Hadis yang Memerintahkan Ikut Sunah Khulafâ’ Râsyidîn

6.1.8. Hadis yang Memerintahkan Ikut Sunah Khulafâ’ Râsyidîn

Dari pembahasan yang telah kami paparkan itu, kita dapat meyakini bahwa hadis masyhur yang menegaskan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Berpegang teguhlah kepada sunahku dan sunah Khulafâ’ur Râsyidîn yang telah mendapatkan petunjuk; gigitlah sunah itu dengan gigi gerahammu” 1 tidak mungkin dapat dikategorikan sebagai hadis sahih, meskipun hadis ini termaktub di dalam kitab-kitab Shihâh dan Musnad yang terdapat di kalangan ma zhab Khulafâ’. Hal itu dikarenakan kami menemukan bebe-

1 Musnad Ahmad, jil. 4, hal. 126 dan 127; Sunan Ad-Dârimî, bab Ittibâ‘ As-Sunah, jil. 1, hal. 44-45; Sunan Ibn Mâjah, Al-Muqadimah, bab Sunan Ittibâ‘ Sunah Al-Khulafâ’

Ar-Râsyidîn Al-Mahdiyyîn , jil. 1, hal. 15-16; Sunan Abi Dâwûd, kitab As-Sunah, bab Luzûm As-Sunah , hadis ke-4607; Sunan At-Tirmidzî, kitab Al- ‘Ilm, bab Mâ Jâ’a fî Al- Akhdz bi As-Sunah wa Ijtinâb Al- Bid‘ah, jil. 10, hal. 144-145. Keempat kitab yang telah disebutkan setelah Musnad Ahmad tersebut termasuk Kitab Enam Shahîh yang terdapat di kalangan mazhab Khilâfah.

B AB III: P ASAL K ETIGA 319

rapa sunah Khulafâ’ur Râsyidîn itu yang bertentangan sunah Rasulullah saw., dan beliau tidak memerintahkan mengamalkan sesuatu yang bertentangan dengan sunah beliau sendiri. Dan juga dikarenakan hadis itu memiliki kelemahan-kelemahan lain yang akan kami sebutkan pada pembahasan berikut ini

Di samping kelemahan yang telah kami sebutkan itu, kami juga menemukan kelemahan-kelemahan lain di dalam hadis yang telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. tersebut berikut ini:

a. Telah kita pahami bersama di dalam pembahasan istilah imâmah dan khilâfah yang terdapat di dalam jilid pertama buku ini bahwa kata ‘khalifah’ tidak dipakai dalam arti pemimpin tertinggi Islam di dalam Al- Qur’an, hadis Nabi saw., dan dialog muslimin pada era Islam pertama hingga era kepemimpinan Khalifah Kedua, sebagaimana kata itu dipahami demikian pada era-era Islam belakangan ini. Di dalam Al- Qur’an, hadis Nabi, dan dialog muslimin hingga era kepemim-pinan Khalifah Umar, kata ini digunakan dalam arti leksikalnya dan maksudnya adalah pengganti seseorang yang disebutkan di dalam susunan percakapan dan kata itu disandarkan kepadanya.

Atas dasar ini, jika kita menemukan kata ‘khalifah’ dengan arti pemimpin Islam tertinggi di dalam sebuah hadis yang dinisbatkan

kepada Rasulullah saw. atau salah seorang yang hidup pada masa itu, kita yakin bahwa hadis itu tidak benar.

Begitu juga, karena pemberian gelar râsyidîn kepada keempat khalifah pertama itu terjadi setelah berkuasanya para khalifah diktator dari kalangan dinasti Bani Umaiyah dan Abbasiyah, dari sini kita dapat memahami bahwa setiap hadis yang menyifati keempat khalifah itu dengan râsyidîn dibuat pasca periode keempat khalifah pertama itu.

b. Hadis ini menegaskan bahwa Rasulullah saw. menjadikan sunah Khulafâ’ur Râsyidîn sebagai salah satu sumber syariat Islam, sejajar dengan kitab Allah dan sunah Rasul-Nya. Dan hal ini sangat tidak

mungkin dilakukan oleh Rasulullah saw.

