh bin Abi Maryam adalah Abu ‘Ishmah Al-Qurasyî Al-Mirwazî, pemuka kabilah mereka. Ia adalah seorang hakim di daerah Marv. Ia juga dikenal dengan sebutan Nuh Al- Jâmi‘, lantaran ia mengambil fiqih dari Abu Hanîfah dan Ibn Abi Lailâ, hadis dari Hajjâj bin Arthât dan orang-orang yang setingkat dengannya, kisah-kisah peperangan (Islam) dari Ibn Ishâq, tafsir dari Al-Kalbî dan Muqâtil, dan ia adalah orang yang memiliki pengetahuan luas berkenaan dengan urusan dunia. Oleh karena itu, ia dijuluki Al- Jâmi‘. Ia sangat keras menentang dan menolak sekte Al-Jahmiyah. Al- Hâkim berkata: “Abu ‘Ishmah diunggulkan dalam ilmu pengetahuannya. Ia memiliki segala sesuatu kecuali kejujuran ... Hadisnya diriwayatkan oleh At-Tirmidzî di dalam As-Sunan- 2 nya dan Ibn Mâjah Dalam Tafsir.”

Di dalam Tadrîb Ar-Râwî, Mîzân Al- I‘tidâl, dan Lisân Al-Mîzân, diriwayatkan dari Ibn Mahdî bahwa ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Maisarah bin Abdi Rabbih, ‘Dari manakah engkau mendapatkan hadis-hadis yang menjelaskan bahwa barang siapa membaca surah ini, maka ia akan mendapat pahala begini?’ Ia menjawab, ‘Aku telah me-malsukannya dengan tujuan untuk memberikan semangat kepada masyarakat.’”

Dalam Tadrîb Ar-Râwî disebutkan: “Ia adalah seorang (perawi) agung yang telah meninggalkan seluruh nafsu dunia dan seluruh pasar Baghdad tutup karena kematiannya. Meskipun demikian, ia sering memalsukan hadis.”

Dalam buku ini juga disebutkan: “Beberapa peringatan: pertama, di antara hal-hal yang batil berkenaan dengan keutamaan Al- Qur’an, surah

demi surah, adalah hadis Ibn Abbas. Hadis ini telah dipalsukan oleh Maisarah, seperti telah disebutkan sebelumnya. Begitu juga hadis Abi Umâmah Al-Bâhilî yang telah diriwayatkan oleh Ad-Dailamî melalui jalur Salâm bin Sulaim Al- Madanî.”

1 Tadrîb Ar-Râwî, jil. 1/282; Al- Burhân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, Az-Zarkasyî, hal. 432. 2 Tahdzîb At-Tahdzîb, jil. 10, hal. 480-486.

B AB III: P ASAL K ETIGA 377

Dalam Lisân Al-Mîzân disebutkan: “Ia memalsukan empat puluh hadis berkenaan dengan keutamaan kota Qazwin, dan ia berkata, ‘Aku

mengharapkan kebajikan dalam hal ini.’” 1 Dalam Taqrîb An-Nawâwî disebutkan: “Termasuk hadis-hadis palsu

adala h hadis yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka‘b berkenaan dengan keutamaan Al- Qur’an, surah demi surah ....”

Dalam syarahnya, penulis menyebutkan perincian (kisah). perawi mencari asal muasal riwayat itu. Ia disuruh merujuk dari satu syaikh ke syaikh yang lain, dari Al- Madâ’in, Wâsith, Bashrah, hingga ke ‘Abbâdân. Di sana ia menanyakan kepada syaikh terkahir tentang siapakah yang telah meriwayatkan hadis itu kepadanya. Syaikh itu berkata: “Tak seorang pun yang meriwayatkan hadis itu kepadaku. Akan tetapi, kami melihat masya- rakat telah meninggalkan Al- Qur’an. Oleh karena itu, kami menciptakan hadis ini untuk memalingkan hati mereka kepada Al- Qur’an.”

Kemudian As- Suyûthî berkomentar: “Aku tidak pernah menemukan nama syaikh tersebut. Hanya saja, Ibn Al-Jauzî menyebutkan riwayat itu di dalam kategori riwayat- riwayat palsu melalui jalur Bazî‘ bin Hassân dengan sanad- nya kepada Ubay. Ia berkata, ‘Problem hadis ini berasal dari Bazî‘.’ Kemudian ia menyebutkannya melalui jalur Mukhallad bin Abdul Wâhid, dan ia berkata, ‘Problem hadis ini beradal dari Mukhallad.’ Sepertinya, salah seorang dari mereka berdua memalsukan hadis tersebut dan yang lain mencurinya darinya atau kedua orang itu mencurinya dari syaikh yang telah memalsukan hadis itu. Sungguh telah keliru para ahli tafsir, seperti ats- Tsa‘labî, Al-Wâhidî, Az-Zamakhsyarî, dan Al-Baidhâwî yang menyebut-kan riwayat itu dalam buku- 2 buku tafsir mereka.”

Dalam Tadrîb Ar-Râwî disebutkan: “Abu Dâwûd An-Nakha‘î adalah orang yang paling lama beribadah di tengah malam dan orang yang paling banyak berpuasa di siang hari. Meskipun demikian, ia sering memalsukan hadis.

Ibn Hibbân berkata, ‘Abu Basyar Ahmad bin Muhammad Al-Faqîh Al- Mirwazî adalah termasuk orang yang paling teguh memegang dan membela sunah dan yang paling getol memberantas para penentang sunah pada

masanya. Meskipun demikian, ia sering memalsukan hadis.’

1 Seluruh riwayat yang telah kami sebutkan dari Maisarah itu terdapat di dalam Tadrîb Ar-Râwî , jil. 1, hal. 283 dan 289 dan di dalam biografinya yang terdapat dalam Mîzân

Al- I‘tidâl dan Lisân Al-Mîzân, jil. 6, hal. 138-140. 2 Tadrîb Ar-Râwî, jil. 1, hal. 288-289.

B AB III: P ASAL K ETIGA

Ibn ‘Adî berkata, ‘Wahb bin Hafsh termasuk orang-orang saleh dan tinggal selama dua puluh tahun tidak pernah berbicara dengan seorang pun.

Meskipun demikian, ia sering berbohong dengan kebohongan yang parah.” 1

Mereka yang telah dikenal dengan kesalehan, ibadah, dan mening- galkan dunia itu telah memalsukan banyak hadis berkenaan dengan keutamaan-keutamaan Al- Qur’an dan negara-negara perbatasan pemerin- tahan Islam. Mereka juga mengakui sebagian hadis yang telah mereka palsukan itu, dan meskipun demikian, hadis-hadis itu masih tersebar di buku-buku referensi tafsir dan selainnya. Kita juga melihat bahwa hadis- hadis yang telah dipalsukan dalam usaha untuk menguatkan (pendapat) Khalifah Umar tentang pelarangan dua jenis mut‘ah itu adalah seperti riwayat-riwayat tersebut, khususnya hadis-hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut‘ah. Kita lihat hadis-hadis ini diciptakan setelah era kekuasaan Ibn Zubair dan sebelum periode penulisan (hadis). Yaitu, di penghujung abad pertama dan permulaan abad kedua. Dan orang- orang saleh pun berlomba-lomba untuk mencarikan justifikasi atas segala tindakan Khalifah Kedua. Salah seorang dari mereka menciptakan hadis bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut‘ah pada perang Khaibar. Orang kedua meriwayatkan bahwa beliau membolehkan dan mengharamkannya pada peristiwa umrah Al- qadhâ’. Orang ketiga meriwayatkan bahwa hal itu terjadi pada peristiwa penaklukan kota Mekkah. Orang keempat meriwayatkannya pada peristiwa lembah Awthâs. Orang kelima meriwayatkannya pada peristiwa perang Tabuk. Dan orang keenam meriwayatkannya pada peristiwa haji Wadâ‘. 2

Begitulah, setiap individu dari mereka ingin mengatakan bahwa pembolehan dan pengharaman terjadi di tempat dan waktu yang tertentu pada periode Rasulullah saw., dan oleh karena itu, Khalifah mengharam- kannya. Begitulah riwayat-riwayat (tentang hal ini) bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Para ulama pun berusaha mencari jalan keluar dari kontradiksi tersebut dan mereka tidak menemukan dalih dan alasan kecuali dengan cara melecehkan syariat Islam. Akhirnya, mereka mengada- adakan dusta terhadapnya dan berpegang teguh dengannya, meskipun dalam semua itu tersimpan kedustaan terhadap syariat Islam. Mereka

1 Ibid, hal. 283. 2 Begitulah Ibn Hajar menyebutkannya secara berurutan di dalam Fath Al-Bârî, jil.

11, hal. 73.

B AB III: P ASAL K ETIGA 379

mengatakan bahwa hukum ini diperbolehkan sebanyak dua kali dan di- nasakh sebanyak dua kali juga. Dan mereka juga berpendapat bahwa hukum itu diperbolehkan dan di-nasakh lebih banyak dari itu hingga sebanyak tujuh kali. Mereka tidak pernah perduli bahwa Islam telah dihinakan selama dengan semua itu mereka masih dapat menjaga komitmen akan kesahihan seluruh hadis yang mereka yakini sahih. Dan para ulama mazhab Khulafâ’ dapat mengambil manfaat dari seluruh hadis tersebut dalam rangka m enguatkan hukum pengharaman nikah mut‘ah, seperti yang pernah terjadi dengan Yahyâ bin Aktsam 1 dan Al- Ma’mûn pada permulaan abad ketiga Hijriah, sebagaimana hal itu diriwayatkan oleh Ibn Khalakân dari Muhammad bin Manshûr.

Muhammad bin Al-Manshûr berkata: “Aku pernah bersama Al- Ma’mûn ketika hendak menuju ke Syam. Ia memerintahkan supaya menghalalkan nikah mut‘ah. Yahyâ bin Aktsam berkata kepadaku dan kepada Abu Al- ‘Ainâ’, ‘Temuilah dia besok pagi secepatnya. Jika kamu menemukan alasan untuk pendapat itu, maka katakanlah, dan jika tidak, maka diamlah hingga aku datang.’ Kami masuk mejumpainya sedangkan ia sedang menggosok gigi. Ia membaca riwayat ‘dua jenis mut‘ah pernah ada pada masa Rasulullah dan Abu Bakar, dan aku melarangnya’. Ia berkata dalam kondisi m arah, ‘Hai Ju‘al, siapakah dirimu sehingga engkau berani melarang sesuatu yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. dan Abu Bakar ra?’ Abi Al-‘Ainâ’ mengisyaratkan kepada Muhammad bin Al- Manshûr seraya berkata, ‘Seseorang mengatakan apa yang sedang dikatakan oleh Khalifah itu berkenaan dengan Umar bin Khatab. Kami pun membicarakan hal itu kepadanya.’ Kami diam.

Tidak lama kemudian, Yahyâ bin Aktsam tiba. Ia duduk dan kami pun duduk. Al- Ma’mûn bertanya kepada Yahya, ‘Mengapa kulihat wajahmu

1 Abu Muhammad Yahya bin Aktsam Al-Mirwazî adalah salah seorang keturunan Aktsam bin Shaifî At-Tamîmî Al-Usaidî. Al-Mutawakkil pernah mengangkatnya

menjadi kepala tertinggi kehakiman negara. Ia sering dituduh melakukan sodomi. Seorang penyair berkata,

Kapankah dunia dan penghuninya akan terbina, selama kepala kehakiman tertinggi muslimin melakukan sodomi. Selain dia juga pernah berkata,

Ia adalah seorang hakim yang menjalankan hukuman karena perzinaan dan tidak menganggap bersalah orang yang melakukan sodomi.

Ia meninggal dunia di daerah Rabadzah ketika ia sedang kembali dari melaksanakan ibadah haji menuju ke Irak pada tahun 142 H. Silakan merujuk Wafayât Al- A‘yân, jil.

5, hal. 197-214.

B AB III: P ASAL K ETIGA

berubah?’ Yahyâ menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin, ini adalah sebuah kesedihan karena suatu peristiwa yang telah menimpa Islam.’

Al- Ma’mûn bertanya, ‘Peristiwa apa yang telah menimpanya?’ Yahyâ menjawab, ‘Seruan untuk menghalalkan perzinaan.’ Al- Ma’mûn bertanya keheranan, ‘Perzinaan?’ Yahyâ menjawab, ‘Iya. Nikah mut‘ah adalah zina.’ Al- Ma’mûn bertanya, ‘Dari mana engkau mengatakan demikian?’

Yahyâ menjawab, ‘Dari kitab Allah ‘Azza Wajalla dan hadis Rasulullah saw. Allah swt. berdirman, ‘Sungguh telah beruntung orang-orang yang beriman ... dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa meng inginkan selain itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.’

“Wahai Amirul Mukminin, apakah istri yang telah dinikahi secara mut‘ah adalah budak yang dimiliki seseorang?’ Al- Ma’mûn menjawab, ‘Tidak.’ Yahyâ bertanya lagi, ‘Apakah wanita itu adalah seorang istri yang di sisi

Allah berhak mewarisi dan memberikan warisan, anaknya dinisbatkan kepadanya, dan ia memiliki syarat- syarat tertentu?’

Al- Ma’mûn menjawab, ‘Bukan.’ Yahyâ berkata, ‘Orang yang menginginkan selain kedua wanita tersebut

termasuk orang-orang yang melampaui batas. Coba Anda perhatikan Az- Zuhrî ini, wahai Amirul Mukminin. Ia telah meriwayatkan dari Abdullah dan Hasan, dua putra Muhammad bin Al-Hanafiyah, dari ayah mereka, dari Ali bin Abi Thalib ra. bahwa ia berkata, ‘Rasulullah saw. pernah memerintahkanku untuk menyerukan pelarangan dan penghara-man nikah mut‘ah setelah beliau mengizinkan untuk dilakukan.’

Al- Ma’mûn menoleh ke arah kami seraya bertanya, ‘Apakah hadis Az- Zuhrî ini memang benar ada?’

Kami menjawab, ‘Iya, wahai Amirul Mukminin. Hadis ini diriwayat- kan oleh sekelompok perawi hadis. Mâlik ra. adalah salah seorang di antara mereka.’ Setelah itu, ia berkata, ‘Aku memohon ampunan kepada Allah. Serukanlah pengharaman nikah mut‘ah.’ Mereka pun menyerukan pengharamannya.”

Ketika membicarakan Yahyâ bin Aktsam dan lalu mengagungkan tindakannya itu, Abu Ishâq Ismail bin Hammâd bin Zaid bin Dirham Al- Azdî Al-Qâdhî Al-Faqîh Al-Mâlikî Al-Bashrî berkata: “Ia telah menciptakan

B AB III: P ASAL K ETIGA 381

sebuah peristiwa bersejarah di dalam Islam yang tak seorang pun mampu menciptakannya.” Dan ia menyebutkan peristiwa bersejarah itu. 1

Para ulama mazhab Khulafâ’ selalu menjadikan riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan itu sebagai hujah jika mereka didebat orang, dan jika ucapan Umar “dua jenis mut‘ah pernah ada pada masa Rasulullah, dan aku melarangnya dan men entukan hukuman karenanya” terbukti kebena- rannya, mereka berkata: “Khalifah telah berijtihad.” Dengan demikian, Allah telah berfirman, Rasul-Nya telah bersabda, dan Khalifah telah berijtihad. 2