Abul Ghâdiyat, Si Pembunuh ‘Ammâr

g. Abul Ghâdiyat, Si Pembunuh ‘Ammâr

Di dalam Al-Fashl- nya, Ibn Hazm berkata: “Dan ‘Ammâr telah dibunuh oleh Abul Ghâdiyat Yasâr bin Sabu‘ As-Sullamî. Ia pernah mengikuti baiat Ridhwân. Ia adalah salah seorang saksi Allah lantaran Dia mengetahui segala yang ada di kalbunya, menurunkan ketenangan atasnya, dan rida atasnya. Adapun Abul Ghâdiyat, ia telah melakukan takwil, berijtihad, salah dalam ijtihadnya, berbuat kezaliman atasnya, dan masih berhak mendapatkan satu pahala. Dan hal ini tidak sama dengan para pembunuh Utsman, karena bukan pada tempatnya mereka berijtihad untuk mem-

bunuhnya ....” 2 Ibn Hajar juga berkomentar demikian ketika ia memaparkan

biografinya di dalam Al-Ishâbah dan menganggapnya ke dalam barisan para mujtahid dari kalangan sahabat, sebagaimana akan dijelaskan nanti.

4. Para Mujtahid dari Kalangan Khalifah, Sahabat dam Tabiin

‘Allâmah (Al-Hillî) berkata: “Berkenaan dengan tuduhan dan kritikan yang ditujukan kepada jamaah (para khalifah dan sahabat —pen.), jumhûr ulama telah menukil sesuatu yang sangat banyak berkenaan dengan hal ini sehingga Al-Kalbî 3 menulis (sebuah buku khusus) tentang kesalahan dan

1 Syaikh Abdul Wahhâb adalah seorang dosen di Fakultas Syariah di Kairo. Kami menukil catatannya atas Tathhîr Al-Jinân, hal. 18. Ia telah menukil pendapat tersebut

dari buku Dirâsât Al-Labîb fî Al-Uswah Al-Hasanah li Al-Habîb , karya Mu‘în bin Amîn, pelajaran kedua.

2 Al-Fashl, jil. 4, hal. 161. 3 Yang ia maksud dengan Al-Kalbî adalah Abu Mundzir Hisyâm bin Muhammad bin

Sâ’ib Al-Kalbî. Di dalam Al-‘IbAr-nya, jil. 1, hal. 346, Adz-Dzahabî berkata: “Karya- karya tulisnya lebih dari seratus lima puluh judul buku. Ia menyebutkan 141 nama. Di antaranya adalah Ahmad Zakî di dalam salah satu karyanya, Mulhiq Al-Ashnâm. Dan sangat banyak nama yang telah disebutkannya yang mana Ahmad Zakî tidak menyebutkannya di dalam biografinya yang terdapat di dalam Rijâl An-Najâsyî. Para ulama Ahlusunah menyifatinya dengan karakter Ar-Rafdh dan berlebih-lebihan dalam mengikuti mazhab Syi‘ah. Ia meninggal dunia pada tahun 204 atau 206 Hijriah. Silakan Anda rujuk biografinya dalam buku Thabaqât Al-Huffâzh dan Al-Ansâb, karya As- Sam‘ânî.

B AB III: P ASAL K ETIGA 91

cela para sahabat dan ia tidak menyebutkan satu kekurangan pun berkenaan dengan Ahlul Bait.”

Ketika menjawab pendapat ‘Allâmah ini, Ibn Taimiyah berkata: “Berkenaan dengan mayoritas kesalahan dan cela-cela tersebut, mereka memiliki uzur dan alasan tertentu yang mampu mengeluarkan seluruh tindakan itu dari lingkaran dosa dan memasukkannya ke dalam ruang lingkup ijtihad yang mana jika seorang mujtahid benar dalam ijtihadnya, maka ia berhak mendapatkan dua pahala dan jika ia salah dalam ijtihadnya itu, maka ia hanya berhak mendapatkan satu pahala. Dan mayoritas tindakan dan kesalahan yang biasa dinukil dari para Khulafaur Rasyidin termasuk dalam bab ini.”

