Tentang ‘Awl

b. Tentang ‘Awl

‘Awl dalam terminologi fiqih adalah kelebihan saham warisan dari saham- saham yang telah ditentukan. Hal ini bisa terjadi bila salah satu suami dan istri bersama ahli waris yang lain.

Sebagai contoh, seorang meninggal dunia dengan meninggalkan dua anak perempuan, kedua orang tua, dan istri. Kedua anak perempuan itu mendapatkan saham dua pertiga, ayah dan ibunya memperoleh saham dua perenam, dan istrinya menerima saham seperdelapan. 2 Karena seluruh harta warisannya harus dibagi enam bagian, maka saham seperdelapan masih lebih atas saham-saham tersebut sesuai dengan hukum yang ada. Barang siapa meyakini konsep ‘awl, maka ia akan memasukkan kekura-ngan yang ada ke dalam saham-saham mereka seluruhnya, sebagaimana hal ini telah ditetapkan oleh mazhab Khulafâ’. Sedang dalam madrasah Ahlul Bait,

1 Keempat riwayat itu terdapat di dalam Al-Kâfî, jil. 7, hal. 112-113, hadis-hadis ke1,

2, 4, dan 6, At-Tahdzîb, jil. 9, hal. 309, dan Wasâ’il Asy-Syi‘ah, jil. 17, hal. 485-486. Qâsim bin Sulaiman adalah Al-Baghdâdî meriwayatkan hadis dari Imam Ash-Shâdiq as. Silakan merujuk Qâmûs Ar-Rijâl, jil. 7, hal. 360.

2 Nihâyah Al-Lughah, kata [ لوعلا].

B AB III: P ASAL K EEMPAT

kekurangan itu masuk ke dalam setiap saham yang tidak diturunkan oleh Allah ke dalam saham yang lain. Atas dasar ini, suami yang semestinya mendapatkan separuh harta warisan, jika ia harus turun dari sahamnya itu, maka sahamnya turun ke saham yang lebih rendah; yaitu seperempat, dan tidak ada suatu apa pun yang dapat menurun-kannya dari saham itu. Istri yang semestinya mendapatkan saham seperempat, jika ia harus turun dari sahamnya itu, maka ia mendapat saham seperdelapan dan tidak ada suatu apa pun yang dapat menurun-kannya saham itu. Salah seorang orang tua yang semestinya mendapatkan saham sepertiga, jika mereka harus turun dari saham itu, maka mereka akan mendapatkan saham seperenam dan tidak ada suatu apa pun yang dapat menurunkannya dari saham ini. Dan kekurangan saham warisan —setelah itu—tidak dimasukkan ke dalam saham mereka itu. Kekurangan ini hanya masuk ke dalam saham anak perempuan dan saudara perempuan, karena seorang dari mereka mendapatkan separuh harta warisan dan jika ia lebih dari satu orang, maka ia mendapatkan dua pertiga. Atas dasar ini, dalam contoh di atas, kedua orang tua mendapat saham dua perenam, istri mendapatkan seperdelapan, dan kedua anak perempuan itu memperoleh sisa harta warisan. 1

Berikut ini riwayat-riwayat Ahlul Bait as. tentang ‘awl:  Muhammad bin muslim, Fudhail bin Yasâr, Buraid Al-‘Ajalî, dan Zurârah bin A‘yun meriwayatkan dari Abi Ja‘far Al-Bâqir as. bahwa

beliau berkata: “Sesungguhnya saham warisan itu tidak bertambah (dari ketentuan yang telah ditentukan) dan tidak lebih dari enam saham.” 2

 Diriwayatkan dari Abu Maryam Al-Anshârî, dari Abu Ja‘far bahwa beliau berkata: “Sesungguhnya Dzat yang mengetahui padang pasir ‘Âlij pasti mengetahui bahwa saham harta warisan tidak akan bertambah (dari ketentuan yang telah ditentukan) dan tidak akan lebih dari enam saham.” 3

 Diriwayatkan dari Bukair, dari Abu Abdillah as. bahwa beliau berkata: “Asal muasal ketentuan harta warisan adalah enam saham, dan saham-saham ini tidak akan bertambah dari yang telah ditentukan itu. Kemudian, seluruh harta warisan setelah itu

1 Syarah Al- Lum‘ah Ad-Dimasyqiyah, jil. 8, hal. 86-91. 2 Al-Kâfî, jil. 7, hal. 80, hadis ke-1; Wasâ’il Asy-Syi‘ah, jil. 17, hal. 421, hadis ke-

32494. 3 Al-Kâfî, jil. 7, hal. 79, hadis ke-1; Wasâ’il Asy-Syi‘ah, jil. 17, hal. 422, hadis ke-

B AB III: P ASAL K EEMPAT 474

diperuntukkan kepada pada ahli waris yang telah disebutkan dalam kitab (Allah).” 1

 Diriwayatkan dari Ibn Abi ‘Umair, dari perawi yang lebih dari satu

orang, dari Abu Abdillah bahwa beliau berkata: “Saham-saham harta wari 2 san adalah enam saham dan tidak lebih dari itu ....”

