Perdebatan antara Mereka yang Menghalalkan dan Mereka yang Mengharamkan

6.2.9. Perdebatan antara Mereka yang Menghalalkan dan Mereka yang Mengharamkan

Dalam rangka menghalalkan nikah mut‘ah, pernah terjadi perdebatan antara Ibn Abbas dan beberapa orang, di antaranya adalah Abdullah bin Zubair, sebagaimana hal itu diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahîh-nya dan Al-Baihaqî di dalam As-Sunan-nya. Redaksi riwayat ini dinukil dari kitab pertama. Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair bahwa ia berkata: “Abdullah bin Zubair tinggal di Mekkah. Ia pernah berkata, ‘Beberapa orang yang telah dibutakan hatinya oleh Allah —sebagaimana Dia telah membutakan matanya —memberikan fatwa kehalalan nikah mut‘ah.’ Dengan ucapannya itu, ia ingin menyindir orang itu (Ibn Abbas). Ibn Abbas menimpali, ‘Engkau adalah orang tolol yang tak berarti. Sumpah, nikah mut‘ah sering dilakukan pada masa imam orang-orang yang bertakwa, (yaitu Rasulullah saw).’ Ibn Zubair berkata kepadanya, ‘Coba kau lakukan. Demi Allah, jika engkau melakukannya, aku akan merajam- mu dengan batu.’”

Ibn Syihâb berkata: “Khâlid bin Muhâjir bin Saifullah memberi- tahukan kepadaku bahwa ketika ia duduk bersama seseorang, seseorang mendatanginya seraya menanyakan kepadanya tentang nikah mut‘ah. Orang itu memerintahkan untuk melakukannya. Tiba- tiba Abu ‘Umrah Al- Anshârî berkata, ‘Tunggu sebentar.’ Ia bertanya, ‘Ada apa? ‘Demi Allah, aku pernah melakukannya pada masa imam orang- 1 orang yang bertakwa.’”

Sepertinya perdebatan ini terjadi pada masa Ibn Zubair berkuasa atas Mekkah dan masyarakat sedang berkumpul di Masjidil Haram pada waktu itu. Dan menurut dugaan yang kuat, perdebatan itu terjadi pada waktu

1 Shahîh Muslim, bab Nikâh Al- Mut‘ah, hal. 1026, hadis ke-27; Sunan Al-Baihaqî, jil. 7, hal. 205. Protes Abu ‘Umrah Al-Anshârî itu terdapat dalam buku Al-Mushannaf,

jil. 7, hal. 502. Sa‘îd bin Jubair berkata: “Aku pernah mendengar Abdullah bin Zubair berpidato dengan menyindir Ibn Abbas dan mencela pendapatnya yang menghalalkan nikah mut‘ah. Ibn Abbas berkata, ‘Jika ia jujur, hendaknya ia bertanya kepada ibunya.’ Abdullah bin Zubair menanyakan, hal itu kepada ibunya. Ibunya menjawab, ‘Ibn Abbas betul. Memang begitulah realitanya.’ Ibn Abbas berkata, ‘Jika engkau menghendaki, aku akan menyebutkan nama beberapa orang dari kalangan Quraisy yang dilahirkan dari nikah mut‘ah.’” Silakan merujuk Syarah Ma‘ânî Al-Akhbâr, karya Ath-Thahâwî, bab Nikâh Al- Mut‘ah.

B AB III: P ASAL K ETIGA

khotbah salat Jumat di hadapan muslimin yang tidak berjumlah sedikit. Hal ini dikarenakan Ibn Abbas selalu menghindar dari menghadiri pidato Ibn Zubair di selain salat Jumat yang selalu dihadiri oleh masyarakat luas. Dan juga jelas sekali bahwa Ibn Zubair dan para kaki tangan kekuasaannya tidak memiliki sedikit pun dalil, baik berupa ucapan Rasulullah, tindakan, maupun restu beliau (terhadap sebuah tindakan orang lain) dalam melarang nikah mut‘ah. Jika mereka memilikinya, niscaya mereka akan menghadapi hujah Ibn Abbas bahwa “aku pernah melakukannya pada masa imam orang- orang yang bertakwa” dengan dalil tersebut.

Berbeda dengan para penguasa yang selalu menggunakan logika kekuatan dalam usaha mengharamk an dua jenis mut‘ah pada masa ini, kita mendapatkan orang- orang yang mendukung kehalalan nikah mut‘ah senantiasa menghadapi mereka dengan menghaturkan sunah Rasulullah saw. ketika mereka memiliki kesempatan untuk angkat bicara dan mengutarakan hujah mereka.

Di dalam Shahîh Muslim, Musnad Ahmad, Musnad Ath-Thayâlisî, Sunan Al-Baihaqî , dan buku-buku referensi hadis lainnya, diriwayatkan dari Abu Nadhrah bahwa ia berkata —redaksi riwayat ini dinukil dari kitab pertama: “Aku pernah bersama Jabi bin Abdillah. Tiba-tiba seseorang datang kepadanya seraya berkata, ‘Ibn Abbas dan Ibn Zubair berbeda pendapat tentang dua jenis mut‘ah.’ Jabi menjawab, ‘Kami pernah melakukan kedua- duanya bersama Rasulullah saw., dan kemudian Umar mencegah kami. Setelah itu, kami tidak mel 1 akukannya lagi.’”