Setelah itu, ia memaparkan pembahasan yang panjang lebar berkenaan dengan hal ini di dalam jilid 3, hal. 19-30 dari Minhâj As-Sunah-nya, dan setelah memaparkan itu semua, ia menjawab mayoritas kritikan ‘Allâmah yang ditujukan kepada sosok-sosok sahabat besar yang sudah masyhur itu dengan satu jawaban, yaitu seluruh tindakan itu mereka lakukan berdasarkan ijtihad. 1

Di dalam kitab Al-Ishâbah, biografi Abul Ghâdiyat, Ibn Hajar berkata: “Sangkaan (yang galib tentang sikap para sahabat) dalam semua peperangan

itu adalah, bahwa mereka telah melakukan takwil (ijtihad), dan seorang mujtahid yang bersalah berhak mendapatkan satu pahala. Jika hal ini berhak didapatkan oleh setiap individu umat manusia, maka para sahabat adalah lebih utama untuk mendapatkannya.” 2

Di dalam catatan kaki As- Shawâ‘iq, Syaikh Abdul Wahhâb Abdul Lathîf berkata: “Seluruh sahabat yang hidup pada masa Ali berkuasa, ada sebagian

dari mereka yang berperang di dalam barisannya, ada sebagian yang berperang melawannya, dan ada juga yang menarik diri dari kubu dua laskar itu dan tidak memeranginya. Kelompok yang menolak untuk memeranginya adalah para sahabat Ibn Mas‘ûd dan Sa‘d bin Waqqâsh, dan orang-orang yang menarik diri dari kedua laskar itu adalah Hudzaifah, Ibn Maslamah, Abu Dzar, ‘Imrân bin Hushain, dan Abu Mûsâ Al-Asy‘arî. Seluruh mereka itu adalah mujtahid penakwil yang apa pun tindakan yang telah dilakukannya tidak mengeluarkan mereka dari keadilan.” 3

1 Minhâj As-Sunah, jil. 3, hal. 19. 2 Al-Ishâbah, biografi para sahabat yang julukan mereka dimulai dengan huruf ghain,

jil. 4, hal. 151. 3 Catatan kaki Ash- Shawâ‘iq, hal. 209, dan ia lebih menekankan, hal itu juga pada

pembahasan keadilan sahabat dalam bukunya yang lain, Al-Mukhtashar.

92 B AB III: P ASAL K ETIGA

Begitulah para pengikut mazhab Khulafâ’ sepakat—dari sejak abad kedua Hijriah hingga masa kini, yaitu permulaan abad kelima belas Hijriah — atas klaim bahwa seluruh sahabat adalah figur mujtahid dan Allah akan memberikan pahala kepada mereka atas seluruh permusuhan, pertikaian, dan penumpahan darah yang telah mereka lakukan. Mereka tidak mencukupkan diri dengan alasan bahwa pena taklif akan diangkat dari pundak mereka (meskipun mereka telah melakukan seluruh kebejatan itu), bahkan mereka meyakini bahwa Allah akan memberikan pahala kepada mereka atas segala keburukan yang pernah mereka lakukan.

Atas dasar klaim mereka ini, alangkah adilnya Dzat Yang Maha Pemberi balasan itu ketika Dia membalas seluruh keburukan kita dengan keburukan dan membalas seluruh kebejatan mereka dengan kebaikan!!