 Diriwayatkan dari Ali bin Sa‘îd bahwa ia berkata: “Aku pernah

berkata kepada Zurârah, ‘Bukair bin A‘yun pernah memberitahukan kepadaku bahwa saham harta warisan tidak dapat bertambah dari saham-saham ya ng telah dipastikan dan tidak lebih dari enam saham.’ Zurârah berkata, ‘Para sahabat kita tidak pernah berbeda pendapat tentang masalah ini, dan hal itu diriwayatkan dari Abu Ja‘far dan Abu Abdillah.’” 3

Begitulah kedua imam tersebut menyebutkan hukum Allah dalam masalah ini tanpa mereka menyandarkannya kepada imam lain. Pada riwayat-riwayat berikut ini, kita mendapati mereka menyandarkan hukum tersebut kepada imam lain:

 Abu Bashîr berkata: “Aku pernah berkata kepada Abu Ja‘far, ‘Kadang- kadang saham-saham bertambah dari ketentuan yang telah dipastikan sehingga melebihi seratus saham, lebih sedikit atau lebih banyak.’ Beliau menjawab, ‘Saham harta warisan tidak melebihi enam saham.

Sesungguhnya Amirul Mukminin senantiasa berkata, ‘Sesungguhnya Dzat yang menge tahui unggukan pasir di daerah ‘Âlij mengetahui

bahwa saham-saham harta warisan tidak akan bertambah melebihi

1 Al-Kâfî, jil. 7, hal. 81, hadis ke-7; Wasâ’il Asy-Syi‘ah, jil. 17, hal. 422, hadis ke- 32500.

Bukair bin A‘yun Abul Jahm Asy-Syaibânî meriwayatkan hadis dari Imam Al-Bâqir dan Imam Ash-Shâdiq as. Ia meninggal dunia pada masa Imam Ash-Shâdiq as. Silakan Anda rujuk Qâmûs Ar-Rijâl, jil. 2, hal. 233.

2 Ma Lâ Yahdhuruhu Al-Faqîh, jil. 4, hal. 89, hadis ke-5. Hadis ini adalah hadis mursal ; Wasâ’il Asy-Syi‘ah, jil. 17, hal. 424, hadis ke-32505.

Ibn Abi ‘Umair Abu Ahmad Muhammad bin Ziyâd adalah pembesar Bani Azd. Ia meriwayatkan hadis dari Imam Ar-Ridhâ dan Imam Al-Jawâd as. Ia menulis buku sebanyak sembilan puluh empat kitab. Ia meninggal dunia pada tahun 217 Hijriah. Silakan Anda rujuk Qâmûs Ar-Rijâl, jil. 8, hal. 3-9.

3 Al-Kâfî, jil. 7, hal. 8, hadis ke-2; At-Tahdzîb, jil. 9, hal. 248, hadis ke-4; Wasâ’il Asy- Syi‘ah, jil. 17, hal. 421, hadis ke-32495.

B AB III: P ASAL K EEMPAT

enam saham. Seandainya mereka merenungkannya baik-baik, niscaya saham- 1 saham itu tidak akan melebihi enam saham.’”

 Diriwayatkan dari Bashîr, dari Abu Abdillah Ash-Shâdiq as. bahwa ia

berkata: “Beliau membacakan ketentuan saham warisan yang telah ditentukan oleh Ali as. Yang banyak terjadi adalah lima dan empat saham. Saham warisan yang paling banyak adalah enam saham.” 2

 Muhammad bin Muslim berkata: “Abu Ja‘far as. pernah membacakan

shahîfah yang berisi pembagian harta warisan yang telah didiktekan oleh Rasulullah saw. dan ditulis oleh Ali. Dalam kitab itu disebutkan

bahwa saham-saham harta warisan tidak akan bertambah dari saham- saham yang telah dite 3 ntukan.”

