Ummul Mukminin ‘Aisyah

e. Ummul Mukminin ‘Aisyah

Ketika menjawab kritikan ‘Allâmah Al-Hillî 3 terhadap ‘Aisyah, Ibn Taimiyah berkata: “Adapun tentang kritikannya yang menegaskan bahwa

‘Aisyah telah menentang firman, ‘Diamlah kamu di rumah-rumah kamu dan janganlah kamu bersolek sebagaimana [kaum] Jahiliyah bersolek’, ia ra. tidak

bersolek sebagaimana (kaum) Jahiliyah pertama bersolek, dan perintah untuk diam di rumah itu tidak bertentangan dengan keluar darinya jika hal itu untuk sebuah kemaslahatan ... Jika pepergian kaum wanita diperbolehkan untuk ‘Aisyah, ia meyakini bahwa pepergian itu mengan- dung kemaslahatan untuk seluruh muslimin. Lalu ia melakukan takwil dalam hal ini ... Seorang mujtahid yang bersalah, kesalahannya akan dimaafkan. Dengan demikian, pemaafan bagi ‘Aisyah karena ia tidak tinggal di rumahnya adalah lebih berhak untuk diberikan kepadanya jika ia telah berijtihad dalam hal ini. Dengan jawaban-jawaban itu, seluruh kritikan yang tertuju kepada keluarnya ‘Aisyah ra. dari rumahnya dapat terjawab. Dan jika seorang mujtahid telah salah, maka kesalahannya akan diampuni berdasarkan kitab dan sunah.” 4

Ketika ingin mencarikan uzur bagi ‘Aisyah, Al-Qurthubî berkata: “Ia adalah seorang mujtahid yang selalu benar dan berhak mendapatkan pahala atas takwil dan tindakannya itu, karena setiap orang yang berijtihad di dalam hukum pasti mencapai kebenaran.” 5

1 Ibid., hal. 112. 2 Ibid., hal. 113.

3 ‘Allâmah Abu Manshûr Jamâluddîn Hasan bin Yusuf bin Muthahhar Al-Hillî (647- 726 H.). Di antara karya-karyanya adalah buku Minhâj Al-Karâmah. Ibn Taimiyah

telah menjawab buku ini dan memberinya judul Minhâj As-Sunah. Dalam pembahasan kita ini, kami merujuk kepada cet. Al-Amîriyah, Mesir, tahun 1322 H.

4 Minhâj As-Sunah, karya Ibn Taimiyah, jil. 3, hal. 190. 5 Tafsir Al-Qurthubî , jil. 14, hal. 182, tafsir ayat: “Wa lâ tabarrajna.”

88 B AB III: P ASAL K ETIGA

f. 1 Mujtahid dan Alim yang tak Tertandingi; Mu‘âwiyah bin Abu

Sufyân dan ‘Amr bin ‘Âsh Mu‘âwiyah

Dalam Al-Fashl-nya, Ibn Hazm berkata —yang ringkasnya: “Sesungguhnya Mu‘âwiyah dan orang-orang yang bersamanya telah bersalah, berijtihad, dan berhak mendapatkan satu pahala.” 2

Ia berkata: “Mu‘âwiyah—semoga Allah meridainya—telah bersalah dan mendapatkan satu pahala, karena ia telah berijtihad." 3

Pada suatu kesempatan yang lain, ia menjelaskan tentang Mu‘âwiyah dan ‘Am bin ‘Âsh seraya berkata: “Mereka berijtihad dalam masalah darah sebagaimana para mufti berijtihad. Di antara mereka ada yang berpen-dapat bahwa seorang penyihir harus dibunuh dan di antara mereka juga ada orang yang tidak berpendapat demikian. Dengan demikian, apakah ada perbedaan antara seluruh ijtihad (para mufti) tersebut dan ijtihad yang telah dil akukan oleh Mu‘âwiyah, ‘Amr, dan selain mereka seandainya bukan karena kebodohan, kebutaan, dan pencampuradukan tanpa pengetahuan (yang melihat perbedaan di antara kedua jenis ijtihad itu)?!” 4

Ibn Taimiyah telah mencarikan alasan untuk Mu‘âwiyah atas segala tindakan yang telah dilakukan bahwa ia telah berijtihad. Ia berkata: “Dalam

hal ini, ia tidak berbeda dengan Ali bin Abi Thalib.” 5 Ibn Katsîr berkata: “Mu‘âwiyah adalah seorang mujtahid yang berhak

mendapatkan pahala, insyâ-Allah 6 .” Setelah memaparkan kisah arbitrasi (tahkîm ) antara ‘Amr dan Abu

Mûsâ, ia berkata: “’Amr bin ‘Âsh menetapkan Mu‘âwiyah (sebagai khalifah) lantaran tuntutan kemaslahatan yang diyakininya, dan ijtihad bisa salah dan bisa juga benar.” 7

