Alasan Umar Melarang Nikah Mut‘ah

6.2.5. Alasan Umar Melarang Nikah Mut‘ah

Dalam Shahîh Muslim, Al-Mushannaf, karya Abdurrazzâq, Musnad Ahmad, Sunan Al-Baihaqî , dan buku-buku referensi hadis lainnya diriwayatkan dari Jâbir bin Abdillah bahwa ia berkata: “Kami sering melakukan nikah mut‘ah pada masa Rasulullah saw. dan Abu Bakar selama beberapa hari dengan mahar segenggam kurma dan tepung. Hal ini berlangsung hingga Umar melarangnya berkenaan dengan peristiwa ‘Amr bin Huraits.” 1

Menurut redaksi riwayat Al-Mushannaf, karya Abdurrazzâq yang diriwayatkan dari ‘Athâ’, dari Jâbir: “Kami pernah melakukan nikah mut‘ah pada masa Rasulullah saw., Abu Bakar, dan Umar sehingga pada akhir-akhir kekhalifahan Umar, ‘Amr bin Huraits melakukan nikah mut‘ah dengan seorang wanita. Jâbir menyebutkan nama wanita tersebut dan aku lupa namanya. Akhirnya, wanita itu hamil dan berita itu sampai ke telinga Umar. Umar memanggil wanita itu seraya menanyakan hal itu kepadanya. Wanita itu menjawab, ‘Betul demikian.’ Umar bertanya, ‘Siapakah yang dijadikan saksi?’ ‘Athâ’ menjawab, ‘Aku tidak tahu.’ Wanita itu menjawab, ‘Ibuku.’ Atau walinya. Umar bertanya, ‘Apakah tidak ada selainnya?’ ‘Athâ’ menjawab, ‘Ia takut ragu ....’” 2

Menurut riwayat yang lain, Jâbir berkata: “‘Amr bin Huraits tiba dari Kufah . Setelah itu, ia melakukan nikah mut‘ah dengan seorang wanita budak. Umar mendatangkan wanita itu sedangkan ia dalam kondisi hamil. Umar menanyakan peristiwanya. Wanita itu menjawab, ‘‘Amr bin Huraits telah melakukan nikah mut‘ah denganku.’ Umar menanyakan ‘Amr dan ia memberitahukan kepadanya dengan terus terang. Umar bertanya, ‘Apakah tidak ada wanita yang lainnya?’ Dari saat itulah Umar melarang nikah mut‘ah.” 3

1 Shahîh Muslim, bab Nikâh Mut‘ah,hal. 1023, hadis ke-1405; Syarah An-Nawawî, jil. 9, hal. 183; Al-Mushannaf, karya Abdurrazzâq, jil. 7, hal. 500; Sunan Al-Baihaqî, bab

Mâ Yajûzu An-Yakûna Mahran , jil. 7, hal. 237; Musnad Ahmad, jil. 3, hal. 304, dan dalam redaksi riwayatnya: “... hingga Umar melarangnya terakhir kali.” Riwayat ini disebutkan secara ringkas di dalam Tahdzîb At-Tahdzîb, jil. 10, hal. 371, pada biografi Musa bin Muslim, Fath Al-Bârî, jil. 11, hal. 76, Zâd Al- Ma‘âd, karya Ibn Al-Qayyim, jil. 1, hal. 205, dan Kanz Al- ‘Ummâl, jil. 8, hal. 293.

2 Al-Mushannaf, karya Abdurrazzâq, bab Al- Mut‘ah, jil. 7, hal. 496-497. 3 Al-Mushannaf, karya Abdurrazzâq, jil. 7, hal. 500; Fath Al-Bârî, jil. 11, hal. 76. Menurut redaksi riwayatnya: “Umar menanyakan, hal itu kepada ‘Amr dan ia mengakut. Pada saat itulah ....”