c. Seandainya Rasulullah saw. memerintahkan kita untuk mengikuti sunah Khulafâ’ur Râsyidîn, ini berarti bahwa beliau telah memerin- tahkan dua hal yang saling kontradiktif. Hal ini dikarenakan di kalangan mereka terdapat Imam Ali dan beliau telah menentang Khalifah Umar dan Khalifah Utsman dalam masalah umrah Tamatu‘. Malah beliau melakukannya dan menganjurkan orang lain untuk

B AB III: P ASAL K ETIGA

melakukannya. Atas dasar ini, Rasulullah saw. telah memerintahkan untuk mengerjakan sebuah pekerjaan dan pada saat yang sama melarang untuk mengerjakannya. Dan hal ini tidak mungkin beliau lakukan.

Karena kelemahan-kelemahan yang telah kami sebutkan itu, kami yakin bahwa hadis ini termasuk salah satu hadis utama yang dipalsukan dengan tujuan untuk mem-backing politik Khulafâ’ur Râsyidîn.

Karena para khalifah pertama hingga masa kekuasaan Mu‘âwiyah dan Abdullah bin Zubair adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw. dan mereka-lah figur-figur yang ijtihad mereka diperselisihkan oleh para ulama dengan perselisihan yang sangat dahsyat, maka klaim yang diutarakan oleh para pengikut mazhab Khulafâ’ berkenaan dengan hak para sahabat bahwa setiap individu dari mereka tidak layak diragukan dan kita dibenarkan untuk mengambil hukum Islam dari seluruh mereka —seperti telah dipaparkan pada pembahasan keadilan sahabat pada jilid pertama buku ini —tidak dapat dibenarkan.

Dengan mempelajari kisah umrah Tamatu‘ antara pandangan Utsman dan Imam Ali, jelaslah bagi kita bahwa para imam Ahlul Bait menyuruh kita untuk mengikuti sunah Rasulullah saw. dan berusaha sekuat tenaga dalam memperjuangkan misi ini, serta memerintahkan para pengikut mazhab mereka dengan itu. Dan dari kisah yang pernah terjadi antara Ibn Abbas dan Ibn Zubair dalam masalah ini, kita dapatkan —misalnya—sebuah contoh pertikaian dan pertengkaran yang terjadi antara mazhab Ahlul Bait dan mazhab Khulafâ’, dan pertikaian mereka ini disebabkan oleh kekonsekuenan mazhab Ahlul Bait dalam mengikuti sunah Rasulullah saw. dan tindakan mazhab Khulafâ’ untuk mengamalkan ijtihad mereka bertentangan dengan sunah Rasulullah saw.

Dari pembahasan-pembahasan yang telah lalu kita memahami bagaimana terbentuk dua mazhab di dalam tubuh agama Islam: satu mazhab yang ingin memelihara sunah Rasulullah saw. dan menggigitnya dengan gigi geraham. Mazhab ini berpendapat tak seorang pun berhak untuk melakukan itjihad di hadapan sunah Rasulullah saw., dan ia berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan keyakinan ini. Mazhab ini disebut dengan nama mazhab Ahlul Bait. Dan mazhab yang lain adalah mazhab yang selalu mengutamakan ijtihad. Ia berpendapat para khalifah dan pihak penguasa dari kalangan sahabat berhak melakukan ijtihad di hadapan

B AB III: P ASAL K ETIGA 321

sunah Rasulullah saw., dan ia menggigit sunah-sunah para khalifah dan pihak penguasa tersebut dengan gigi geraham. Mazhab ini disebut dengan mazhab Khulafâ’.

Karena pertikaian tentang sunah Rasulullah saw. telah berjalan di tengah kedua mazhab ini (dari semenjak dahulu), demi menyucikan sunah beliau dan mengetahui jalan-jalan untuk menemukan sunah-sunah beliau yang benar, baik berupa sirah maupun hadis, yang tidak tercemari oleh ijtihad-ijtihad para mujtahid, memang sudah selayaknya kita membuka pasal-pasal buku ini serta buku dan pembahasan-pembahasan lainnya yang pernah kami luntarkan selama empat puluh tahun. Allah-lah saksi dan tempat menyerahkan diri atas apa yang telah kuutarakan ini.

Dengan demikian, mereka yang memiliki pendapat yang berbeda dengan kami hendaknya memaafkan kami.