Mereka sepakat atas klaim itu hingga masa Mu‘âwiyah berkuasa. Sebagian dari mereka menegaskan: “Klaim ijtihad itu berjalan hingga masa Yazîd berkuasa, sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Khaldûn berkenaan para sahabat yang hidup pada masa itu. Ia berkata, ‘Sebagian dari mereka berpendapat cukup mengingkari Yazîd dan sebagian yang lain berpendapat harus memeranginy a.’ Kemudian ia melanjutkan, ‘Begitulah keadaan mayoritas muslimin. Seluruh mereka adalah mujtahid dan tak seorang pun dari kedua kelompok itu yang ditentang (karena sikapnya itu). Mak-sud dan tujuan mereka untuk mewujudkan kebajikan dan merealisasikan kebenaran sudah diketahui oleh semua orang. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua untuk mengikuti mereka.’” 1

Aku tidak tahu jika seluruh mereka adalah mujtahid lantaran pernah hidup bersama Rasulullah saw., maka bagaimana halnya dengan para

Kami tidak mengetahui siapakah para sahabat Ibn Mas‘ûd yang telah menarik diri mereka dari fitnah itu. Begitu juga Hudzaifah. Pada saat itu, ia tidak berada di Madinah, tetapi ia berada di Mada’in. Ia meninggal dunia di Mada’in dan berwasiat supaya mengikuti jalan Ali. Abu Dzar memproklamasikan pengingkarannya terhadap segala bid‘ah para penguasa sehingga ia diasingkan dari satu negeri ke negeri yang lain. Terakhir ia meninggal dunia di Rabadzah dalam pengasingan pada masa Utsman berkuasa tahun 32 Hijriah. Ibn Abi Waqqâsh sendiri menyesal karena telah menentang Imam Ali. Abu Musa lebih condong kepada para penentang Imam Ali, dan ‘Imrân bin Hushain telah meninggal dunia sebelum masa itu terjadi.

1 Muqadimah Ibn Khaldûn, cet. Dâr Al-Kutub Al-Lubnânî, tahun 1956 Masehi, hal. 380. Ibn Khaldûn adalah Abu Zaid Abdurrahman bin Khaldûn (732-808 H.). Ia

dikuburkan di pemakaman para pengikut aliran sufi di Mesir.

B AB III: P ASAL K ETIGA 93

pembunuh Utsman dan mengapa mereka tidak dimasukkan ke dalam golongan para mujtahid?!

Setelah mengutarakan ijtihad Abul Ghâdiyat, pembunuh ‘Ammâr, Ibn Hazm berkata: “Hal ini tidak sama dengan para pembunuh Utsman, karena bukan tempatnya mereka berijtihad untuk membunuhnya. Hal itu lantaran dia tidak membunuh seseorang, tidak memerangi orang lain, tidak membela (orang bersalah), tidak berzina dalam kondisi muhshan, dan tidak murtad sehingga penakwilan (baca: ijtihad) dapat menghalalkan (kita) untuk memeranginya. Bahkan, para pembunuhnya itu adalah orang-orang fasik yang —secara sengaja dan tanpa takwil (yang benar) dengan tujuan kezaliman dan penentangan —telah memerangi (pemimpin yang benar) dan menumpahkan darah yang haram (untuk ditumpahkan). Dengan demikian, mereka adalah orang- 1 orang fasik yang terlaknat.”

Ibn Hajar Al- Haitsamî berkata: “Berdasarkan pendapat mayoritas ulama, para pembunuh Utsman bukanlah orang-orang durhaka (bughât). Mereka hanyalah orang-orang lalim yang membangkang karena tidak memiliki haluan pemikiran yang sama dengan orang-orang (yang hidup semasa) dengan mereka dan karena mereka bersikeras atas kebatilan setelah syubhah tersingkap bagi mereka dan kebenaran dijelaskan kepada mereka. Bukanlah setiap orang yang berhadapan dengan sebuah syubhah, lantas ia pantas untuk berijtihad berkenaan dengan syubhah tersebut, karena syubhah dapat menurunkan seorang yang tidak mampu dari derajat ijtihad.” 2

Aku tidak tahu bagaimana mungkin pembunuh Imam Ali as. adalah mujtahid yang telah melakukan takwil, sementara ia telah menebas beliau dengan pedang ketika beliau sedang mengerjakan salat di mihrab masjid Kufah, sebagaimana hal itu akan dipaparkan pada pembahasan berikut ini: