Hadis-hadis Palsu dalam Rangka Menjustifikasi Sikap Para

6.1.6. Hadis-hadis Palsu dalam Rangka Menjustifikasi Sikap Para

Khalifah

Hingga di sini kami telah memaparkan usaha-usaha yang telah dikerahkan oleh Rasulullah saw. dalam rangka membasmi tradisi kaum Jahiliyah berkenaan dengan umrah Tamatu‘. Kemudian, kami juga telah menjelas-kan usaha-usaha yang telah dikerahkan oleh mazhab Khulafâ’ untuk menghidupkan kembali tradisi Jahiliyah tersebut. Dan terakhir kali, kami telah memaparkan usaha-usaha yang telah dikerahkan oleh mazhab Ahlul Bait as. untuk membasmi kembali tradisi Jahiliyah tersebut dan meng- hidupkan sunah Rasulullah saw. itu. Kami akan menutup pembahasan ini dengan memaparkan usaha-usaha yang telah dikerahkan untuk menjus- tifikasi sikap para khalifah dan membela mereka berkenaan dengan masalah umrah Tamatu‘, seperti hadis-hadis berikut ini yang telah dipalsu-kan dalam rangka menggapai tujuan tersebut.

a. Muslim, Abu Dâwûd, An-Nasa’î, Ibn Mâjah, Al-Baihaqî, dan selain mereka meriwayatkan dari Qâsim bin Muhammad bin Abu Bakar, dari Ummul Mukminin ‘Aisyah bahwa ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melakukan ibadah haji secara terpisah (tanpa

umrah).” 1

b. Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah saw. melakukan ibadah haji secara terpisah (tanpa umrah). 2

c. Diriwayatkan dari Ja‘far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jâbir bahwa Rasulullah saw. melakukan ibadah haji secara terpisah (tanpa

umrah). 3

Khalifah tentang manasik haji. Setelah Khalifah mengeluarkan ketentuan baru, ia mengkuti pendapatnya.

1 Shahîh Muslim, hal. 875, hadis ke-122; Sunan Abi Dâwûd, jil. 2, hal. 152, hadis ke- 1777; Sunan An- Nasa’î, bab Ifrâd Al-Haj, jil. 2, hal. 13 dan, hal. 988, hadis ke-2964;

Sunan At-Tirmidzî , bab Mâ Jâ’a fî Ifrâd Al-Haj, jil. 4, hal. 36; Sunan Al-Baihaqî, bab MAn-ikhtâra Al-Ifrâd , jil. 5, hal. 3; Al-Muntaqâ, jil. 2, hal. 228, hadis ke-2389; Musnad Ahmad , jil. 6, hal. 36; Muwththa’ Mâlik, bab Ifrâd Al-Haj, jil. 2, hal. 335, hadis ke-37.

2 Sunan Ibn Mâjah, hal. 988, hadis ke-2965; Muwaththa’ Mâlik, jil. 2, hal. 335, hadis ke-38. Silakan juga merujuk Târîkh Ibn Katsîr, jil. 5, hal. 120-123. Dalam buku ini

terdapat pembahasan yang sangat terinci mengenai umrah Tam atu‘. 3 Sunan Ibn Mâjah, hal. 989, hadis ke-2966.

B AB III: P ASAL K ETIGA

d. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa (1) Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar, dan Utsman melakukan ibadah haji secara terpisah (tanpa umrah) dan (2) “Kami pernah melakukan ibadah haji bersama Rasulullah secara terpisah (tanpa umrah).” Dan menurut sebuah riwayat: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melakukan ihram untuk ibadah haji secara terpisah 1 (tanpa umrah).”

e. Diriwayatkan dari Sa‘îd bin Mûsâyyib bahwa seorang sahabat Rasulullah saw. datang menjumpai Umar bin Khatab ra. lantas bersaksi di hadapannya bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw. melarang pelaksanaan ibadah umrah sebelum ibadah haji ketika

beliau sakit yang berakhir dengan kewafatan beliau. 2

f. Diriwayatkan dari Jâbir bahwa Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar, dan Utsman melakukan ibadah haji secara terpisah (tanpa umrah). 3

g. Diriwayatkan dari Hârits bin Bilâl bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah ibadah haji yang harus diganti menjadi ibadah umrah itu hanya khusus untuk kita atau umum untuk seluruh umat manusia?” Beliau menjawab: “Hanya khusus untuk kita saja.” 4

h. Diriwayatkan dari Abdullah dan Hasan, dua orang putra Muha- mmad bin Ali, dari ayah mereka berdua bahwa Ali bin Abi Thalib ra. berkat: “Wahai anakku, pisahkanlah ibadah haji (dari ibadah umrah).” 5

1 (1) Sunan At-Tirmidzî, bab Mâ Jâ’a fî Ifrâd Al-Haj, jil. 4, hal. 36 dan (2) Shahîh Muslim , hal. 904-905, hadis ke-184; Al-Muntaqâ, jil. 2, hal. 228, hadis ke-1391.

2 Sunan Abi Dâwûd, jil. 2, hal. 157, hadis ke-1793; Sunan Al-Baihaqî, bab Karâhiyah Man Kariha Al-Qirân wa At- Tamattu‘, jil. 5, hal. 19.

3 Sunan Ibn Mâjah, hal. 989, hadis ke-2967.

4 Sunan Abi Dâwûd, kitab Al-Manâsik, bab Ar-Rajul Yuhillu bi Al-Haj Tsumma Yaj‘aluhâ ‘Umrah, jil. 2, hal. 161, hadis ke-1808; Sunan Ibn Mâjah, hal. 994, hadis

ke-2984. Ibn Mâjah telah memberikan catatan atas riwayat ini; Al-Muntaqâ, jil. 2, hal. 238, hadis ke- 2429. Ia berkata: “Riwayat ini telah diriwayatkan oleh lima perawi hadis kecuali At- Tirmidzî.” Hârits bin Bilâl bin Hârits Al-Muzanî adalah termasuk tingkat ketiga perawi hadis. Sebagian penulis kitab Shihâh meriwayatkan hadisnya. Silakan merujuk Taqrîb At- Tahdzîb , jil. 1, hal. 139.

