Kesaksian Imam Ar-Ridhâ as. atas Al-Jafr

c. Kesaksian Imam Ar-Ridhâ as. atas Al-Jafr

Terdapat sebuah riwayat tentang Imam Ali Ar-Ridhâ dalam kitab Kasyf Al- Ghummah 5 karya Al-Arbilî (wafat 693 H.). Penulis menegaskan bahwa

1 Maqâtil Ath-Thâlibiyyîn, hal. 346; Târîkh Ibn Al-Astîr, jil. 5, hal. 230. 2 Târîkh Ath-Thabarî, jil. 9, hal. 227; Maqâtil Ath-Thâlibiyyîn hal. 272. 3 Maqâtil Ath-Thâlibiyyîn, hal. 347. 4 Bashâ’ir Ad-Darajât, hal. 170, bab Nadir. Kami hanya menyebutkan hadis yang

diperlukan saja dan sisa hadis itu adalah pelajaran bagi kita semua. 5 Kasyf Al-Ghummah, cet. Najaf tahun 1385 H., karya Abul Hasan Ali bin Isa bin Al-

Fath Al-Arbilî.

B AB III: P ASAL K EEMPAT 450

Abdullah bin Ali bin Isa berkata: “Pada tahun 670 Hijriah, salah seorang sahabat dekat Ar-Ridhâ as. tiba dari Mashad dengan membawa surat

keputusan yang ditulis oleh Al- Ma’mûn (untuk mengangkat beliau sebagai putra mahkota). Di balik surat keputusan itu terdapat tulisan tangan Imam Ali Ar-Ridhâ as. Aku mencium tulisan tangan beliau dan kutatap rang-kaian kata yang penuh hikmah itu dengan seksama. Aku yakin bahwa menatap tulisan itu adalah salah satu nikmat dan anugerah Allah swt. Aku menukil surat tersebut kalimat demi kalimat.

Tulisan tangan Al- Ma’mûn adalah sebagai berikut:

‘Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.

Ini adalah surat keputusan yang ditulis oleh Abdullah Ar-Rasyîd Amirul Mukminin dengan tangannya sendiri kepada Ali bin Mûsâ bin Ja‘far, putra mahkotanya.

Sesungguhnya Allah swt. telah memilih Islam sebagai agama dan memilih hamba-hambanya sebagai utusan yang menjadi petun-juk dan pembimbing. Masing-masing mereka memberikan berita kepada yang lain akan kedatangan pelanjutnya, dan utusan berikut-nya membenarkan utusan yang sebelumnya. Begitulah seterusnya hingga kenabian berakhir kepada Muhammad saw. yang diutus pada saat para utusan terputus, ilmu pengetahuan hilang, wahyu terputus, dan Hari Kiamat dekat. Maka Allah mengakhiri dengan beliau saw. silsilah kenabian, dan menjadikan beliau saksi dan mendominasi mereka. Allah menurunkan kepada beliau kitab mulia yang tidak ada kebatilan, baik dari arah depan maupun dari arah belakangnya, kitab yang turun dari Dzat yang bijak dan terpuji. Beliau menghalal-kan dan mengharamkan, memberi janji dan memberi peringatan, mewaspadai dan memperingati, memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran, sehingga menjadi hujah yang gamblang atas makhluknya, supaya hancur mereka yang hancur atas kejelasan dan hidup orang yang hidup berdasarkan penjelasan, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Maka beliau menyampaikan risalah dari Allah, dan menyeru ke jalan-Nya dengan hikmah, nasihat yang baik dan debat yang lebih baik, kemudian jihad dan kekerasan, sehingga Allah mencabut nyawa beliau dan memilih baginya apa yang ada di sisi-Nya.

Ketika kenabian telah berakhir dan Allah menyudahi wahyu dan risalah dengan Muhammad saw., Dia menjadikan kekhalifahan sebagai faktor tegaknya agama dan keteraturan bagi kaum muslimin.

B AB III: P ASAL K EEMPAT

Di samping itu, Dia menjadikan ketaatan sebagai sumber kesempur- naan dan keagungan bagi kekhalifahan ini. Dengan ketaatan, hukum, syariat, dan sunah Islam terlaksana dan musuh terperangi. Para khalifah Allah harus menaati-Nya lantaran mandat menjaga agama dan memelihara hamba yang telah diserahkan kepada mereka. Kaum muslimin juga wajib menaati para pemimpin dan membantu mereka untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, mewujudkan ketentraman agar darah tidak tertumpahkan, dan mendamaikan antara dua saudara yang bertikai. Jika tidak demikian, tali persatuan muslimin akan putus, kebersamaan mereka akan retak, agama mereka akan terkalahkan, musuh mereka akan menang, kalimat mereka akan tercerai-berai, dan dunia dan akhirat mereka akan rugi.

