Dua Bejana yang Berisi Warisan Para Imam

d. Dua Bejana yang Berisi Warisan Para Imam

Dalam Al-Kâfî dan Bashâ’ir Ad-Darajât, Husain bin Abi Al-‘Alâ’ berkata: “Aku pernah mendengar Abu Abdillah as. berkata, ‘Aku memiliki Al-Jafr

yang berwarna putih.’

1 Ushûl Al-Kâfî, jil. 1, hal. 240 hadis ke-2. Hammâd bin Zaid bin ‘Aqâl Al-Hâritsî meriwayatkan dari Imam Ash-Shâdiq.

2 Ushûl Al-Kâfî, jil. 1, hal. 241 hadis ke 5, Bashâ’ir Ad-Darajât, hal. 153, Al-Wâfî, jil. 2, hal. 135.

B AB III: P ASAL K EEMPAT 434

Husain ber tanya, ‘Apa isinya?’ Beliau menjawab, ‘Zabur Dâwûd, Taurat Mûsâ, Injil Isa, kitab-kitab

Nabi Ibrahim, segala yang halal dan yang haram, dan mushaf Fathimah. Aku tidak mengira kalau di dalamnya terdapat Al- Qur’an. Di dalamnya terdapat segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia kepada kami dan kami tidak membutuhkan seorang pun. Di dalam Al-Jafr itu juga terdapat hukum cambuk, separuh cambuk, seperempat cambuk, dan hukum untuk luka-luka yang sepele. Aku juga memiliki Al-Jafr yang berwarna merah.’

Husain bert anya lagi, ‘Apa isi Al-Jafr tersebut?’ Beliau menjawab: ‘Senjata ....’” 1

Maksud Imam Abu Abdillah dari ucapan “di dalamnya terdapat apa yang dibutuhkan manusia kepada kita” adalah di dalam Al-Jafr itu terdapat kitab Imam Ali, dan di dalam kita Ali ini terdapat segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umat manusia.

Diriwayatkan dari Abu Hamzah bahwa Abu Abdillah as. berkata: “Mushaf Fathimah bukanlah Al-Qur’an. Mushaf itu adalah hal-hal yang diterima beliau setelah kewafatan ayahanda beliau saw.” 2

Dalam sebuah ri wayat Imam Abu Abdillah juga berkata: “Aku memiliki mushaf Fathimah yang di sana tidak ada satu ayat pun dari Al- Qur’an.” 3

Imam Ash-Shâdiq as. menekankan dalam setiap hadis beliau bahwa mushaf Fathimah tidak mengandung ayat Al- Qur’an. Tujuan beliau adalah supaya umat manusia tidak bingung dengan ungkapan mushaf, seperti yang telah terjadi pada sebagian orang di zaman kita ini.

Dalam Bashâ’ir Ad-Darajât disebutkan bahwa Ali bin Sa‘îd berkata: “Aku duduk di sisi Abu Abdillah Ash-Shâdiq as. bersama beberapa sahabat. Mu‘allâ bin Khunais berkata kepada beliau, ‘Semoga aku menjadi tebusan Anda! Apa yang telah Anda peroleh dari Hasan bin Hasan?’

1 Ushûl Al-Kâfî, jil. 1, hal. 240, hadis ke-3; Bashâ’ir Ad-Darajât, hal. 150-151; Al- Irsyâd , karya Syaikh Mufîd, hal. 257 dengan sedikit perbedaan redaksi.

Husain bin Abi Al- ‘Alâ’ ini juga meriwayatkan hadis dari Imam Ash-Shâdiq. Silakan Anda lihat Qâmûs Ar-Rijâl, jil. 3, hal. 262

2 Bashâ’ir Ad-Darajât, hal. 159. 3 Bashâ’ir Ad-Darajât, hal. 154.

Abu Hamzah Ats-Tsumâlî, Tsâbit bin Abi Shafiah dinar memiliki sebuah kitab. Dia meriwayatkan dari Imam Ali bin Husain, Imam Al-Bâqir, dan Imam Ash-Shâdiq. Silakan Anda rujuk Qâmûs Ar-Rijâl, jil. 2, hal. 270 dan jil. 10, hal. 53.

B AB III: P ASAL K EEMPAT

Tak lama kemudian Ath- Thayyâr berkata juga, ‘Semoga aku menjadi tebusan Anda! Saat aku berjalan di sebuah gang, aku bertemu dengan Muhammad bin Abdillah bin Hasan bin Himâr sedang ia dikelilingi oleh beberapa orang pengikut Zaidiyah —hingga ucapan Imam Abu Abdillah— adapun tentang Al-Jafr, Al-Jafr itu adalah sebuah kulit dari sapi yang telah disamak seperti kantong air. Di dalamnya terdapat kitab dan ilmu yang dibutuhkan oleh umat manusia hingga Hari Kiamat kelak dari hal-hal yang halal dan yang haram. Al-Jafr ini adalah dikte Rasulullah saw. yang ditulis oleh Ali dengan tangannya sendiri. Di dalam Al-Jafr itu juga terdapat mushaf Fathimah. Tidak satu ayat pun dari Al- Qur’an yang terdapat dalam mushaf ini. Aku juga memiliki cincin Rasulullah, baju besi, pedang, dan bendera beliau. Aku memiliki Al-Jafr meskipun orang-orang menging- 1 kari.’”

Hadis ini diriwayatkan melalui dua sanad dan kami telah menye- butkan sanad yang paling lengkap. 2

Seluruh sumber ilmu madrasah Ahlul Bait as. yang telah kami sebutkan di sini bukan berarti bahwa sumber ilmu para imam Ahlul Bait hanya terbatas pada sumber-sumber tersebut. Akan tetapi semua itu merupakan manifestasi dari kaidah “penetapan sesuatu bukan berarti meniadakan yang lainnya”. Imam Mûsâ bin Ja‘far pernah berkata: “Sesungguhnya jarak pandang ilmu kami ada tiga: mâdhî, ghâbir, dan hâdits. Mâdhî berarti ilmu yang telah ditafsirkan, ghâbir berarti mazbûr (ilmu tertulis), dan hâdits berarti ilham dalam kalbu dan ilmu yang diper-dengarkan di telinga. Dan ini (hâdits) adalah ilmu kami yang paling utama dan tidak ada nabi setelah Nabi kita.” 3