5 Sunan Al-Baihaqî, bab MAn-ikhtâra Al-Ifrâd, jil. 5, hal. 5. Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib adalah termasuk tingkatan keempat

perawi hadis. Ia meninggal dunia di Syam pada tahun 90 Hijriah. Silakan Anda rujuk Taqrîb At-Tahdzîb , jil. 1, hal. 448. Dan saudaranya, Hasan termasuk tingkatan ketiga perawi hadis. Ia meninggal dunia pada tahun 100 Hijriah. Para penulis kitab Shihâh meriwayatkan hadis mereka berdua. Silakan merujuk Taqrîb At-Tahdzîb, jil. 1, hal. 171.

B AB III: P ASAL K ETIGA 305

i. Diriwayatkan dari Abu Dzar bahwa ia berkata: “Mut‘ah haji hanya dikhususkan untuk para sahabat Muhammad.” j. Menurut sebuah riwayat, ia berkata: “Mut‘ah haji adalah sebuah keringanan bagi kami (semata).”

k. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Sya‘tsâ’ bahwa ia berkata: “Aku pernah mendatangi Ibrahim An-Nakha‘î dan Ibrahim At-Taimî

seraya berkata, ‘Aku ingin mengumpulkan antara ibadah haji dan umrah pada tahun ini.’ Ibrahim An-Nakha‘î menjawab, ‘Akan tetapi, ayahmu tidak pernah berkeinginan demikian.’” Kemudian, ia meriwayatkan dari Ibrahim At-Taimî, dari ayahnya bahwa ia pernah melewati Abu Dzar ra. di Rabadzah dan ia mengutarakan masalah ini k epadanya. Abu Dzar menjawab: “Hal itu hanya dikhususkan untuk kami semata.” Di dalam Sunan Al-Baihaqî disebutkan bahwa dalam menanggapi orang yang melakukan ibadah haji, lalu mengubahnya dengan ibadah umrah, Abu Dzar berkata: “Hal ini hanya untuk para jamaah yang pernah melakukan ibadah haji bersama Rasulullah saw.” 1

Analisa Hadis

Imam mazhab Hanbaliah, Ahmad bin Hanbal memberikan catatan atas hadis ketujuh seraya menulis: “Menurut pendapatku, hadis Bilâl bin Hârits tidak terbukti keberadaannya. Aku tidak meyakininya dan kami tidak mengenal orang ini.” Yaitu, Hârits bin Bilâl.

1 Dua riwayat terakhir (hadis j dan k) disebutkan secara berurutan di dalam Shahîh Muslim , hal. 897, hadis ke-160-163, Syarah An-Nawawî, jil. 8, hal. 203, Sunan Ibn

Mâjah , hal. 994, hadis ke-2985, Sunan Abi Dâwûd, jil. 2, hal. 161, hadis ke-1807 dengan sedikit perbedaan redaksi riwayat, Sunan Al-Baihaqî, jil. 5, hal. 22, hadis ke-

9, 10, dan 12 dan jil. 4, hal. 345, bab Al- ‘Umrah fî Asyhur Al-Haj, dan di dalam Al- Muntaqâ , hadis ke-2430. Abdurrahman bin Abi Sya‘tsâ’ Salîm bin Aswad Al-Muhâribî. Ibn Hajar berkata: “Ia adalah orang dapat diterima dan termasuk dari tingkatan keenam perawi hadis. Ia hanya memiliki satu hadis yang dinukil oleh semua orang. Silakan merujuk At- Tahdzîb , jil. 6, hal. 194 dan Taqrîb At-Tahdzîb, jil. 1, hal. 484. Ibrahim bin Yazîd bin ‘Amr Al-Kûfî An-Nakha‘î. Ia meninggal dunia pada tahun 95 atau 96 Hijriah. Silakan merujuk At-Tahdzîb, jil. 1, hal. 177, Taqrîb At-Tahdzîb, jil. 1, hal. 46, Al- Jam‘ baina Rijâl Ash-Shahîhain, jil. 1, hal. 18-19. Mungkin nama Ibrahim At- Taimî adalah Abu Asmâ’ Al-Kûfî bin Yazîd bin Syuraik, dari kabilah Tamîm Ar-Ribâb. Ia meninggal pada tahun 92 atau 94 Hijriah di dalam penjara Hajjâj. Silakan Anda rujuk At-Tahdzîb, jil. 1, hal. 176, Taqrîb At-Tahdzîb, jil.

1, hal. 46, Al- Jam‘ baina Rijâl Ash-Shahîhain, jil. 1, hal. 19.

B AB III: P ASAL K ETIGA

Ia melanjutkan: “Menurut pendapatku, seandainya pun Hârits bin Bilâl dikenal, hanya saja sebelas orang dari sahabat Nabi saw. meriwayat-kan

(hukum bolehnya) membatalkan (ibadah haji menjadi ibadah umrah). Jika demikian, di manakah letak Hârits bin Bilâl dibandingkan dengan mereka itu?” 1

Yang dimaksud oleh imam mazhab Hanbaliah dari riwayat sebelas orang sahabat tersebut adalah membatalkan ihram dan menikmati masa tahallul antara waktu ibadah umrah dan haji. Mungkin yang dia maksud dengan “tidak mengenal Hârits” adalah tidak mengenal ke-tsiqah-annya.

Imam Ahmad bin Hanbal juga memberikan catatan atas hadis Abu Dzar seraya berkata: “Semoga Allah mencurahkan rahmat atas Abu Dzar. Umrah Tam atu‘ termaktub di dalam kitab Dzat Yang Maha Pengasih, ‘Barang siapa melakukan umrah sebelum haji.’”