Menurut sebuah riwayat: “Aku pernah mengatakan kepada Jâbir bahwa Ibn Zubair melarang nikah mut‘ah dan Ibn Abbas memerin-tahkannya. Jâbir —yang pada waktu itu berada di depan Dârul Hadîts—berkata: “Kami pernah melakukan mut‘ah pada masa Rasulullah saw. Ketika Umar berkuasa, ia berkata, ‘Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla telah menghalalkan bagi Nabi-Nya segala yang Dia kehendaki dan Al- Qur’an telah turun sesuai dengan tempat-tempatnya. Pisahkanlah ibadah hajimu dari ibadah umrahmu dan tingga lkanlah melakukan nikah mut‘ah dengan wanita.

1 Shahîh Muslim, bab Nikâh Al- Mut‘ah, hal. 1023, hadis ke-1405; Musnad Ahmad, jil. 1, hal. 52 dengan perbedaan redaksi dan jil. 3, hal. 325 dan 356, serta pada, hal. 363,

riwayat ini disebutkan secara ringkas; Sunan Al-Baihaqî, jil. 7, hal. 206. Silakan Anda rujuk juga Syarah Ma‘ânî Al-Âtsâr, kitab Manâsik Al-Haj, hal. 401 dan Kanz Al- ‘Ummâl, jil. 8, hal. 293 dan 294.

B AB III: P ASAL K ETIGA 353

Tidak dihadapkan kepadaku seseorang yang melakuan pernikahan hingga suatu masa kecuali aku pasti merajamnya.’” 1

Menurut redaksi riwayat Al- Baihaqî: “Kami pernah melakukan mut‘ah pada masa Rasulullah saw. dan Abu Bakar. Ketika Umar menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan masyarakat seraya berkata, ‘Sesungguh Rasulullah saw. adalah utusan yang satu ini dan Al- Qur’an adalah Al-Qur’an ini. Pada masa Rasulullah saw. terdapat dua jenis mut‘ah dan aku sekarang melarang kedua-duanya, serta menentukan hukuman karena kedua-duanya itu: pertama , nikah mut‘ah. Aku tidak tahan melihat seorang lelaki menikahi seorang wanita selama beberapa masa kecuali aku pasti merajamnya dengan bebatuan. Dan kedua , mut‘ah haji. Pisahkanlah ibadah hajimu dari ibadah umrahmu, karena hal ini adalah lebih sempurna bagi ibadah hajimu dan juga lebih sempurna bagi ibadah umrahmu.’” 2

a. Antara Ibn Abbas dan Beberapa Orang

Dalam Al-Mushannaf, karya Abdurrazzâq disebutkan bahwa Shafwân berkata: “Ibn Abbas memberikan fatwa bolehnya perzinaan.” Ibn Abbas

menjawab: “Sesungguhnya aku tidak memberikan fatwa bolehnya perzinaan. Apakah Shafwân lupa akan Ummu Arâkah? Demi Allah, anaknya lahir dari pernikahan (mut‘ah) itu. Apakah hal ini dapat dikatakan zina, sedangkan seorang lelaki dari Bani Jumah telah melakukan nikah mut‘ah dengannya?” 3

1 Shahîh Muslim, bab Fî Al- Mut‘ah bi Al-Haj, hal. 885, hadis ke-145; Musnad Ath- Thayâlisî , hal. 247, hadis ke-1792, redaksi riwayat ini dinukil darinya; Ahkâm Al-

Qur’an, karya Al-Jashshâsh, jil. 2, hal. 178; Tafsir As-Suyûthî, jil. 1, hal. 216. Silakan Anda rujuk juga Kanz Al- ‘Ummâl, jil. 8, hal. 294 dan Tafsir Al-Fakhr Ar-Râzî, jil. 3, hal. 26.

2 Sunan Al-Baihaqî, jil. 7, hal. 206. 3 Al-Mushannaf, karya Abdurrazzâq, bab Al- Mut‘ah, jil. 7, hal. 498.

Seorang lelaki dari Bani Jumah itu adalah Salamah bin Umaiyah. Nama Shafwân yang terdapat di dalam riwayat tersebut adalah sebuah distorsi. Yang betul adalah Ibn Shafwân, seperti yang tersebutkan di dalam riwayat kedua., hal itu lantaran Shafwân telah meninggal dunia di Mekkah dan tanah diratakan di atas tubuhnya. Lalu, berita kematian Utsman datang kepadanya. Menurut pendapatku, Ibn Shafwân adalah Abdullah Al-Akbar yang telah terbunuh bersama Ibn Zubair. Silakan Anda rujuk Jamharah Al-Ansâb , karya Ibn Hazm, hal. 159-160. Kami berpendapat bahwa orang itu adalah Ibn Shafwân, bukan Shafwân, lantaran perdebatan-perdebatan Ibn berkenaan dengan masalah dua jenis mut‘ah itu terjadi pada masa Ibn Zubair dan pada masa itu, Shafwân telah meninggal dunia.