1 Ibn Hajar Al- Haitsamî menyifati Mu‘âwiyah dengan ungkapan tersebut dalam bukunya, Tathhîr Al-Lisân, hal. 22.

2 Al-Fashl fî Al-Milal wa Al- Ahwâ’ wa An-Nihal., karya Au Muhammad Ali bin Hazm Al-Andalûsî Azh-Zhâhirî (wafat 456 H.), cet. Mesir Ahmad Nâjî Al-Jamâlî dan

Muhammad Amîn Al-Khânijî, tahun 1321 H. dan di dalam catatan kakinya terdapat Al-Milal wa An-Ni hal., karya Asy-Syahrastanî. Silakan Anda rujuk Al-Fashl, jil. 4, hal. 161.

3 Al-Fashl, karya Ibn Hazm, jil. 4, hal. 89. 4 Ibid., hal. 160. 5 Minhâj As-Sunah, jil. 3, hal. 261, 275-276, 284, dan 288-289. 6 Târîkh Ibn Katsîr, jil. 7, hal. 279. 7 Ibid., hal. 283.

B AB III: P ASAL K ETIGA 89

Di dalam Ash- Shawâ‘iq-nya, Ibn Hajar Al-Haitsmî berkata: “Dan di antara keyakinan Ahli Sunah wal Jamaah juga adalah, bahwa Mu‘âwiyah

bukanlah seorang khalifah (muslimin) pada masa Ali berkuasa. Ia hanyalah seorang raja, dan karena ijtihadnya ia berhak mendapatkan satu pahala. Adapun Ali, ia berhak mendapatkan dua pahala; satu pahala karena ijtihadnya dan satu pahala lagi lantaran kebenaran ijtihadnya tersebut … ....” 1

Dalam bukunya yang lain, Tathhîr Al-Jinân wa Al-Lisân ‘an Al-Khuthûr wa At-Tafawwuh bi Tsalbi Sayidinâ Mu‘âwiyah bin Abi Sufyân, Ibn Hajar berkata: “Mu‘âwiyah berhak mendapatkan pahala karena ijtihadnya lantaran hadis yang menegaskan, ‘Jika seorang mujtahid berijtihad dan ia benar dalam ijtihadnya itu, maka ia berhak mendapatkan dua pahala, dan jika ia berijtihad dan salah dalam ijtihadnya itu, maka ia berhak mendapatkan satu pahala.’ Dan Mu‘âwiyah—tidak diragukan lagi—adalah seorang mujtahid. Jika ia salah dalam seluruh ijtihadnya itu, maka ia masih berhak mendapatkan pahala, dan kesalahan itu bukanlah sebuah kekurangan baginya.” 2

Setelah itu, ia membuka sebuah bab yang panjang demi mem-buktikan ijtihad Mu‘âwiyah. 3

Ketika menakwilkan arti Al-bâghî (pembangkang, orang yang lalim) di dalam Ash- Shawâ‘iq-nya, ia berkata: “Dalam buku Al-Anwâr, salah satu buku para imam kita yang hidup pada masa sekarang ini disebutkan bahwa Al- bâghûn (para pembangkang, orang-orang lalim) tidak fasik dan tidak juga Al- Kâfî r. Akan tetapi, mereka adalah orang-orang yang bersalah dalam tindakan yang telah dilakukan dan dalam keyakinan yang telah dianut, dan tidak bo leh kita mencela Mu‘âwiyah, karena ia adalah salah seorang sahabat besar.” 4

Di dalam catatannya atas buku Tathhîr Al-Jinân, setelah menukil dari kitab Dirâsât Al-Labîb bahwa banyak sahabat yang menentang Mu‘âwiyah berkenaan dengan hal- hal baru (bid‘ah) yang telah dilakukan olehnya, Syaikh Abdul Wahhâb Abdul Lathîf berkomentar: “Sebagai contoh atas itu semua, peristiwa dan fatwa-fatwa yang sangat banyak yang sumber utamanya adalah perbedaan pendapat yang biasa terjadi di kalangan para mujtahid

1 Ash- Shawâ‘iq Al-Muhriqah, karya Ibn Hajar, hal. 216. 2 Tathhîr Al-Jinân, karya Ibn Hajar, hal. 15. 3 Ibid., hal. 19-22. 4 Ash- Shawâ‘iq Al-Muhriqah, karya Ibn Hajar, hal. 221.

90 B AB III: P ASAL K ETIGA

atau ketidaktahuan tentang adanya nas. Dan hal-hal yang serupa dengan ini juga terjadi di kalangan sahabat dan selain mereka. Oleh karena itu, kesalahan- kesalahan itu tidak mengeluarkan Mu‘âwiyah dari barisan para mujtahid.” 1