Dalam contoh kedua, kedua imam itu menegaskan dalam beberapa riwayat bahwa saham-saham harta warisan tidak akan bertambah dari saham-saham yang telah ditentukan dan tidak akan lebih dari enam saham, dan dalam sebuah riwayat darinya disebutkan: “Demi Dzat yang mengetahui unggukan pasir di daerah ‘Âlij mengetahui bahwa saham-saham harta warisan tidak akan bertambah dari saham- saham yang telah ditentukan.”

Dalam riwayat-riwayat tersebut, mereka menyebutkan hukum itu tanpa menyebutkan sandaran untuk itu sama sekali. Dalam hadis keenam, imam menyandarkan hukum itu kepada Amirul Mukminin. Pada hadis ketujuh, imam membacakan saham-saham harta warisan Imam Ali kepada perawi, dan pada hadis kedelapan, beliau membacakan shahîfah saham harta warisan kepada perawi di mana shahîfah itu itu adalah hasil dikte Rasulullah saw. dan tulisan tangan Ali. Hukum (saham warisan) dalam seluruh riwayat itu adalah satu.

Begitu juga halnya berkenaan dengan surat Imam Ar-Ridhâ as. kepada Al- Ma’mûn. Beliau menegaskan: “Ketentuan saham harta warisan telah

1 Al-Kâfî, jil. 7, hal. 97, hadis ke-2; Ma Lâ Yahdhuruhu Al-Faqîh, jil. 4, hal. 187, hadis ke-1; At-Tahdzîb, jil. 9, hal. 247, hadis ke-3; Wasâ’il Asy-Syi‘ah, jil. 17, hal. 423, hadis

ke-32509. 2 Al-Kâfî, jil. 7, hal. 81, hadis ke-6; Wasâ’il Asy-Syi‘ah, jil. 17, hal. 422, hadis ke-

32498. 3 A-Tahdzîb, jil. 9, hal. 247, hadis ke-3; Wasâ’il Asy-Syi‘ah, jil. 17, hal. 423, hadis ke-

B AB III: P ASAL K EEMPAT 476

ditentukan oleh Allah dalam kitab-Nya dan saham harta warisan itu tidak bertambah dari saham- 1 saham yang telah ditentukan.”

Begitu juga halnya berkenaan dengan selain kedua contoh tersebut di mana para imam telah menyebutkan hukum syar‘î dalam hadis-hadis mereka. Dalam semua itu, mereka merujuk kepada sabda kakek mereka yang “tidak berbicara atas dasar hawa nafsu, semua itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan”.

Dari sini, seluruh hadis para imam Ahlul Bait memiliki satu sanad; hadis mereka adalah satu hadis dan ucapan mereka adalah satu ucapan. Oleh karena itu, Imam Ash-Shâdiq as —sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Sinân —berkata: “Kamu tidak berdosa—berkenaan dengan ucapan yang telah kamu dengar dariku —untuk meriwayatkannya dari ayahku, dan kamu juga tidak berdosa —berkenaan dengan hadis yang telah kamu dengar dari ayahku —untuk meriwayatkannya dariku. Dalam hal ini, kamu tidak akan memiliki dosa sedikit pun.” 2

Ketika Abu Bashîr bertanya kepada beliau: “Aku mendengar hadis dari Anda, apakah aku dapat meriwayatkannya dari ayah Anda, atau aku

mendengar hadis dari ayah Anda, apakah aku dapat meriwayatkannya dari Anda?” Beliau menjawab: “Sama saja. Hanya saja, jika engkau meriwayatkannya dari ayahku, hal itu lebih aku sukai.” 3

Beliau p ernah berkata kepada Jamîl: “Hadis yang kau dengar dariku, riwayatkanlah dari ayahku.” 4

Atas dasar ini, ketika Hafsh bin Al- Bukhturî berkata: “Kami mendengar sebuah hadis dari Anda, dan aku tidak tahu apakah aku mendengarnya dari Anda (secara langsung) ata u dari ayah Anda.” Beliau menjawab: “Hadis yang kau dengar dariku, riwayatkanlah dari ayahku dan hadis yang kau dengar dariku, riwayatkanlah dari Rasulullah saw.” 5

1 ‘Uyûn Akhbâr Ar-Ridhâ, jil. 2, hal. 125; Tuhaf Al-‘Uqûl, karya Hasan bin Ali bin Syu‘bah Al-Harrânî, salah seorang ulama pada abad keempat Hjriah, cet. Maktabah

Bashîratî, Qom, hal. 314. Di dalam redaksinya, terdapat perbedaan sedikit; Wasâ’il Asy- Syi‘ah, jil. 17, hal. 424, hadis ke-32508.