Imam mazhab Hanbaliyah ini menginginkan bahwa hukum ayat ini adalah umum dan tidak dikhususkan untuk sebagian orang tertentu. Bagaimana mungkin Abu Dzar akan menentang ayat tersebut dengan ucapannya itu sementara ia lalai bahwa riwayat itu dipalsukan atas nama dirinya, sebagaimana banyak riwayat lain yang telah dipalsukan atas nama para sahabat yang lain?!

(Sebagaimana dinisbatkan kepada Abu Dzar), masalah ini juga dinisbatkan kepada Rasulullah bahwa beliau mengerjakan ibadah haji secara terpisah (tanpa umrah) dan juga kepada Imam Ali bahwa beliau pernah berkata kepada putranya, Muhammad: “Wahai anakku, laku-kanlah ibadah haji secara terpisah (tanpa umrah.” Padahal kita lihat sebelumnya bagaimana beliau menentang Khalifah Utsman (dalam masalah ini).

Begitu juga halnya berkenaan dengan riwayat yang diriwayatkan dari Sa‘îd bin Mûsâyyib bahwa seorang sahabat Rasulullah saw. menjumpai Umar seraya bersaksi di hadapannya bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw. melarang pelaksanaan ibadah umrah sebelum ibadah haji pada saat beliau sakit yang mengakibatkan beliau wafat. Aku tidak tahu siapakah sahabat tersebut? Dan mengapa Umar tidak pernah mengguna-kan ucapan sahabat ini sebagai saksi selama masa kekuasaannya? Tidak juga Utsman, Mu‘âwiyah, kedua anak Zubair, dan begitu juga selain mereka?

1 Sunan Ibn Mâjah, kitab Al-Manâsik, bab Man Qâla Kâna Faskh Al-Haj lahum Khîshshah , hal. 994. Silakan Anda rujuk catatan atas hadis ke-2429 tersebut dalam

buku Al-Muntaqâ min Akhbâr Al-Mushthafâ, karya Ibn Taimiyah, jil. 2, hal. 238. Ibn Katsîr menyebutkannya di dalam ringkasan At-Târîkh-nya, jil. 5, hal. 166.

B AB III: P ASAL K ETIGA 307

Seluruh hadis ini dan begitu juga hadis-hadis yang lain telah dipalsukan pada masa-masa setelah mereka dengan tujuan untuk menjustifikasi sikap para khalifah dalam mengharamkan mut‘ah haji. Alangkah jitunya pendapat Ibn Al-Qayyim di dalam Zâd Al- Ma‘âd dan Ibn Hazm di dalam Al- Muhallâ ketika menanggapi masalah ini. Ibn Al- Qayyim berkata: “Kami menjadikan Allah sebagai saksi kami. Seandainya kita berihram untuk ibadah haji, wajib bagi kita untuk mengubahnya menjadi ibadah umrah demi menghindari kemurkaan Rasulullah saw. dan mengikuti perintah beliau. Demi Allah, hukum ini tidak pernah dihapus pada saat beliau masih hidup dan juga setelah beliau meninggal dunia, serta tidak benar satu huruf pun yang menentangnya dan juga hukum ini tidak dikhususkan hanya untuk para sahabat beliau semata sehingga tidak meliputi orang-orang setelah mereka. Bahkan, Allah swt. telah memerin-tahkan Surâqah untuk menanyakan apakah hukum ini dikhususkan hanya untuk mereka saja? Beliau menjawab: “Hukum ini tetap ada untuk selama-lamanya.” Kami tidak tahu apakah yang harus kita utamakan atas hadis-hadis tersebut dan atas perintah pasti yang Rasulullah murka terhadap orang yang menentangnya?

Alangkah jitunya tindakan Imam Ahmad. Ketika Salamah bin Syabîb berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Abdillah, seluruh tindakanmu dalam pandanganku adalah bajik kecuali satu hal.’ Imam Ahmad bertanya, ‘Apa itu?’ Ia menjawab, ‘Engkau berpendapat ibadah haji harus diganti menjadi ibadah umrah.’ Imam Ahmad menimpali, ‘Wahai Salamah, aku melihat kamu masih memiliki akal. Berkenaan dengan masalah ini, aku memiliki sebelas hadis sahih diriwayatkan dari Rasulullah saw. Apakah aku harus

meningg 1 alkannya lantaran ucapanmu itu?’” Ia juga berkata: “Empat belas orang sahabat telah meriwayatkan

perintah Rasulullah saw. untuk mengubah ibadah haji menjadi ibadah umrah. Seluruh riwayat mereka adalah sahih. Mereka adalah dua orang Ummul Mukminin, ‘Aisyah dan Hafshah, Ali bin Abi Thalib, Fathimah putri Rasulullah saw., Asmâ’ binti Abu Bakar Ash-Shiddîq, Jâbir bin Abdillah, Abu Sa‘îd Al-Khudrî, Barrâ’ bin ‘Âzib, Abdullah bin Umar, Anas bin Mâlik, Abu Mûsâ Al- Asy‘arî, Abdullah bin Abbas, Saburah bin Ma‘bad Al-Juhanî, dan Surâqah bin Mâlik Al- 2 Mudlajî ra.”

1 Zâd Al- Ma‘âd, pasal Fî Ihlâl Man Lam Yakun Sâqa Al-Hady Ma‘ah, jil. 2, hal. 247; Al-Muhallâ , karya Ibn Hazm, jil. 7, hal. 100-110.

