Nikah Mut‘ah Pasca Umar

6.2.6. Nikah Mut‘ah Pasca Umar

Pada paruh kedua kekhalifahan Utsman, seluruh kekuatan (pendukung) khilâfah terbelah menjadi dua kubu (yang saling menentang): Ummul Mukminin ‘Aisyah, Thalhah, Zubair, Ibn ‘Âsh, dan orang yang mengikuti jejak mereka berada dalam satu kubu dan Marwân, para keturunan Bani ‘Âsh, seluruh Bani Umaiyah, dan orang-orang yang seide dengan mereka berada dalam kubu yang lain. Pertikaian antara kedua kubu tersebut melahirkan sebuah kelonggaran bagi muslimin sehingga mereka dapat meraih kembali sedikit kebebasan dan sebagian riwayat yang pernah dilarang untuk disebarkan mulai tersebar, serta muslimin (mulai berani) menentang seluruh larangan para khalifah. Generasi baru yang tumbuh dari generasi yang pernah mengalami era Jahiliyah dan Islam ini mendengar sebagian peristiwa yang belum pernah didengarnya dan melihat sebagian kejadian yang belum pernah dilihatnya. Telah kami lalui bersama penentangan Imam Ali terhadap Khalifah Utsman berkenaan dengan masalah mut‘ah haji, dan pada pembahasan berikut ini, kita akan menelaah sebagian penentangan- penentangan berkenaan dengan nikah mut‘ah.

Dalam Al-Mushannaf, karya Abdurrazzâq disebutkan bahwa Ibn Juraij meriwayatkan dari ‘Athâ’ bahwa ia berkata: “Orang pertama yang aku mendengar masalah nikah mut‘ah darinya adalah Shafwân bin Ya‘lâ. Ia memberitahukan kepadaku bahwa Mu‘âwiyah pernah melakukan nikah mut‘ah dengan seorang wanita di Tha’if. Tetapi, wanita itu menging- karinya. Lalu kami menjumpai Ibn Abbas dan sebagian dari kami menceritakan hal itu kepadanya. Ia menjawab, ‘Betul.’ Hatiku belum puas (dengan itu). Tidak lama setelah itu, Jâbir bin Abdillah tiba. Kami

B AB III: P ASAL K ETIGA

mendatangi rumahnya dan masyarakat bertanya kepadanya tentang banyak hal. Setelah itu, mereka mengutarakan masalah nikah mut‘ah. Jâbir menjawab, ‘Benar. Kami pernah melakukan nikah mut‘ah pada masa Rasulullah saw., Abu Bakar, dan Umar. Di penghujung masa kekhalifahan Umar, ‘Amr bin Huraits melakukan nikah mut‘ah .... 1

Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa ketika tiba di Tha’if dan bertamu ke Bani Tsaqîf, Mu‘âwiyah pernah melakukan nikah mut‘ah dengan seorang wanita budak Ibn Al- Hadhramî yang bernama Mu‘ânah. Jâbir berkata, ‘Mu‘ânah hidup hingga masa kekhalifahan Mu‘âwiyah. Mu‘âwiyah selalu mengirimkan hadiah kepadanya hingga wanita itu meninggal dunia.’” 2

Dalam kitab itu juga diriwayatkan dari Abdullah bin Utsman bin Khutsaim bahwa ia berkata: “Di Mekkah terdapat seorang wanita menawan

berkebangsaan Irak yang hidup dengan penuh kezuhudan. Ia mempunyai seorang anak lelaki yang bernama Abu Umaiyah. Sa‘îd bin Jubair sering masuk ke dalam rumah wanita itu. Aku pernah bertanya kepadanya, ‘Hai Abu Abdillah, alangkah seringnya engkau masuk ke dalam rumah wanita itu.’ Ia menjawab, ‘Kami telah menikahinya dengan cara nikah itu, (yaitu nikah mut‘ah).’ Ia memberitahukan kepadaku bahwa Sa‘îd pernah berkata kepadanya, ‘Nikah mut‘ah ini adalah lebih halal daripada minum air.’” 3

Pada masa ini, tersebarlah pendapat yang menghalalkan nikah mut‘ah dan fatwa yang membolehkan pun bermunculan. Di dalam Al-Mushannaf, karya Abdurrazzâq disebutkan bahwa Ali pernah berkata di Kufah: “Seandainya bukan karena pendapat Umar bin Khatab (atau pendapat Ibn Khatab) itu, niscaya aku pasti memerintahkan nikah mut‘ah, dan setalah itu, tidak akan melakukan perzinaan kecuali orang yang celaka.” 4

Dalam Tafsir Ath-Thabarî, Tafsir An-Nîsyâbûrî, Tafsir Al-Fakhr Ar-Râzî, Tafsir Abi Hayyân , dan Tafsir As-Suyûthî disebutkan —redaksi riwayat ini dinukil dari kitab pertama: “Seandainya bukan lantaran pelarangan Umar

1 Al-Mushannaf, karya Abdurrazzâq, bab Al- Mut‘ah, jil. 7, hal. 496-497. 2 Ibid, hal. 499. 3 Ibid, hal. 496. 4 Ibid, hal. 500.

Dalam buku- buku referensi hadis dan tafsir, redaksi riwayat tersebut adalah “illâ syaqî” (kecuali orang yang celaka). Sedangkan di dalam Nihâyah Al-Lughah, kata [ ىفش] tertulis “illâ syafâ” (kecuali sedikit sekali).

B AB III: P ASAL K ETIGA 349

terhadap nikah mut‘ah, niscaya tidak akan berzina kecuali orang yang celaka.” 1

Dalam Tafsir Al-Qurthubî , Ibn Abbas berkata: “Nikah mut‘ah tidak lain adalah sebuah rahmat dari Allah swt. Dia telah mencurahkan rahmat atas para hamba-Nya dengan nikah ini. Seandainya bukan lantaran pelarangan Umar terhadap nikah m ut‘ah tersebut, niscaya tidak akan berzina kecuali orang yang celaka.” 2

Dalam Al-Mushannaf, karya Abdurrazzâq, Ahkâm Al- Qur’an, karya Al- Jashshâsh, Bidâyah Al-Mujtahid, karya Ibn Rusyd, Ad-Durr Al-Mantsûr, karya As-Suyûthî, Nihâyah Al-Lughah, kata [ ىفش], karya Ibn Al-Atsîr, Lisân Al-‘Arab, Tâj Al- ‘Arûs, dan buku-buku referensi lainnya, diriwayatkan dari ‘Athâ’ bahwa ia berkata —redaksi riwayat ini dinukil dari Al-Jashshâsh: “Semoga Allah merahmati Umar. Nikah mut‘ah hanyalah sebuah rahmat dari Allah swt. Dia telah mengucurkan rahmat atas umat Muhammad dengan nikah ini. Seandainya bukan lantaran pelarangannya, niscaya tidak akan membutuhkan kepada zina kecuali sedikit (dari mereka).” 3

Menurut redaksi Al-Mushannaf : “... kecuali sebuah izin dan kemurahan dari Allah”, sebagai ganti dari ungkapan “rahmat” di akhir riwayat tersebut.

‘Athâ’ berkata: “Demi Allah, aku mendengar ucapannya ‘kecuali orang yang celaka’.” Menurut redaksi Bidâyah Al-Mujtahid : “Seandainya bukan lantaran pelarangan Umar terhadapnya, niscaya tidak akan terpaksa berzina kecuali sedikit (dari mereka).”