B AB III: P ASAL K ETIGA 341

Menurut riwayat lain yang diriwayatkan dari Muhammad bin Aswad bin Khalaf: “‘Amr bin Hausyab pernah melakukan nikah mut‘ah dengan seorang wanita budak milik Bakr dari Bani ‘Âmir bin Lu’ay. Wanita itu pun hamil. Peristiwa itu diceritakan kepada Umar dan lantas Umar mempertanyakannya. Wanita itu berkata, ‘‘Amr bin Hausyab pernah melakukan nikah mut‘ah denganku.’ Umar menanyakan hal itu kepada ‘Amr dan ia mengakuinya. Umar bertanya, ‘Siapakah yang telah dijadikan saksi oleh wanita itu?’ ‘Amr menjawab, ‘Aku tidak tahu. Mungkin ibunya, saudara perempuannya, atau saudara dan ibunya.’ Setelah itu, Umar naik ke atas mimbar seraya berkata, ‘Mengapa orang-orang lelaki yang melakukan nikah mut‘ah dan tidak menjadikan orang-orang yang adil sebagai saksi? Barang siapa melakukannya dan tidak mendatangkan saksi, maka aku akan menghukumnya.’ Orang yang hadir di bawah mimbar memberitahukan kepadaku ucapan Umar itu. Ia mendengarnya ketika Umar mengucapkannya, dan seluruh masyarakat mendengar ucapan itu dari

orang tersebut.” 1 Dalam Kanz Al- ‘Ummâl, diriwayatkan dari Ummu Abdillah binti Abu

Khaitsumah: “Seseorang tiba dari Syam dan mampir ke rumhaku. Orang itu berkata, ‘Kesendirian sangat menyiksaku. Carikanlah seorang wanita untukku guna kunikahi dia secara mut‘ah.’ Aku tunjukkan seorang wanita kepadanya dan ia mengadakan kesepakatan dengannya. Mereka menjadi- kan beberapa orang adil sebagai saksi atas hal itu dan orang itu hidup serumah dengan wanita itu dalam waktu yang sukup lama, dan kemudian dia pergi. Berita ini diberitahukan kepada Umar bin Khatab. Umar mengutus seseorang kepadaku seraya bertanya, ‘Betulkah apa yang telah terjadi itu?’ Aku menjawab, ‘Iya.’ Utusan itu berkata lagi, ‘Jika orang itu datang lagi, beritahukanlah kepadaku.’ Ketika orang itu datang lagi, aku memberitahukan kepadanya. Ia mengutus seorang utusan kepadanya. Umar bertanya kepadanya, ‘Apa yang mendorongmu untuk berbuat demikian?’ Orang itu menjawab, ‘Aku pernah melakukannya bersama Rasulullah saw. dan beliau tidak melarang kami sehingga Allah memanggilnya. Kemudian aku melakukannya bersama Abu Bakar dan ia pun tidak melarang kami sehingga Allah memanggilnya. Dan kemudian juga bersamamu dan engkau pun tidak melarang kami dalam hal ini.’ Umar

1 Al-Mushannaf, karya Abdurrazzâq, jil. 7, hal. 500-501. Menurut pendapatku, ‘Amr bin Hausyab telah dipalsukan. Yang benar adalah ‘Amr

bin Huraits.

B AB III: P ASAL K ETIGA

menimpali, ‘Ketahuilah, demi Dzat yang jiwaku berada di genggaman tangan-Nya, seandainya aku telah mengeluarkan sebuah larangan, niscaya

aku akan merajammu. Jelaskanlah sehingga pernikahan dapat dibedakan dari perzinaan.’” 1