2 Zâd Al- Ma‘âd, jil. 1, hal. 246.

B AB III: P ASAL K ETIGA

Ibn Hazm berkata: “Jâbir bin Abdillah ... dan lima belas orang sahabat— semoga Allah mencurahkan keridaAn-Nya atas mereka —telah meriwayatkan

perintah Rasulullah saw. bagi orang yang tidak membawa binatang kurban untuk mengubah ibadah hajinya menjadi ibadah umrah dan kemudian ber- tahallul dengan perintah yang sangat tegas. Dua puluh orang lebih tabiin telah meriwayatkan hal ini dari mereka dan telah meriwayatkan hukum ini dari mereka orang-orang yang jumlah mereka tidak dapat dihitung kecuali oleh Allah ‘Azza Wajalla. Oleh karena itu, tak seorang pun memiliki alasan untuk melarikan diri dari hukum ini.” 1

Ia berkata: “Nabi saw. telah secara umum memerintahkan setiap orang yang tidak membawa binatang kurban untuk ber-tahallul setelah ibadah umrah. Dan ini adalah perintah terakhir beliau ketika beliau berada di bukit Shafa, di Mekkah. Beliau juga memberitahukan bahwa umrah Tamatu‘ adalah lebih utama daripada membawa binatang kurban dan beliau menampakkan penyesalan ketika beliau sendiri tidak dapat melakukannya, serta bahwa hukum ini adalah kekal hingga hari kiamat. Hukum yang memiliki kriteria seperti ini, pasti teramankan dari penghapusan. Barang siapa memperbolehkan penghapusan hukum yang memiliki kriteria tersebut, berarti ia telah memperbolehkan kebohongan atas diri Rasulullah saw. Dan hal ini menyebabkan kekufuran jika dilakukan secara sengaja. Di dalam hadis itu ditegaskan bahwa ibadah umrah telah masuk (menjadi bagian dari) ibadah haji. Dan ini adalah pendapat kami. Hal itu dikarenakan ibadah haji tidak terlaksana kecuali dengan adanya umrah yang telah dilaksanakan terlebih dahulu (sebelum ibadah haji) sehingga ibadah haji semacam ini dinamakan haji Tamatu‘ atau dengan adanya umrah yang dilakukan berbarengan dengan ibadah haji tersebut. Hukum ibadah haji tidak lebih dari ini.” 2

Ia berkata: “Abu Mûsâ memberikan fatwa dengan diperbolehkannya haji Tamatu‘ selama kekuasaan Abu Bakar dan pada permulaan kekhalifahan Umar. Ia menarik kembali fatwanya ketika mendengar berita bahwa Umar melarangnya, dan hal ini tidak dapat dijadikan hujah atas riwayat yang ia riwayatkan dari Nabi (bahwa haji Tamatu‘ diperbolehkan). Kiranya cukup (sebagai hujah) bagi kita ucapan yang ia luntarkan kepada Umar, ‘Hukum baru apa ini yang kau ciptakan tentang manasik haji?’, dan

1 Al-Muhallâ, jil. 7, hal. 101. 2 Al-Muhallâ, jil. 7, hal. 103. Pada pembahasan selanjutnya, kami telah menyebutkan

ringkasan ucapan Ibn Hazm berkenaan dengan masalah ini.

B AB III: P ASAL K ETIGA 309

Umar tidak menentangnya. Adapun penafsiran Umar tentang firman Allah swt., ‘Dan sempurnakanlah haji dan umrah untuk Allah’, tidak ada kesempurnaan (haji dan umrah) kecuali telah diajarkan oleh Rasulullah kepada seluruh masyarakat, karena beliaulah yang telah menerima ayat tersebut dan mendapatkan perintah untuk menjelaskan apa yang telah diturunkan kepada beliau.

Adapun tentang mengapa beliau tidak ber-tahallul sebelum menyembelih binatang kurban, Hafshah binti Umar telah meriwayatkan alasan tindakan beliau itu dari diri beliau sendiri. Hafshah berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada Rasulullah, ‘Mengapa para jamaah yang lain ber- tahallul sedangkan Anda tidak ber-tahallul dari ibadah umrah Anda?’ Beliau menjawab, ‘Aku telah mengalungi leher binatang kurbanku. Oleh karena itu, aku tidak boleh ber-tahallul sebelum menyembelihnya.’ Ali juga meriwayatkan hal ini.

Hal ini adalah lebih utama untuk diikuti daripada pendapat yang telah dicetuskan oleh Umar.” 1

Di tempat lain, Ibn Hazm menyebutkan seluruh riwayat yang menjelaskan bahwa mengubah ibadah haji (menjadi ibadah umrah) hanyalah dikhususkan untuk para sahabat Rasulullah saw. Kemudian, ia membuktikan kebatilan seluruh riwayat itu dengan pertanyaan Surâqah kepada Rasulullah ketika beliau memerintahkan untuk mengubah ibadah haji menjadi ibadah umrah: “Wahai Rasulullah, apakah kewajiban ini hanya untuk tahun ini saja atau untuk selamanya?” Beliau menjawab: “Untuk selama-lamanya.”

Kemudian, ia melanjutkan: “Dengan demikian, batallah pengkhu- susan dan penghapusan, dan hukum ini teramankan dari keduanya untuk selamanya. Demi Allah, orang yang telah mendengar riwayat ini dan lalu

menentang perintah Rasulullah saw. tersebut dengan alasan ucapan seseorang, meskipun ucapan dua orang Ummul Mukminin Hafshah dan ‘Aisyah serta kedua ayah mereka, adalah binasa. Dan bagaimana (tidak akan binasa) jika ia hanya beralasan dengan berita-berita bohong bak rumah laba- laba —yang dikenal sebagai rumah paling rapuh—yang diriwayatkan dari Hârits bin Bilâl dan orang-orang setipe dengannya yang tidak pernah

1 Al-Muhallâ, jil. 7, hal. 102. “Hal ini adalah lebih utama untuk diikuti daripada pendapat yang telah dicetuskan

oleh Umar”, maksudnya adalah sabda Rasulullah dan perintah beliau adalah lebih utama untuk diikuti daripada pendapat yang telah dicetuskan oleh Umar.

B AB III: P ASAL K ETIGA

dikenal di dalam sejarah siapakah mereka itu sebenarnya. Dan tak seorang pun berhak menafsirkan sabda Rasulullah saw. yang menegaskan, ‘Ibadah umrah telah masuk (menjadi satu) dengan ibadah haji hingga hari k iamat’ dengan penafsiran bahwa beliau hanya meng-inginkan bolehnya pelaksanaan ibadah umrah pada bulan-bulan haji semata, dan menolak penafsiran yang telah dipaparkan oleh Jâbir dan Ibn Abbas bahwa Nabi mengingkari hukum wajibnya mengubah ibadah haji menjadi ibadah umrah itu hanya khusus untuk mereka semata atau untuk tahun itu saja dan tidak berjalan untuk tahun-tahun berikutnya. Barang siapa melakukan penafsiran semacam ini, maka ia telah berbohong atas Rasulullah secara terang- terangan.”

Ia berkata: “Sebagian dari mereka menciptakan sebuah bencana besar. Yaitu, mereka meriwayatkan sebuah riwayat yang pasti dari Ibn Abbas bahwa para sahabat memandang pelaksanaan ibadah umrah pada bulan- bulan haji sebagai kekejian yang paling keji di atas bumi ini. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa beliau memerintahkan para sahabat untuk (merubah ibadah haji menjadi ibadah umrah) itu hanya dengan tujuan supaya mereka tahu ibadah umrah diperbolehkan pada bulan-bulan haji, (tidak lebih).

Ini adalah sebuah tuduhan yang sangat besar. Pertama, mereka telah berbohong atas Nabi ketika mengklaim bahwa beliau memerintahkan untuk mengubah ibadah haji menjadi ibadah umrah itu hanya untuk memberitahukan bahwa ibadah umrah diperbolehkan pada bulan-bulan haji. (Kedua), seandainya benar —ma‘âdzallâh—bahwa beliau memerintahkan demikian hanya untuk tujuan itu, apakah beliau memerintahkan demi-kian itu berdasarkan kebenaran atau kebatilan? Jika mereka menjawab berdasarkan kebatilan, ini berarti mereka telah Al-Kâfîr. Dan jika mereka menjawab berdasarkan kebenaran, maka bagaimana pun dan atas dasar tendensi apa pun perintah beliau itu, perintah itu akan menjadi sesuatu yang benar setelah beliau mengeluarkan perintah. Kemudian, seandainya perintah tersebut adalah sebuah kegilaan yang mereka klaim, maka untuk tujuan apa beliau mengkhususkan (hukum tersebut) hanya untuk orang yang membawa binatang kurban, bukan untuk orang yang tidak membawa binatang kurban?

Dan yang lebih besar dari semua tuduhan itu adalah, bahwa orang yang berpendapat demikian mengetahui bahwa Nabi telah melakukan ibadah umrah bersama para sahabat pada bulan Dzulqa‘dah tahun demi tahun sebelum penaklukan kota Mekkah. Setelah itu, beliau juga telah melakukan

B AB III: P ASAL K ETIGA 311

ibadah umrah pada bulan Dzulhijjah pada tahun penaklukan kota Mekkah itu . Kemudian, pada peristiwa haji Wadâ‘ di bulan Dzul-hijjah beliau bersabda kepada para sahabat, ‘Barang siapa di antara kamu ingin melakukan ihram untuk ibadah umrah, ia dapat melakukannya, barang siapa ingin melakukan ihram untuk ibadah haji dan umrah, ia dapat melakukannya, dan barang siapa ingin melakukan ihram untuk ibadah haji, maka ia dapat melakukannya.’ 1 Maka, mereka pun melakukan semua itu.

Ya Allah, wahai muslimin! Alangkah tolol dan bodohnya muslimin jika —dengan segala penegasan tersebut—mereka tidak mengetahui bahwa ibadah umrah boleh dilaksanakan pada bulan-bulan haji! Sedangkan mereka pernah melakukannya bersama Rasulullah saw. tahun demi tahun di bulan-bulan haji. Apakah mungkin mereka tidak mengetahui hukum kebolehan tersebut (dengan adanya seluruh riwayat dan praktek amaliah tersebut) sehingga masih perlu beliau (menyuruh mereka untuk) membatalkan ibadah haji dan meniatkannya sebagai ibadah umrah hanya sekedar supaya mereka mengetahui kebolehan pelaksanaan ibadah umrah pada bulan-bulan haji?! Demi Allah, seekor keledai dapat untuk menge- tahui jalannya melalui petunjuk yang lebih minim dari ini. Alangkah beraninya mereka melakukan segala tindakan untuk melawan sunah-sunah yang sudah pasti demi menolong keputusan para pihak penguasa! Kadang- kadang mereka menggunakan cara berbohong yang keji, kadang-kadang dengan cara ketololan yang telah menjadi rahasia umum, dan kadang- kadang dengan meluntarkan ucapan yang tak berguna. Cukuplah Allah bagi kita semua dan Dialah sebaik- baik pengawas.”

Ibn Al-Qayyim, Ibn Hazm, dan seluruh pengikut mazhab Imam Ahmad —sebenarnya—lalai bahwa faktor yang mendorong mereka meng- ingkari umrah Tamatu‘ bukanlah kebodohan mereka atas riwayat-riwayat sahih yang telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. secara mutawâtir itu sehingga mereka masih perlu untuk diperkenalkan kepadanya, dan juga sebab pendapat tersebut bukanlah kebodohan mereka terhadap arti dan maksud riwayat-riwayat tersebut sehingga masih perlu mereka diper- kenalkan kepada arti dan maksudnya. Faktor utama bagi mereka untuk memilih pendapat tersebut adalah menjustifikasi sikap para khalifah penguasa berkenaan dengan hukum syariat tersebut. Demi merealisasikan

1 Yang ia maksud adalah perintah untuk melakukan umrah Tamatu —untuk pertama kalinya —bersifat pilihan (tahkyîrî) pada peristiwa haji Wadâ‘, dan perintah pasti

untuk melakukan itu turun ketika beliau sedang melakukan bagian terakhir sa‘i.

B AB III: P ASAL K ETIGA

tujuan itu mereka telah mengerahkan seluruh usaha mereka di sepanjang abad. Di antara mereka ada yang memalsukan hadis-hadis dengan tujuan untuk menggapai kebaikan dan ada sebagian lain yang mencarikan dalih (pembenaran) atas tindakan para khalifah itu, seperti yang telah dilakukan oleh Al- Baihaqî. Ia berkata: “Dengan perintahnya untuk meninggalkan ibadah umrah Tam atu‘ sebelum melaksanakan ibadah haji itu, Umar ra. hanya menginginkan kesempurnaan ibadah umrah yang telah diperin- tahkan oleh Allah ‘Azza Wajalla dan supaya Baitullah diziarahi sebanyak dua kali pada setiap tahunnya. Ia juga tidak menghendaki masyarakat melakukan umrah Tamatu‘ sebelum ibadah haji, karena dengan itu mereka hanya akan mengunjungi Baitullah sebanyak sekali dalam setahun.”

Ia juga membela para khalifah lain selainnya dengan ucapannya: “Mereka telah mengikuti Umar bin Khatab ra. dalam ketentuan tersebut demi menggapai kebaikan.” 1

Dalam menanggapi masalah ini, sebagian ulama mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan dan mereka tidak dapat membedakan antara yang palsu dan yang sahih, sebagian dari mereka menentang dirinya sendiri, dan golongan ketiga berijtihad dan menyimpulkan dari sirah para khalifah hukum-hukum tertentu yang tidak didasari oleh dalil, Al- Qur’an, dan sunah. Peneliti yang serius akan dapat memperoleh kebenaran jika ia mau meneliti seluruh ucapan dan pernyataan mereka berkenaan dengan masalah ini dan —(dapat dipastikan)—ia tidak akan menemukan pendapat mereka yang paten atau benar.

Untuk membuktikan klaim kami tersebut, kami akan menambahkan kepada pembahasan yang telah kami paparkan itu komentar An-Nawawî yang terdapat di dalam Syarah Shahîh Muslim secara ringkas. Ia berkata: “Berkenaan dengan ketiga jenis ibadah haji itu, para ulama berbeda pendapat manakah yang lebih utama. Syafi‘î, Mâlik, dan ulama yang tak sedikit berpendapat bahwa yang paling utama adalah haji Ifrâd, kemudian haji Tamatu‘, dan lalu haji Qirân. Ahmad dan selainnya berpendapat bahwa yang paling utama adalah haji Tamatu‘. Abu Hanifah dan ulama lain berpendapat bahwa yang paling utama adalah haji Qirân. Kedua mazhab ini adalah dua pendapat Syafi‘î yang lain. 2 Menurut pendapat yang benar, yang

lebih utama adalah haji Ifrâd, kemudian haji Tamatu‘, dan lalu haji Qirân.

1 As-Sunan Al-Kubrâ, karya Al-Baihaqî, jil. 5, hal. 21. 2 Perbedaan pendapat Syafi‘î menunjukkan bahwa ia mengalami kebingungan dalam

menentukan hukum syariat (berkenaan dengan masalah ini).

B AB III: P ASAL K ETIGA 313

Adapun berkenaan dengan ibadah haji Rasulullah saw., para ulama berbeda pendapat tentang hal itu apakah ibadah haji (yang pernah beliau laksanakan) bersifat haji Ifrâd, haji Tamatu‘, atau haji Qirân. Ini adalah tiga pendapat yang dimiliki oleh para ulama sesuai dengan mazhab mereka masing-masing tersebut, dan setiap golongan lebih mengutamakan satu jenis haji dan mengklaim bahwa haji Nabi saw. seperti pendapat yang telah dipilih oleh mereka ...

Di antara dalil-dalil yang mengindikasikan kelebihutamaan haji Ifrâd adalah, bahwa Khulafâ’ur Râsyidîn ra. selalu melakukan haji Ifrâd sepeninggal Nabi saw. Begitu juga Abu Bakar, Umar, dan Utsman senantiasa mengerjakan haji Ifrâd. Dan tindakan Ali ra. berbeda (dalam masalah ini). 1 Seandainya haji Ifrâd bukanlah yang paling utama dan mereka mengetahui bahwa Nabi saw. melaksanakan haji Ifrâd, niscaya mereka tidak akan selalu melaksanakan ibadah haji demikian. Mereka adalah para pemimpin yang menjadi bendera petunjuk dan para leader Islam yang selalu menjadi panutan pada masa mereka sendiri dan setelah periode mereka. Maka, bagaimana mungkin mereka berhak untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tindakan Rasulullah saw.?

Adapun perbedaan (tindakan) yang telah diriwayatkan dari Ali ra. dan selainnya, mereka melakukan ini hanya dengan tujuan untuk menunjuk- kan ke-boleh-an hal itu, 2 dan telah ditegaskan di dalam hadis yang sahih penjelasan yang memaparkan masalah ini.

Dalil yang lain adalah, bahwa haji Ifrâd tidak memerlukan dam, menurut kesepakatan (ulama). Hal itu karena haji ini telah sempurna. Sedangkan dam ini diwajibkan dalam haji Tamatu‘ dan Qirân. (Pada hakikatnya), dam ini adalah sejenis tumbal sulam atas beberapa kekurangan (yang terdapat di dalam kedua jenis haji ini), seperti tidak berihram dari Mîqât dan lain sebagainya. Dengan demikian, sesuatu yang tidak mem- butuhkan tambal sulam pasti lebih utama.

1 Jika yang ia maksud adalah perbedaan tindakan Imam Ali dengan tindakan para Khalifah yang lain berkenaan dengan masalah —sebagaimana, hal ini dapat dipahami

dari pernyataannya setelah ini, maka ini adalah sesuatu yang benar, dan jika yang ia maksud adalah, bahwa tindakan-tindakan beliau bertentangan antara satu tindakan dengan tindakan yang lainnya, maka, hal ini adalah sebuah keboho-ngan dan tuduhan atas beliau.

2 Imam Ali telah menegaskan bahwa beliau menentang mereka demi menghidupkan kembali sunah Rasulullah saw. yang telah mereka larang. Silakan merujuk pemba-

hasan sebelum ini “Pada Masa Utsman”.

B AB III: P ASAL K ETIGA

Dalil yang lain adalah, bahwa seluruh umat sepakat atas diboleh-kannya haji Ifrâd tanpa ada unsur kemakruhan, 1 sedangkan Umar dan Utsman,

serta para sahabat selain mereka membenci haji Tamatu‘ dan Qirân. Oleh karena itu, haji Ifrâd adalah lebih utama. Wallâhu A‘lam.

Jika seseorang bertanya, bagaimana mungkin terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat dalam menyifati haji Rasulullah saw., sedangkan haji beliau adalah satu haji dan setiap individu dari mereka memberitahukan kesaksiannya atas satu peristiwa? 2

Al-Qâdhî ‘Iyâdh berkata, ‘Para ulama telah banyak mengutarakan pendapat masing-masing berkenaan dengan hadis-hadis tersebut. Ada yang

yang berkata benar dan sadar, ada yang teledor dan tampak memaksakan diri, ada yang bertele-tele, dan ada juga yang meringkas. Orang yang paling panjang lebar membah as masalah ini adalah Abu Ja‘far Ath-Thahâwî Al- Hanafî. Ia membahas masalah ini dalam seribu halaman lebih. Abu Ja‘far Ath-Thabarî telah membahasnya hampir sama dengan pembahasannya. Kemudian, Abu Abdillah bin Abi Shafrah, lalu Al-Muhallab, Abu Abdillah Al-Murâbith, Al-Qâdhî Abul Hasan bin Qashshâr Al-Baghdâdî, Al-Hâfizh Abu Umar bin Abdul Bar, dan selain mereka.’ 3

Al-Qâdhî ‘Iyâdh melanjutkan, ‘Yang lebih utama untuk diutarakan dalam masalah ini sesuai dengan penelitian atas ucapan mereka yang telah

kami lakukan dan kami pilih dari pilihAn-pilihan mereka yang lebih bisa menggabung seluruh riwayat tersebut dan lebih sesuai dengan susunan hadis adalah, bahwa Nabi saw. membolehkan bagi umat manusia untuk melakukan ketiga jenis haji tersebut supaya hal ini menunjukkan atas ke- boleh-an seluruh jenis haji itu. Seandainya beliau memerintahkan salah

1 Umat berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah ini. Rasulullah menentang mereka ketika beliau murka pada peristiwa haji Wadâ‘ atas orang yang ragu-ragu

dalam membatalkan haji Ifrâd (yang telah mereka mulai) untuk menggantinya dengan haji Tamatu‘. Para imam Ahlul Bait as.—karena mengikuti Rasulullah saw.—berbeda pendapat dengan mereka. Dan para pengikut mazhab Ahlul Bait dan selain mereka yang rida menerima sunah Rasulullah saw. juga menentang mereka. Dengan demikian, umat (Islam) belum mencapai kesepakatan dalam, hal ini.

2 Perbedaan pendapat ini muncul setelah para Khalifah menentang sunah Rasulullah saw. di mana sebagian dari mereka meriwayatkan banyak hadis yang bertentangan

dengan realita sebagai usaha untuk menjustifikasi tindakan para Khalifah tersebut.

3 Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah telah mengikuti mereka dalam menulis tema ini di dalam Zâd Al- Ma‘âd-nya. Ibn Hazm dan kami juga ikut-ikutan menulis masalah ini.

Selama beberapa abad, telah ditulis ribuan, hal. berkenaan dengan tema. Seandainya muslimin bersedia mencukupkan diri dengan penegasan Al- Qur’an dan sunah, niscaya satu, hal. kecil dapat cukup bagi mereka.

B AB III: P ASAL K ETIGA 315

satunya, niscaya orang lain akan menyangka bahwa yang telah diperintah- kan itu tidak akan mencukupi sehingga dengan itu jenis-jenis haji yang lain akan ditambahkan kepadanya. Di samping itu, setiap orang akan memberitahukan apa yang telah diperintahkan oleh beliau dan memboleh- kannya bagi dirinya, serta menisbatkannya kepada Nabi saw., bisa jadi karena dasar perintah beliau untuk melakukannya atau karena penakwilan yang te 1 lah ia lakukan berkenaan dengan masalah ini...’”

Di tempat yang lain dari kitab Syarah Shahîh Muslim-nya, An-Nawawî berkata: “Al-Mâzirî berkata, ‘Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan mut‘ah yang telah dilarang oleh Umar. Menurut sebagian pendapat, mut‘ah ini adalah sebuah perubahan niat dari ibadah haji menjadi ibadah umrah dan menurut pendapat yang lain, mut‘ah ini adalah umrah di dalam bulan-bulan haji dan kemudian melaksanakan ibadah haji pada tahun itu juga. Atas dasar ini, Umar melarangnya dengan tujuan untuk menganjurkan 2 pelaksanaan haji Ifrâd sebagai ibadah haji yang paling utama, bukan ia meyakini kebatalan atau keharaman mut‘ah tersebut.’

Al-Qâdhî ‘Iyâdh berkata, ‘Lahiriah hadis Jâbir, ‘Imrân, dan Abu Mûsâ adalah, bahwa mut‘ah yang mereka perselisihkan itu adalah membatalkan ibadah haji menjadi ibadah umrah. Oleh karena itu, Umar ra. memukul masyarakat karena mengerjakan mut‘ah ini dan ia tidak memukul mereka gara-gara hanya mengerjakan umrah Tamatu‘ di bulan-bulan haji. Ia

memukul mereka berdasarkan keyakinan yang dimiliki olehnya dan oleh sahabat yang lain bahwa mengubah niat ibadah haji menjadi ibadah umrah hanya dikhususkan pada tahun tersebut, lantaran beberapa hikmah yang telah kami sebutkan sebelum ini. Ibn Abdil Bar berkata, ‘Tidak ada

1 Tidak! Demi Dzat yang telah mengutus beliau dengan membawa kebenaran dan agama yang benar, Rasulullah saw. tidak memerintahkan pada peristiwa haji Wadâ‘

kecuali haji Tamatu‘ dan melarang pelaksanaan jenis haji lainnya, dan tak seorang pun pada masa beliau masih hidup dan sepeninggal beliau yang menyangka bahwa beliau memerintahkan selain haji Tamatu‘. Seluruh pendapat itu diutarakan hanya dalam upaya menjustifikasi tindakan Khalifah, padahal. mereka mengetahui kebatilan pendapat mereka itu. Hingga di sini, kami telah menyebutkan —secara ringkas—komentar An-Nawawî yang terdapat di dalam kitabnya, Syarah Shahîh Muslim, bab Bayân Wujûh Al-Ihrâm wa Annahû Yajûzû Ifrâd Al-Haj wa At- Tamattu‘, jil. 8, hal. 134-137.