Atas dasar ini, sudah selayaknya orang yang telah dilantik oleh Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi-Nya dan diberi amanat memelihara makhluk-Nya untuk mengerahkan seluruh jiwa raganya karena Allah, lebih mendahulukan tindakan yang mengandung rida Allah dan ketaatan kepada-Nya, bersandar kepada keputusan yang telah disepakati oleh Allah dan akan dipertanyakan oleh-Nya, mene- gakkan hukum dengan kebenaran, dan bertindak adil berkenaan dengan tugas yang telah diamanatkan kepadanya. Allah pernah berfirman kepada nabi-Nya, Dâwûd, ‘Hai Dâwûd, sesungguhnya Kami telah menjadikanmu khalifah di atas bumi. Maka jalankanlah hukum di antara manusia dengan kebenaran dan jangan kamu ikuti hawa nafsu, karena hawa nafsu itu akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya mereka yang tersesat dari jalan Allah akan memperoleh azab yang sangat pedih akibat mereka melupakan hari perhitungan.’

Allah juga berfirman, ‘Sumpah demi Tuhanmu, Kami akan mena- nyakan kepada mereka semua tentang apa yang telah mereka lakukan.’

Kita juga pernah mendengar bahwa Umar bin Khaththab berkata: ‘Jika satu kambing kibas hilang di tepi sungai Furat, maka aku akan ketakutan bila Allah menanyakannya kepadaku. Demi Allah, jika seseorang dimintai pertanggungjawaban atas dirinya sendiri berdasarkan amal perbuatan yang telah ia lakukan antara dia dan Allah, ia akan menghadapi bahaya yang besar. Maka bagaimana dengan orang yang akan dipertanyakan tentang kepemimpinan umat yang ada di pundaknya?’

Hanya kepada Allah kita menaruh kepercayaan penuh, hanya kepada-Nya kita takut dan menaruh harapan, hanya kepada-Nya kita

B AB III: P ASAL K EEMPAT 452

mengharap kemenangan dan kemaksuman, hanya kepada-Nya kita memohon hidayah untuk menuju penegak hujah dan pembawa kemenangan dengan keridaan dan rahmat-Nya.

Orang yang paling berpikiran jitu dan lebih menasihati para hamba demi Allah tentang agama dan para hamba-Nya di muka bumi ini adalah orang yang menaati Allah, kitab, dan sunah nabi-Nya selama ia hidup dan setelah mati. Di samping itu, ia juga mencurahkan segala daya dan upayanya untuk memilih orang yang hendak dimandat memimpin umat sepeninggalnya, menjaga darah mereka, mewujudkan keamanan dari perpecahan, mengikis kehan- curan dan perpecahan dari kehidupan mereka, dan melenyapkan tipuan setan dan godaannya dari mereka. Sesungguhnya Allah telah menjadikan kedudukan putra mahkota setelah kekhalifahan sebagai kesempurnaan dan keagungan Islam, serta dan kemaslahatan pemeluknya. Dia juga mengilhamkan kepada para khalifah untuk mendukung orang yang mereka pilih sepeninggal mereka. Alangkah agungnya nikmat ini dan mulianya anugerah ini. Dengan kekhali- fahan ini, Allah memusnahkan tipu muslihat tukang pemecah belah, permusuhan, usaha untuk memecah belah, dan menunggu fitnah.

Dari semenjak memegang tampuk kekhalifahan, Amirul Mukminin senantiasa memikirkan siapa pengganti sepeninggalnya. Maka Amirul Mukminin menguji beratnya tanggung jawab, biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalankannya, dan segala sesuatu yang wajib ia laksanakan demi mengadakan hubungan dengan Allah dan mengawasi tanggung jawab kekhalifahan yang yang telah dipegangnya. Untuk itu, ia mengerahkan seluruh seluruh dayanya, tidak tidur malam, dan selalu memutar pikiran demi menggapai kemuliaan agama, membasmi musyrikin, mewujudkan kemaslahatan umat, menebarkan keadilan, dan menegakkan kitab dan sunah. Semua ini telah mencegahnya untuk bersantai dan menikmati kehidupan, lantaran ia tahu bahwa Allah akan mempertanyakan dirinya. Ia ingin menjumpai Allah sebagai orang yang telah melontarkan nasihat dalam agama dan untuk kepentingan para hamba-Nya dan ingin memilih untuk kedudukan putra mahkota demi memelihara umat orang yang paling utama dan layak dalam wara’, agama, dan keilmuannya. Amirul Mukminin telah bermu-najat kepada Allah swt. dalam hal ini siang dan malam dengan memohon sesuatu yang mengandung keridaan dan ketaatan kepada-Nya. Ia telah

