Bagaimana Mungkin Kontradiksi Terdapat dalam Hadis Rasulullah saw.?

6.3. Bagaimana Mungkin Kontradiksi Terdapat dalam Hadis Rasulullah saw.?

Sebagai penutup, kami jelaskan bahwa kita mendapatkan kontradiksi dalam hadis-hadis yang telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. berkenaan dengan ibadah umrah Tamatu‘. Di satu sisi kita menemukan beberapa riwayat yang menegaskan bahwa Rasulullah saw. memisahkan ibadah haji dari ibadah umrah dan melarang mengumpulkan antara ibadah umrah dan ibadah haji, dan dari sisi lain kita juga mendapatkan beberapa riwayat diriwayatkan dari beliau yang menegaskan bahwa beliau memerintahkan pelaksanaan umrah Tamatu‘ sebelum ibadah haji pada peristiwa haji Wadâ‘, dan juga para sahabat yang mengikuti pelaksanaan ibadah haji Wadâ‘ melakukan perintah beliau itu. Pertanyaannya, bagaimana mungkin terjadi kontradiksi ini di dalam hadis-hadis Rasulullah saw.?

Jawabannya adalah, riwayat-riwayat yang telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau memisahkan pelaksanaan ibadah haji dari ibadah umrah dan melarang umrah Tamatu‘ diciptakan dalam rangka menguatkan tindakan para khalifah yang memerintahkan pelaksanaan ibadah haji secara terpisah (ifrâd) dan melarang umrah Tamatu‘.

Atas dasar ini, setiap kali kita menemukan dua hadis yang kontradiktif, kita harus meninggalkan hadis yang sesuai dengan pendapat pihak penguasa. 1

7. Ijtihad: Hakikat, Perkembangan, dan Dalil Keabsahan Mengamalkannya

Hakikat ijtihad —seperti telah kami paparkan pada pembahasan sebelumnya —adalah mengamalkan pendapat pribadi. Sumber ijtihad ini adalah tindakan para sahabat dan khalifah, serta keikutsertaan para pengikut mereka terhadap tindak-tanduk mereka. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1 Silakan me rujuk pembahasan “Hal.uan Pihak Penguasa Sepanjang Tiga Belas Abad” di dalam akhir jil. pertama buku ini.

B AB III: P ASAL K ETIGA 387

Ad- Dawâlîbî berkata: “Para sahabat sering menghadapi problematika (sosial) yang mereka tidak menemukan nas di dalam kitab atau sunah berkenaan dengan masalah itu. Pada waktu itu, mereka berlindung kepada ijtihad. Mereka juga sering menamakan tindakan ini dengan ra’y (pendapat pribadi). Hal itu sering dilakukan oleh Abu Bakar ra. ... 1 dan Umar ....”

Kemudian ia menjadikan riwayat yang menegaskan bahwa Umar pernah menulis surat kepada Syuraih dan Abu Mûsâ sebagai bukti dan saksi. Ia berkata: “Dalam ijtihad mereka itu, para sahabat itu tidak bersandarkan kepada kaidah-kaidah yang sudah tersusun atau tolok ukur-tolok ukur yang dikenal umum. Sandaran mereka adalah ruh syariat yang mereka rasakan ....”

Kemudian ia berkata: “Pengetahuan ini tidak terpenuhi secara sempurna dalam diri orang-orang datang setelah mereka sedemikian

mudahnya ... Oleh karena itu, konsep ijtihad tidak berkembang setelah periode mereka secara pesat ... dan banyak terpengaruh oleh lingkungan hidup seorang mujtahid. Hal ini menjadi penyulut terjadinya pertikaian ilmiah dalam (memahami) bahan dasar hukum-hukum Islam setiap kali para mujtahid terpisah jauh dari periode turunnya Al- Qur’an. Inilah yang memaksa para pakar ijtihad untuk merumuskan kaidah-kaidah ijtihad dan mereka menamakannya dengan ilmu Ushûl Fiqih. (Dengan demikian), ijtihad pada periodenya yang kedua ini berbeda dengan priodenya yang pertama dengan dirumuskannya kaidah-kaidah yang memuat pondasi- pondasi dasar yang jelas, setelah pemahaman yang benar tentang rahasia- rahasia syariat pada periode sebelumnya menjadi satu- 2 satunya tolok ukur.”

Pada bab sumber-sumber hukum yang diakui oleh Al- Qur’an, ia berkata: “Sesungguhnya sumber hukum pertama yang diakui oleh Al- Qur’an adalah ayat-ayatnya. Kedua adalah sunah, karena Dia berfirman, ‘Apa yang dibawa oleh Rasulullah kepadamu, maka ambillah ....’ Ketiga, Al- Qur’an mengakui sebagai sumber hukum apa yang telah diakui oleh sunah, seperti ijmâ‘ dan ijtihad.” 3

1 Al-Madkhal. ilâ ‘Ilm Ushûl Al-Fiqh, karya Muhammad Ad-Dawâlîbî, seorang dosen ilmu Ushûl Fiqih dan hukum-hukum Romawi di fakultas Hukum, menggapai gelar

doktor dalam bidang hukum dari Universitas Paris, dan pemegang gelar kajian-kajian tinggi dalam bidang hukum-hukum Romawi, cet. Dâr Al- ‘Ilm li Al-Malâyîn, Beirut, Lebanon, tahun 1385 H./1965 M.

2 Al-Madkhal., hal. 14-17. Kami menyebutkan pendapatnya secara ringkas. 3 Ibid, hal. 30.

B AB III: P ASAL K ETIGA

Dengan demikian, ia telah menentukan empat sumber atau pondasi untuk syariat Islam: (1) kitab, (2) sunah, (3) ijmâ‘, dan (4) ijtihad. Ad- Dawâlîbî berkata: “Dari pembahasan yang telah kami sebutkan itu dapat dipahami bahwa pondasi keempat disebut dengan istilah ijitihad, ra’y, dan akal.” 1

Kami cukupkan penjelasan ini sampai di sini dan kita akan kembali membahasnya setelah memaparkan dalil-dalil mereka atas keabsahan melakukan paraktek ijtihad.

7.1. Dalil-Dalil Terpenting Mazhab Khulafa’ atas Keabsahan Ijtihad