Nikah Mut‘ah dalam Buku-Buku Referensi Mazhab Khulafâ’

6.2.1. Nikah Mut‘ah dalam Buku-Buku Referensi Mazhab Khulafâ’

Dalam Tafsir Al-Qurthubî disebutkan: “Para ulama, baik dari kalangan ulama terdahulu maupun terakhir, tidak berbeda pendapat bahwa mut‘ah adalah sebuah pernikahan hingga beberapa masa yang tidak mengandung hak waris-mewarisi, dan perpisahan (antara suami dan istri) terjadi ketika masa pernikahan habis tanpa harus ada (akad) talak. Ibn ‘Athiyah berkata, ‘Nikah mut‘ah adalah seorang lelaki menikahi seorang wanita dengan (disaksikan oleh) dua orang saksi dan izin wali hingga masa yang telah ditentukan dengan syarat tidak ada hak waris-mewarisi antara suami-istri dan suami menyerahkan kepada wanita itu mahar yang telah disepakati bersama. Jika masa itu telah usai, maka wanita itu harus berpisah dari suaminya dan ia juga harus membersihkan rahimnya (dengan menjalani masa ‘iddah), karena anak (yang ada di dalam rahimnya) —tanpa keraguan—diikutkan kepada suami. 1 Jika ia tidak hamil, maka ia dihalalkan bagi lelaki lain.’”

Dalam Shahîh Al-Bukhârî, diriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersab

da: “Jika seorang lelaki dan wanita bersepakat (untuk menikah), maka sepuluh (masa yang telah disepakati oleh) mereka berdua

adalah tiga malam. Jika mereka berdua masih menginginkan, maka mereka dapat menambah (masa nikah) atau berpisah.” 2

Dalam Al-Mushannaf, Abdurrazzâq meriwayatkan dari Jâbir bahwa ia berkata: “Jika masa (nikah) telah habis dan mereka berdua masih ingin melanjutkan, maka suami harus memberikan mahar lain kepada wanita itu.” Jâbir ditanya: “Berapa lama ia harus menjaga ‘iddah?” Ia menjawab: “Sekali masa haidh. Para wanita harus melalui masa ini bagi orang yang telah melakukan nikah mut‘ah dengan mereka.” 3

Dalam Tafsir Al-Qurthubî, diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ia berkata: “‘Iddah wanita (yang telah melakukan nikah mut‘ah) adalah sekali

masa haidh. Suami dan istri ini tidak saling mewarisi.” 4

1 Tafsir Al-Qurthubî, jil. 5, hal. 132. 2 Shahîh Al-Bukhârî, bab Nahy Rasulillah ‘an Nikâh Al-Mut‘ah Akhîran, jil. 3, hal.

164. 3 Al-Mushannaf, karya Abdurrazzâq, bab Al- Mut‘ah, jil. 7, hal. 499.

4 Tafsir Al-Qurthubî, jil. 5, hal. 132; Tafsir An-Nîsyâbûrî, jil. 5, hal. 17.

B AB III: P ASAL K ETIGA 333

Dalam Tafsir Ath-Thabarî, diriwayatkan dari As- Suddî: “(Firman Allah yang berbunyi), ‘Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya [secara sempurna] sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagimu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya sesudah menentukan maha itu’ (QS. An-Nisâ’ [4]:24) berkenaan dengan nikah mut‘ah. Yaitu, seorang lelaki menikahi seorang wanita dengan syarat hingga masa tertentu, mempersaksikan dua orang saksi, dan menikahinya dengan izin walinya. Jika masa itu telah usai, maka suami tidak memiliki hak lagi atas wanita itu dan wanita itu terbebaskan dari suaminya. Ia harus membersihkan rahimnya (dengan menjalani masa ‘iddah) dan tidak ada hak waris-mewarisi di antara mereka berdua; setiap orang dari mereka berdua tidak dapat mewarisi yang lain.” 1

Dalam Tafsir Al-Kasysyâf, karya Az- Zamakhsyarî disebutkan: “Menurut sebuah riwayat, ayat ini turun berkenaan dengan nikah mut‘ah yang

sebelumnya berlangsung selama tiga hari sehingga Allah menaklukkan kota Mekkah untuk Rasul-Nya. Setelah itu, ayat ini di-nasakh. Pada waktu itu, seorang lelaki menikahi seorang wanita dalam masa tertentu; semalam, dua malam, atau satu minggu dengan mahar sehelai pakaian atau selainnya dan ia memenuhi hajatnya. Setelah itu, ia menceraikan istrinya itu. Nikah ini dinamakan dengan nikah mut‘ah karena sang suami dapat menikmati istrinya atau karena suami memberikan kesenangan kepadanya dengan mahar yang 2 diberikan kepadanya ....”

Begitulah definisi nikah mut‘ah dipaparkan dalam buku-buku referensi mazhab Khulafâ’. Definisi nikah mut‘ah di dalam fiqih mazhab Ahlul Bait as. akan dijelaskan pada pembahasan berikut ini.