B AB III: P ASAL K ETIGA

Menurut riwayat yang lain yang diriwayatkan dari Thâwûs, ia berkata: “Ibn Shafwân berkata, ‘Ibn Abbas memberikan fatwa (bolehnya) perzinaan.’ Ibn Abbas pun menyebutkan orang-orang lelaki yang sering melakukan nikah mut‘ah. Aku tidak ingat (nama) orang-orang yang disebutkannya itu kecual Mu‘abbad bin Umaiyah.” 1

Mu‘abbad itu adalah Mu‘abbad bin Salamah bin Umaiyah. Menurut riwayat yang lain, diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Amirul

Mukminin Umar tidak memperhatikan kecuali Ummu Arâkah. Ia pernah hamil dan Umar menanyakan kepadanya tentang kehamilannya itu. Ummu Arâkah menjawab: “Salamah bin Umaiyah bin Khalaf pernah melakukan nikah mut‘ah denganku.” Ketika Ibn Shafwân memprotes Ibn Abbas berkenaan dengan pendapatnya dalam masalah ini, Ibn Abbas berkata kepadanya: “Tanyakanlah kepada pamanmu.” 2

Di dalam Jamharah Al-Ansâb , karya Ibn Hazm disebutkan: “Keturunan Umaiyah bin Khalaf Al- Jumahî adalah Ali, Shafwân, Rabî‘ah, Mas‘ûd, dan Sala mah. Anak Salamah bin Umaiyah adalah Mu‘abbad bin Salamah. Ibunya adalah Ummu Arâkah. Salamah telah menikahinya secara mut‘ah pada masa Umar atau Abu Bakar, dan ia melahirkan Mu‘abbad. Dengan demikian, keturunan Shafwân bin Umaiyah adalah Abdullah Al-Akbar 3 ...”

Kita lihat bahwa perdebatan ini terjadi antara Ibn Abbas dan Ibn Shafwân Abdullah ini. Oleh karena itu, Ibn Abbas berkata kepadanya: “Tanyakanlah kepada pamanmu, Salamah.” Dan ia juga berkata kepada- nya: “Apakah ia lupa akan Ummu Arâkah? Demi Allah, anaknya, Mu‘abbad terlahirkan dari pernikahan itu. Apa ia telah berzina?” Ketika ia menghitung orang- orang yang dilahirkan dari pernikahan mut‘ah, ia menyebutkan Mu‘abbad termasuk dalam golongan mereka.

b. Antara Abdullah bin Umar dan Ibn Abbas

Riwayat yang telah diriwayatkan dari Abdullah bin Umar berkenaan dengan masalah ini berbeda-beda. Di antaranya adalah riwayat yang telah diriwayatkan oleh Ahmad di dalam Musnad-nya, dari Abdurrahman bin Nu‘aim Al-A‘rajî bahwa ia berkata: “Seseorang pernah bertanya kepada Ibn Umar tentang nikah mut‘ah, sedangkan aku berada di sisinya pada waktu

1 Al-Mushannaf, karya Abdurrazzâq, jil. 7, hal. 499. 2 Ibid. 3 Jamharah Ansâb Al- ‘Arab, karya Ibn Hazm, jil. 2, hal. 159-160 dan menurut cet.

yang lain, hal. 150.

B AB III: P ASAL K ETIGA 355

itu. Ia marah seraya berkata, ‘Demi Allah, pada masa Rasulullah, kami bukanlah para pezina ....” 1

Dalam Al-Mushannaf , karya Abdurrazzâq: “Pernah dikatakan kepada Ibn Umar bahwa Ib n Abbas memperbolehkan nikah mut‘ah. Ibn Umar menimpali, ‘Aku tidak menyangka bahwa Ibn Abbas berpendapat demikian.’ Mereka berkata, ‘Betul. Demi Allah, ia berkata demikian.’ Ibn Umar berkata, ‘Ketahuilah! Demi Allah, ia tidak mungkin berpendapat demikian pada masa Umar, karena Umar telah mengancammu agar tidak melakukan tindakan semacam ini. Aku meyakini bahwa nikah ini adalah

perzinaan.’” 2 Dalam Al-Mushannaf, karya Ibn Abi Syaibah dan Ad-Durr Al-Mantsûr,

diriwayatkan bahwa —redaksi riwayat ini dinukil dari kitab pertama— Abdullah bin Umar ra. pernah ditanya tentang nikah mut‘ah. Ia menjawab:

“Haram.” Seseorang berkata kepadanya: “Sesungguhnya Ibn Abbas mengeluarkan fatwa tentang bolehnya nikah ini.” Ibn Umar menjawab: “Ia hanya berbisik-bisik tentang masalah 3 nikah mut‘ah pada masa Umar.”

Dalam Sunan Al-Baihaqî setelah ungkapan ‘haram’ disebutkan: “Ketahuilah, jika Umar bin Khatab ra. berhasil menangkap seseorang yang melakukan nikah mut‘ah, pasti ia merajamnya dengan bebatuan.” 4