2 Wasâ’il Asy-Syi‘ah, jil. 3, hal. 380, hadis ke-80. 3 Al-Kâfî, jil. 1, hal. 51. 4 Al-Kâfî, jil. 1, hal. 51.

Di kalangan para sahabat Imam Ash-Shâdiq as., Jamîl adalah lebih dari satu orang. 5 Wasâ’il Asy-Syi‘ah, jil. 3, hal. 380, hadis ke-86.

Hafsh bin Al-Bukhturî adalah seseorang yang berdomisili di Baghdad dan berasal dari Kufah. Ia meriwayatkan hadis dari Imam Ash-Shâdiq as. dan memiliki sebuah kitab. Silakan Anda rujuk Qâmûs Ar-Rijâl, jil. 3, hal. 355.

B AB III: P ASAL K EEMPAT

Oleh karena itu, beliau —sebagai diriwayatkan oleh Hisyâm bin Sâlim, Hammâd bin Utsman, dan selain mereka —berkata: “Hadisku adalah hadis ayahku, hadis ayahku adalah hadis kakekku, hadis kakekku adalah hadis Husain, hadis Husain adalah hadis Hasan, hadis Hasan adalah hadis Amirul Mukminin, hadis Amirul Mukminin adalah hadis Rasulullah saw., dan hadis Rasulullah saw. adalah firman Allah 1 ‘Azza Wajalla.”

Oleh sebab itu, ketika Jâbir pernah berkata kepada Imam Abu Ja‘far Al- Bâqir as.: “Jika Anda membacakan hadis kepadaku, maka sebutkanlah sanad- nya.” Beliau menjawab: “Ayahku memberikan hadis kepadaku dari kakekku, Rasulullah, dari Jibril, dari Allah ‘Azza Wajalla. Aku selalu mem- bacakan hadis kepadamu dengan sanad 2 tersebut ....”

Atas dasar ini, peristiwa berikut ini terjadi antara Sûrah bin Kulaib dan Zaid bin Ali bin Husain, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Kasyî dari Sûrah. Sûrah berkata: “Zaid bin Ali pernah berkata kepadaku, ‘Wahai Sûrah, bagaimana kamu mengetahui bahwa orang itu (yaitu Imam Ash- Shâdiq as) sesuai dengan apa yang kamu katakan?’ Aku menjawab, ‘Aku mengetahuinya dari orang yang tahu ma salah.’ Ia berkata, ‘Ceritakan.’ Aku berkata, ‘Kami sering mendatangi saudaramu, Muhammad bin Ali as. dan ia selalu berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda dan Allah ‘Azza Wajalla ber- firman di dalam kitab- Nya.’ Hal itu berlanjut hingg saudaramu meninggal dunia. Lalu kami mendatangi kamu semua, keluarga Muhammad dan engkau adalah salah seorang yang kami datangi, dan kamu hanya memberitahukan sebagian jawaban kepada kami dan tidak memberi- tahukan seluruh jawaban yang kami pertanyakan. Sehingga ketika kami mendata ngi keponakanmu, Ja‘far, ia berkata kepada kami seperti yang dikatakan oleh ayahnya, ‘Rasulullah saw. bersabda dan Allah berfirman.’ Zaid tersenyum seraya berkata, ‘Demi Allah, jika engkau berkata demikian, ketahuilah bahwa kitab- 3 kitab Ali ada di sisinya.’”

Oleh karena itu, Ibn Syabramah berkata: “Aku tidak menyebutkan sebuah hadis yang pernah kudengar dari Ja‘far bin Muhammad kecuali hatinya (seakan- akan) terbelah seraya berkata, ‘Ayahku membacakan hadis kepadaku, dari kakekku, dari Rasulullah.’ Aku bersumpah demi Allah,

1 Al-Kâfî, jil. 1, hal. 53; Al-Irsyâd, karya Syaikh Mufîd, hal. 257. Hisyâm bin Sâlim adalah Abu Muhammad Al-Jawâlîqî Al- Ju‘fî dan berasal dari

Kufah. Ia meriwayatkan dari Imam Ash-Shâdiq as. dan memiliki sebuah kitab. Silakan Anda rujuk Qâmûs Ar-Rijâl, jil. 9, hal. 357.

2 Amâlî Syaikh Mufîd, hal. 26. 3 Ikhtiyâr Ma‘rifah Rijâl Al-Kasyî, hal. 376, biografi Saurah bin Kulaib.

B AB III: P ASAL K EEMPAT 478

ayahnya tidak berbohong kepada kakeknya dan kakeknya tidak juga berbohong kepada Rasulullah. Rasulullah saw. bersabda, ‘Barang siapa mengamalkan qiyâs, maka ia telah celaka dan mencelakan (orang lain). Barang siapa mengeluarkan fatwa tanpa ilmu, sedangkan ia tidak mengetahui mana ayat yang nâsikh dan mana ayat yang mansûkh, mana ayat yang muhkam dan mana ayat yang mutasyâbih, maka ia telah celaka dan mencelakakan (orang lain).’” 1

Karena para imam Ahlul Bait bersandarkan kepada firman Allah dan sabda Rasulullah saw. dalam menjelaskan hukum Islam dan para ulama mazhab Khulafâ’ bersandarkan kepada ra’y dan qiyâs, maka dapat di-pastikan terjadinya perbedaan pendapat antara kedua mazhab dalam menjelaskan hukum-hukum Islam, seperti dapat kita lihat contohnya dalam hadis berikut:

‘Adzâfir Ash-Shairafî meriwayatkan: “Aku bersama Hakam bin ‘Utaibah berada di sisi Abu Ja‘far as. Ia mulai melontarkan beberapa pertanyaan. Abu Ja‘far sangat menghormatinya. Mereka berbeda pendapat dalam sebuah masalah. Abu Ja‘far as. berkata, ‘Wahai anakku, berdirilah dan keluarkanlah kitab besar yang tergulung itu.’ Beliau membuka-bukanya sehingga menemukan masalah tersebut. Beliau berkata, ‘Ini adalah tulisan tangan Ali dan dikte Rasulullah saw.’ Beliau kembali menjumpai Hakam dan berkata, ‘Wahai Abu Muhammad, pergilah engkau, Salamah, dan Abul Miqdâm ke manapun kamu kehendaki, ke arah kiri maupun ke arah kanan. Demi Allah, kamu tidak akan menemukan ilmu yang lebih terpercaya daripada ilmu suatu kaum yang selalu diatangi o 2 leh malaikat Jibril.’”

1 Al-Kâfî, jil. 1, hal. 43. 2 Rijâl An-Najâsyî, hal. 279.

‘Adzâfir bin Isa Al-Khuza‘î Ash-Shairafî meriwayatkan hadis dari Imam Ash-Shâdiq as. Silakan Anda rujuk Qâmûs Ar-Rijâl, jil. 6, hal. 295. Hakam bin ‘Utaibah Al-Kûfî Al-Kindî meriwayatkan hadis dari Imam Al-Bâqir dan Imam Ash-Shâdiq as. Ia meninggal dunia pada tahun 112, 113, 114, atau 115 Hijriah. Silakan Anda rujuk Qâmûs Ar-Rijâl, jil. 3, hal. 375. Abu Muhammad meninggal dunia dalam usia 60-an lebih. Para penulis kitab Shihâh meriwayatkan hadisnya. Silakan Anda rujuk At-Tahdzîb, jil. 1, hal. 192. Salamah bin Kuhail Abu Yahya Al-Hadhramî Al-Kûfî pernah hidup semasa dengan Imam Al-Bâqir dan Imam Ash-Shâdiq as. Silakan merujuk Qâmûs Ar-Rijâl, jil., 4, hal.439. Abul Miqdâm Tsâbit bin Hurmuz Al-Haddâd Al-Fârisî Al- ‘Ajalî pernah hidup semasa dengan Imam Al-Bâqir dan Ash-Shâdiq as. Ia dan Salamah adalah pengikut aliran Al- Batriyah yang mengajak kepada wilâyah Ali dan mencampuradukkannya dengan wilâyah Abu Bakar dan Umar. Mereka menetapkan imâmah mereka berdua dan

B AB III: P ASAL K EEMPAT

Para imam Ahlul Bait as. tidak memiliki kesempatan untuk menam- pilkan hukum-hukum Islam yang ada di sisi mereka yang telah mereka dapatkan dari Rasulullah, berbeda dengan para pengikut mazhab Khulafâ’.

Abu Abdillah Ash-Shâdiq as. be rkata: “Ayahku selalu berfatwa tentang ke-boleh-an buruan yang telah diburu oleh burung elang. Hal itu karena ia selalu ber-taqiyah dan kami dalam kondisi takut. Adapun sekarang, kami tidak dalam kondisi takut dan tidak membolehkan memburu buruan tersebut kecuali jika sempat disembelih. Karena dalam kitab Ali as. disebutkan bahwa Allah ‘Azza Wajalla berfirman, ‘Dan anjing-anjing pemburu yang 1 telah kamu ajari’ berkenaan dengan masalah anjing.”