2 Khalifah Umar ra. melarang haji Tamatu‘ dan menghukum orang yang melaksanakannya, serta memerintahkan supaya mengerjakan haji dan umrah Ifrâd,

sebagaimana, hal ini ditegaskan oleh riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan sebelum ini. Para ulama mengutarakan ini demi mencari dalih untuk membenarkan tindakan Khalifah.

B AB III: P ASAL K ETIGA

perbedaan di kalangan ulama bahwa yang dimaksud dengan mut‘ah yang terdapat di dalam firman Allah, ‘Barang siapa melakukan umrah terlebih dahulu sebelum haji, maka ia harus [menyembelih] binatang kurban’ adalah melakukan ibadah umrah di bulan-bulan haji sebelum melakukan ibadah haji. Di antara jenis mut‘ah yang lain adalah haji Qirân, lantaran ia dapat menikmati ketidakwajiban melakukan perjalanan lagi dari negerinya untuk melakukan manasik yang kedua kalinya. Dan di antara jenis mut‘ah yang lain juga

ad alah membatalkan ibadah haji dan menggantinya dengan ibadah umrah.’ Ini adalah pendapat Al-Qâdhî. Menurut pendapatku, pendapat yang dapat dipilih adalah, bahwa Umar, Utsman, dan selain mereka hanya melarang mut‘ah yang memiliki arti melakukan ibadah umrah di bulan-bulan haji yang kemudian disusul oleh ibadah haji pada tahun itu juga. Maksud mereka hanyalah pelarangan yang bersifat lebih utama dengan tujuan untuk menganjurkan pelaksanaan haji Ifrâd mengingat jenis ibadah haji ini adalah haji yang paling utam 1 a ....”

Hingga di sini usailah pendapat yang telah kami nukil dari Syarah An- Nawawî secara ringkas. Para ulama tersebut dan masih banyak lagi selain mereka yang telah menulis ribuan halaman dalam bab ini —sebenarnya—telah membaca firman Allah yang berbunyi : “Barang melakukan umrah sebelum melakukan ibadah

haji”, mengetahui riwayat-riwayat sahih dan mutawâtir yang telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. berkenaan dengan ketegasan beliau dalam memerintahkan mut‘ah haji, dan membaca juga pelarangan Umar atas m ut‘ah ini, hukumannya yang diberikan karena itu, dan alasan yang telah

diberikan olehnya bahwa haji Ifrâd adalah lebih sempurna untuk ibadah umrah dan haji dan di dalam haji Ifrâd ini tersembunyi musim semi penduduk Mekkah. Meskipun demikian, kita masih membaca pendapat- pendapat yang kontradiktif bahwa Rasulullah saw. memper-bolehkan haji Tamatu‘ untuk sebagian golongan, haji Ifrâd untuk sebagian yang lain, dan haji Qirân untuk golongan ketiga, dan karena perbedaan sabda Rasulullah saw. pada peristiwa haji Wadâ‘, pendapat para ulama pun berbeda dalam masalah ini; Umar hanya melarang pembatalan ibadah haji (dan penggantiannya dengan ibadah umrah) dan ia tidak melarang pelaksanaan haji Tamatu‘, dan pelarangan yang telah dilakukan oleh Umar, Utsman, dan selain mereka hanyalah pelarangan yang bersifat lebih utama dengan tujuan

1 Syarah An-Nawawî, jil. 8, hal. 170, di dalam bab yang telah kami sebutkan sebelum ini.

B AB III: P ASAL K ETIGA 317

untuk menganjurkan pelaksanaan haji Ifrâd mengi-ngat ibadah haji ini adalah haji yang paling utama.

Anda sendiri melihat bagaimana sebuah hukum yang bertentangan dengan kitab dan sunah menjadi sebuah hukum yang lebih utama, dan bagaimana juga anjuran untuk melakukan sesuatu terlaksana dengan hukuman, pemukulan, dan pembotakan!

Dengan semua tindakan itu, tidak selayaknya kita mengecam para ulama, seperti yang telah dilakukan oleh Ibn Hazm. Tetapi, selayaknya kita mencarikan dalih dan alasan untuk mereka, karena mereka —di balik semua tindakan itu —menginginkan kebaikan dan justifikasi atas tindakan para khalifah. Dengan tujuan ini, mereka memalsukan banyak hadis atas nama Rasulullah, para imam Ahlul Bait as., dan para pembesar sahabat. Dan dalam rangka menjustifikasi tindakan para khalifah itu juga, mereka menamakan tindakan itu dengan ijtihad dan mengatakan: “Mereka telah menakwilkan kebaikan.” Sebenarnya, para ulama juga telah menakwilkan kebaikan berkenaan tindakan yang telah mereka lakukan dan ucapan yang telah mereka ucapkan itu.

Dari pembahasan yang lalu, jelas bagi kita bagaimana perbedaan antara hadis-hadis yang dinisbatkan kepada Rasulullah saw. muncul dan bagaimana perbedaan pendapat tersebar di kalangan muslimin sepanjang sejarah. Pada pembahasan berikut ini penjelasan mengenai hal ini.