Dalam Al-Mushannaf , karya Abdurrazzâq diriwayatkan dari ‘Urwah: “Rabî‘ah bin Umaiyah bin Khalaf pernah menikahi seorang gadis Madinah dengan disaksikan oleh oleh dua orang wanita yang salah seorang dari mereka adalah Khaulah binti Hakîm, dan ia adalah seorang wanita yang salehah. Masyarakat dibuat heboh oleh kehamilan gadis itu. Khaulah menceritakan peristiwa itu kepada Umar bin Khatab. Ia bangkit dengan menenteng ujung pakaian ridâ’-nya karena marah sehingga naik ke atas mimbar. Ia berkata, ‘Aku mendengar berita bahwa Rabî‘ah bin Umaiyah telah menikahi seorang gadis Madinah dengan disaksikan oleh dua orang wanita. Seandainya aku telah menentukan sebuah hukuman sebelumnya, niscaya aku akan meraj 2 amnya.’”

Dalam Muwaththa’ Mâlik dan Sunan Al-Baihaqî disebutkan—redaksi riwayat ini dinukil dari kitab pertama —bahwa Khaulah binti Hakîm menjumpai Umar bin Khatab seraya berkata: “Rabî‘ah bin Umaiyah melakukan nikah mut‘ah dengan seorang wanita, dan wanita itu pun hamil.” Umar keluar dengan menenteng ujung pakaian ridâ’-nya seraya berkata: “Inilah (akibat) nikah mut‘ah. Seandainya aku telah menentukan hukuman sebelumnya, niscaya aku akan merajamnya.” 3

Dalam Al-Ishâbah disebutkan bahwa Salamah bin Umaiyah melaku-kan nikah mut‘ah dengan Salmâ, budak Hakîm bin Umaiyah bin Awqash Al-

Aslamî. Salmâ melahirkan seorang anak dan Salamah mengingkari anak itu. Berita ini sampai ke telinga Umar, dan setelah itu, ia melarang nikah

mut‘ah. 4 Dalam Al-Mushannaf, karya Abdurrazzâq, diriwayatkan dari Ibn Abbas

bahwa ia berkata: “Amirul Mukminin tidak menjaga kecuali Ummu

1 Kanz Al- ‘Ummâl, cet. Dâ’irah Al-Ma‘ârif, Haidar Abad, tahun 1312 H., jil. 8, hal. 294 dan cet. Ke-2, jil. 22, hal. 95.

2 Al-Mushannaf, karya Abdurrazzâq, jil. 7, hal. 503. Silakan juga merujuk Musnad Asy- Syafi‘î, hal. 132 dan biografi Rabî‘ah bin Umaiyah yang terdapat dalam buku Al-

Ishâbah , jil. 1, hal. 514. 3 Muwaththa Mâlik, bab Nikâh Al- Mut‘ah, hal. 542, hadis ke-42; Sunan Al-Baihaqî,

jil. 7, hal. 206. Silakan juga merujuk Al-Umm, karya Asy- Syafi‘î, jil. 7, hal. 219 dan Tafsir As-Suyûthî , jil. 2, hal. 141.

4 Biografi Salmâ tidak terdapat di dalam Al-Ishâbah, jil. 4, hal. 324, sedangkah biografi Salamah terdapat di dalam Al-Ishâbah, jil. 2, hal. 61.

B AB III: P ASAL K ETIGA 343

Arâkah. Ia pernah hamil dan Umar menanyakan kepadanya tentang sebab kehamilannya, Ummu Arâkah menjawab, ‘Salamah bin Umaiyah bin Khalaf pernah melakukan nika 1 h mut‘ah denganku ....’”

Dalam Al-Mushannaf , karya Ibn Abi Syaibah, diriwayatkan dari ‘Alâ’ bin Mûsâyyib, dari ayahnya bahwa ia berkata: “ Umar pernah berkata, ‘Jika didatangkan kepadaku seorang lelaki yang telah melakukan nikah mut‘ah dengan seorang wanita, niscaya akau merajamnya, apabila ia telah menikah dan apabila ia belum menikah, maka aku akan memukulnya.’” 2

Dalam riwayat-riwayat sebelumnya kita dapatkan bahwa para sahabat mengatakan, ayat ‘wanita-wanita yang talah kamu nikmati’ turun berkenaan deng an nikah mut‘ah, Rasululullah saw. memerintahkannya, dan bahwa mereka sering melakukan nikah mut‘ah dengan mahar segenggam kurma dan tepung pada masa Rasulullah, Abu Bakar, dan setengah masa kekuasaan Umar hingga Umar melarang nikah ini dalam peristiwa ‘Amr bin Huraits. Kita juga dapatkan bahwa praktik nikah mut‘ah telah menyebar luas pada masa Umar sebelum ia melarangnya. Mungkin Umar menggunakan metode step by step dalam mengharamkannya dimulai dari memperketat saksi nikah mut‘ah dan ia meminta supaya muslimin yang adil yang berhak menjadi saksi, sebagaimana hal ini dapat dipahami dari sebagian riwayat-riwayat yang telah lalu. Setelah itu, ia baru melarangnya secara pasti, dan bahkan ia berkata: “Seandainya aku telah melarang lebih cepat, niscaya aku akan menjalankan hukum rajam.” Setelah pelarangan ini, nikat mut‘ah diharamkan di dalam masyarakat Islam dan Khalifah bersikeras atas pendapatnya hingga akhir masa kekuasaannya di mana nasehat para penasehat pun tidak berpengaruh atas pendiriannya itu.

Dalam sirah Umar, Ath- Thabarî meriwayatkan dari ‘Imrân bin Sawâdah. Ia pernah meninta izin untuk masuk ke istana Khalifah dan akhirnya ia berhasil masuk. ‘Imrân berkata: “Aku ingin memberikan sebuah nasehat.”

Umar menjawab: “Selamat datang bagi pemberi nasehat di waktu pagi dan sore.” ‘Imrân berkata: “Umatmu mencercamu berkenaan dengan empat hal.” Umar menempelkan ujung tongkat kecilnya ke dagu dan meletakkan

gagangnya di atas paha seraya berkata: “Katakanlah.”

1 Al-Mushannaf, karya Abdurrazzâq, jil. 7, hal. 499. 2 Al-Mushannaf, karya Ibn Abi Syaibah, jil. 4, hal. 293.

B AB III: P ASAL K ETIGA

‘Imrân berkata: “Mereka mengatakan bahwa engkau mengharamkan ibadah umrah di dalam bulan-bulan haji, sedangkan Rasulullah dan Abu

Bakar tidak pernah melakukan demikian dan ibadah umrah ini adalah halal.”

Umar menjawab: “Ibadah umrah ini adalah halal. (Tetapi), seandainya mereka melakukan ibadah umrah di bulan-bulan haji, niscaya mereka akan memandang ibadah umrah telah mencukupi ibadah haji mereka. Dengan demikian, ibadah umrah itu bak kulit telur (ayam) yang anaknya sudah menetas (baca: kota Mekkah akan menjadi sepi pengunjung) untuk tahun itu, sedangkan ibadah haji adalah salah satu (manifestasi) keagungan Allah. Dan dalam hal ini aku telah bertindak benar...”

‘Imrân bekata: “Mereka mengatakan bahwa engkau mengharamkan nikah mut‘ah, sedangkan nikah ini adalah sebuah izin dari Allah di mana kami sering melakukannya dengan mahar segenggam (kurma dan tepung) dan kemudian kami berpisah setelah tiga hari.”

Umar berkata: “Sesungguhnya Rasulullah saw. menghalalkannya dalam kondisi terpaksa. Setelah itu, masyarakat telah memperoleh

kelapangan (rezeki). Pada saat itu aku tidak pernah melihat lagi muslimin melakukannya lagi dan kembali menghidupkan hal itu. Sekarang, orang yang mau, hendaknya ia menikah dengan mahar segenggam (kurma dan tepung) dan kemudian berpisah setelah tiga hari berlalu dengan perceraian. Dalam m 1 enangani hal ini aku telah bertindak benar ....”

Alasan yang telah diajukan oleh Khalifah Umar berkenaan dengan pengharaman mut‘ah haji bahwa “seandainya mereka melakukan ibadah umrah di bulan-bulan haji, niscaya mereka meyakini bahwa ibadah umrah itu sud ah mencukupi ibadah haji mereka” tidak dapat dibenarkan berkenaan dengan pelarangan mengumpulkan antara ibadah haji dan umrah. Yang benar adalah alasannya yang telah ditegaskan di dalam riwayat lain bahwa “penduduk Mekkah tidak memiliki air susu yang memadai dan tanaman yang mencukupi, dan musim semi mereka terletak pada orang- orang yang berdatangan untuk menziarahi Baitullah”. Dengan demikian, hendaknya mereka mendatangi Baitullah ini sebanyak dua kali: sekali untuk melakukan haji Ifrâd dan pada kali yang lain untuk melaksanakan umrah Mufradah supaya kaum Quraisy, kaum Muhajirin dapat mengeruk keuntungan.

1 Târîkh Ath-Thabarî, pembahasan peristiwa-peristiwa tahun 23 Hijriah, bab Syai’ min Siyarih min Mâ Lam Yamdhi Dzikruh , jil. 5, hal. 32.

B AB III: P ASAL K ETIGA 345

Adapun alasan yang telah diajukan olehnya berkenaan dengan pangharaman nikah mut‘ah bahwa masa Rasulullah saw. adalah masa keterpaksaan, berbeda dengan era kekhalifahannya, mayoritas riwayat yang menegaskan nikah mut‘ah sering dilakukan pada masa Rasulullah saw. dan atas restu dari beliau itu menyebutkan bahwa nikah mut‘ah ini (memang) sering dilakukan pada masa-masa peperangan dan bepergian. Berkenaan dengan hal ini, tidak ada perbedaan antara masa Rasulullah saw. dan era kekhalifahan Umar hingga masa kini dan hingga akhir zaman.

Setiap orang —dari semenjak ia terwujud di atas bumi ini—selalu memerlukan sebuah perjalanan dan meninggalkan istrinya selama berminggu-minggu dan berbulan-bulan, serta bahkan kadang-kadang hingga bertahun-tahun. Jika ia melakukan perjalanan, apa yang harus ia lakukan dengan hasrat seksualnya? Apakah ia dapat meninggalkan hasrat itu di sisi keluarganya sehingga ketika ia pulang kepada mereka, hasrat itu akan kembali kepadanya dan ia dapat melampiaskannya terhadap istrinya? Atukah hasrat seksual itu tidak akan pernah berpisah darinya, baik ia tidak bepergian maupun dalam kondisi bepergian? Jika hasrat seksual ini tidak akan berpisah darinya, apakah ia akan dapat menjinakkannya dan memproteksi diri darinya? Jika hanya sebagian kecil umat manusia yang dapat memproteksi diri darinya, apakah seluruh mereka dapat melakukan demikian atau mayoritas mereka dapat dikalahkan oleh hasrat itu? Jika hasrat seksual golongan mayoritas ini mendidih di sebuah lingkungan masyarakat yang mencegah ia menyalurkannya dan mereka meminta darinya untuk menentang hasrat dan tuntutan-tuntutannya itu, apa yang dapat ia lakukan pada waktu itu? Apakah ia memiliki jalan selain mengkhianati masyarakat tersebut?

Agama Islam yang telah meletakkan solusi yang sesuai untuk seluruh problematika umat manusia, apakah ia akan meninggalkan problema ini tanpa solusi?! Yang jelas, tidak. Ia telah mensyariatkan nikah mut‘ah untuk menangani problema yang satu ini. Seandainya Umar tidak melarang praktek nikah mut‘ah ini, niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang celaka (atau kecuali sedikit), seperti ditegaskan oleh Imam Ali. Seluruh masyarakat manusia telah memberikan sebuah solusi untuk problema ini, yaitu penghalalan zina di setiap tempat.