B AB III: P ASAL K EEMPAT

berusaha sekuat tenaga dengan memeras pikiran dan kemampuannya untuk mencari putra mahkota itu dari kalangan keluarganya, yaitu keturunan Abdullah bin Abbas dan Ali bin Abi Thalib. Lebih dari itu, ia malah membatasi pemilihan itu untuk orang-orang yang ia ketahui kondisi dan mazhabnya, dan juga mencari tahu tentang orang yang tidak ia kenal. Sehingga (dengan itu) ia dapat mengetahui urusan mereka, menguji berita-berita mereka dengan mata kepala sendiri, dan menyingkap apa yang terdapat di sisi mereka sebagai sebuah permohonan.

Setelah beristikharah kepada Allah dan mengerahkan seluruh kekuatan untuk memenuhi hak terhadap seluruh hamba dan negeri- nya, pilihannya jatuh kepada Ali bin Mûsâ bin Ja‘far bin Muha-mmad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Hal itu karena Amirul Mukminin melihat keutamaannya yang cemerlang, ilmunya yang luas membentang, kewara’annya yang nampak, kezuhudannya yang murni, keenggannya terhadap dunia, dan keakrabannya dengan masyarakat. Dan telah jelas bagi Amirul Mukminin apa yang disepakati oleh berita-berita yang tersebar, yang dimufakati oleh mulut-mulut, dan seluruh ungkapan mencakup tentangnya. Karena Amirul Mukminin mengetahui keutamaannya yang sempurna dan masih selalu berkembang, ia menyerahkan keduddukan putra mahkota dan kehkalifahan kepadanya karena percaya kepada pilihan Allah dalam hal ini. Hal ini lantaran Allah tahu bahwa Amirul Mukminin melakukan itu demi mementingkan Dia dan agama-Nya, demi memelihara Islam dan muslimin, dan demi memohon kesela- matan dan tegarnya kebenaran, serta keselamatan pada hari yang seluruh umat manusia berdiri di hadapan Tuhan semeta alam.’

Setelah itu, Amirul Mukminin memanggil seluruh keturunan, keluarga, orang-orang dekat, para komandan, dan pembantunya. Mereka segera membaiat Imam Ar-Ridhâ as. dalam kondisi bahagia. Mereka mengetahui bahwa Amirul Mukminin lebih mementingkan ketaatan Allah atas hawa nafsunya berkenaan dengan orang lain dan keturunannya sendiri. Mereka juga tahu bahwa ia lebih mementingkan beliau daripada orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dekat dengannya. Ia menjuluki Ali bin Mûsâ dengan Ar-Ridhâ, lantaran Ali bin Mûsâ memang diridai di sisinya. Setelah itu, seluruh keluarga Amirul Mukminin dan penduduk Madinah dari kalangan para komandan dan bala tentara, serta seluruh muslimin

B AB III: P ASAL K EEMPAT 454

membaiat Amirul Mukminin dan Ar-Ridhâ sepeninggalnya. Ia menulis dengan penanya yang mulia setelah ungkapan “Ar-Ridhâ sepeninggalnya”, ‘Bahkan untuk seluruh keluarga Ali bin Mûsâ atas nama Allah, berkah-Nya, dan kebaikan ketentuan-Nya dalam agama dan hamba-Nya sebagai sebuah baiat yang tanganmu disodorkan kepadanya, hatimu relah dengan itu, dan kamu mengetahui kehendak Amirul Mukminin dengan hal itu. Ia lebih mementingkan ketaatan kepada Allah dan merenungkan dirinya dan dirimu. Begitu juga kamu bersyukur kepada Allah atas ilham yang telah dianugerahkan kepada Amirul Mukminin untuk memenuhi hak-Nya dalam menjagamu dan menginginkan perkembangan dan kemaslahatan-mu dengan kamu mengharapkan akibat semua itu untuk mengumpulkan kecintaanmu, menjaga darahmu, menyatukan keberceraianmu, memper- kuat batasan-batasan negerimu, menguatkan agamu, menjungkirkan musuhmu, dan menegakkan urusanmu. Bersegeralah untuk menaati Allah dan Amirul Mukminin. Karena hal ini akan mendatangkan sebuah keamanan jika kamu bersegera membaiatnya dan memuji Allah atas hal ini. Insyâ-Allah kamu mengetahui kewajiban dalam hal ini.’

Hari Senin, 7 Ramadhan 201 Hijriah.”