Keperluan (kepada solusi tersebut), seperti yang telah kami sebutkan di atas, tidak hanya terbatas pada orang yang melakukan perjalanan keluar kotanya. Sangat sering terjadi seseorang —dalam beberapa kondisi—tidak dapat melakukan pernikahan secara permanen di dalam kotanya sendiri,

B AB III: P ASAL K ETIGA

baik untuk kalangan pria maupun wanita. Apa yang dapat dilakukan oleh orang yang tidak dapat melakukan pernikahan secara permanen selama bertahun-tahun di dalam kotanya sendiri jika ia tidak berlindung kepada nikah mut‘ah? Apa yang dapat dilakukan oleh seseorang, sedangkan Al- Qur’an berfirman:

“Akan tetapi, janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia” (QS. Al-Baqarah [2]:235)

Dan, “... dan bukan wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya”

(QS. An- Nisâ’ [4]:25)?

Berkenaan dengan solusi yang telah diusulkannya untuk mengganti nikah mut‘ah menjadi nikah permanen dengan syarat ia berpisah dari istrinya setelah tiga hari dengan cara menceraikannya, hal ini hanya memiliki dua opsi yang tiada ketiganya; adakalanya tujuan itu diketahui oleh kedua suami istri dan mereka berdua rela dengan hal itu, maka ini adalah nikah mut‘ah itu sendiri, dan adakalanya hal itu terjadi dengan niat yang disembunyikan oleh pihak suami terhadap pihak istri, maka hal ini adalah sebuah penipuan dan penghinaan terhadap istri tersebut setelah mereka memperoleh kesepakatan untuk melakukan pernikahan secara permanen dan si suami menyembunyikan niat untuk menceraikannya setelah tiga hari. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin kepercayaan istri dan keturunannya terhadap pernikahan permanen dapat terjaga?

Pada akhirnya, dari dialog tersebut dan dari seluruh dialog yang telah diriwayatkan dari Khalifah dalam bab ini dapat dipahami dengan jelas bahwa seluruh riwayat yang telah diriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau mengharamkan dan melarang dua jenis mut‘ah itu dan yang memenuhi seluruh buku-buku induk referensi hadis dipalsukan setelah masa kekuasaan Umar. Hal itu dikarenakan seandainya salah seorang sahabat pada masa Umar memiliki sebuah riwayat dari Rasulullah saw. yang mendukung politik Khalifah berkenaan dengan masalah dua jenis mut‘ah tersebut di mana ia secara terus terang memproklamirkan penentangannya dengan ucapan “aku akan menentukan hukuman karena keduanya”, niscaya ia tidak perlu untuk menyembunyikannya dari pan-dangan Khalifah. Seandainya Khalifah —selama kurun waktu itu—mengetahui riwayat yang dapat mendukung politiknya, niscaya ia akan

B AB III: P ASAL K ETIGA 347

mempergunakannya sebagai saksi dan tidak perlu ia menggunakan segala kekerasan itu terhadap muslimin.

Begitulah masa kekuasaan Khalifah Umar berakhir. Setelah ia membungkam para penentang politik pemerintahannya, menyumbat napas-napas mereka, dan mencegah mereka untuk menukil —walaupun— satu riwayat, seperti telah kami isyaratkan sebelumnya pada pembahasan hadis Rasulullah saw., kondisi ini berlanjut hingga enam tahun dari kekhalifahan Utsman dan hal itu tersebar (di seantero pemerintahan Islam) setelah itu sedikit demi sedikit. Setelah itu, tumbuhlah generasi baru yang tidak mengenal tentang Islam kecuali Islam yang diizinkan oleh pihak penguasa untuk disebarkan dan dipaparkan, sebagaimana hal itu dapat kita pahami pada pembahasan berikut ini.