Ibnu Khaldun dan tasawuf
3. Ibnu Khaldun dan tasawuf
Dalam satu bagain pembahasan di bab keenam dalam kitab Mukaddimahnya, Ibnu Khaldun pun membahas tentang tasawuf. Ia membahas akan definisinya secara bahasa serta kemunculannya dalam agama Islam, juga ulama terkenal dalam bidang ini
serta pandangan-pandangannya. Ia pun membahas akan perkembangan ilmu tasawuf, latihan para sufi, metode, dan juga karamahnya. Dalam bagian itupun dibahas akan pandangan para filosofi kontemporer tentang wihdatul wujud, khulul, kasf dan segala hal yang berada jauh di luar nalar dan juga perkataan. Disaat Ibnu Khaldun merevisi ulang tulisannya – didiamannya di Mesir- ia banyak menambahkan beberapa tambahan dan perbaikan, diantaranya yang ia ambil dari penjelasan Ibnu Ziat akan sebagian bait yang dikatakan Haraqy dalam kitab maqamatnya yang pada zahirnya seolah menunjukkan bahwa ia beraliran wihdatul wujud. Penambahan dan perbaikan yang ada ini diterbitkan pula di penerbit Lajanh Bayan (Lihat Mukaddimah: Bayan, 1063-1080, dan lihat serta pandangan-pandangannya. Ia pun membahas akan perkembangan ilmu tasawuf, latihan para sufi, metode, dan juga karamahnya. Dalam bagian itupun dibahas akan pandangan para filosofi kontemporer tentang wihdatul wujud, khulul, kasf dan segala hal yang berada jauh di luar nalar dan juga perkataan. Disaat Ibnu Khaldun merevisi ulang tulisannya – didiamannya di Mesir- ia banyak menambahkan beberapa tambahan dan perbaikan, diantaranya yang ia ambil dari penjelasan Ibnu Ziat akan sebagian bait yang dikatakan Haraqy dalam kitab maqamatnya yang pada zahirnya seolah menunjukkan bahwa ia beraliran wihdatul wujud. Penambahan dan perbaikan yang ada ini diterbitkan pula di penerbit Lajanh Bayan (Lihat Mukaddimah: Bayan, 1063-1080, dan lihat
Pada bagain ini pula, Ibnu Khaldun banyak menggunakan ungkapan-ungakapan aneh dan asing, yang keluar dari mulut para filosof dengan tidak mempunyai makna secara jelas hingga seolah dipahami bahwa mereka sengaja mengemukakannya untuk membuat ragu dan meneyembunykan hakikat yang mereka ingin tuju. Ibnu Khaldun pun banyak meralat dan mengingkari aliran-aliran yang menyeleweng, khususnya aliran mengatakan Al Ittihad dan Al Hulul.
Dalam muqaddimah keenam, di bab pertamanya, Ibnu Khaldun banyak membahas tentang golongan orang-orang yang mengetahui akan hal gaib, baik melalui fitrah ataupun latihan. Ia pun mengkaitkannya dengan tasawuf amali dan para filosofnya dengan berbagai metode, latihan,karamah dan juga perbedaan yang ada antara karamah yang mereka miliki dengan
mu’jizat para nabi dan segala hal yang berkaitan dengan hal ini. (Mukaddimah: Bayan, 349, 351, 375-379)
Ia pun banyak membahas di bagian ke lima puluh tiga di bab ketiga kitab Mukaddimahnya suatu tema hal Fatimy (yang dimaksud adalah sang Mahdi yang ditunggu) dan pandangan manusia akannya serta mengungkap tabir yang ada padanya‟ . didalamnya, ia banyak memaparkan pandangan para filosof akan sang Mahdi yang ditunggu, dan juga ia turut membahas akan sebagian aliran, metode dan keterkaitannya dengan mazhab Syiah; khususnya dengan aliran al Hulul, Wihdatul wujud, Qutub dan Abdal. Ia pun melihat keterkaitan mereka dengan aliran yang sesat yang berasal dari Syiah, yan mengatakan akan ketuhanan para pemimpin mereka serta bersatunya Tuhan kepada diri pemimpin mereka (lihat Mukaddimah: Bayan 737- 775, dan juga lihat pandangan yang ada padanya yang berkisar sekitar dua puluh pandangan dan jug komentar).
Semua yang telah Ibnu Khaldun paparkan pada pembahasan ini menjadi dalil dan bukti akan kemampuan Ibnu Khaldun dalam mempelajari dan mengamati banyak akan hal ini yang di tambah juga dengan permasalahan tasawuf dan referensi penting akan ilmu tasawuf ini, serta pakar dalam bidang keilmuan ini. Ia pun banyak memaparkan perbedaan pandangan yang ada antara para filosof serta perbedaan yang ada antara filoso dan juga masalah tasawuf amali serta latihan-latihan yang sering dilakukan mereka, serta metode dan karamahnya. Ia tidak hanya memaparkan ini semua berdasarkan apa yang ia nukil atas pandangan mazhab dan aliran ataupun kisah-kisah atsar, namun ia juga mengkritisi semua yang ia nukil itu dengan pemikiran ilmiahnya, hingga ia bisa memilah kebenaran yang ada padanya serta kebohongan yang menutupinya.
Demikian, dan akhirnya tampak pula kitab khusus Tasawuf yang dikatakan merupakan karya dari Ibnu Khaldunyang berjudul: Syifa‟u saail li tahdibi al masail ta‟lif Abi Zaid Abdurrahman bin Abu Bakar Muhammad bin Khaldun Al Hadromy‟ yang disebar luaskan oleh Agnatius, pemimpin kelompok
Yasu’a; dimana ia turut menambahkan beberapa pandangan didalamya yang mengatkan akan penisbatan buku ini kepada
Ibnu Khaldun yang ia publikasikan di Sekolah tingi sastra Syarqiah di Beirut. Buku ini pun di publikasikan pada tahun 1958 oleh Muhammad bin Tawit At Thanji, dosen di sekolah teologis di Ankarah (percetakan Utsman Yalsin, Istanbul 1958) dimana ia pun memberikan pengantarnya yang panjang didalamnya yang menegaskan bahwasannya penulis akan buku ini adalah sama dengan yang menulis Mukaddimah; Ibnu Khaldun. terbitan ini berkisar 134 halaman dengan kertas ukuran besar, sedang pengantar akannya berkisar seratus halaman dengan penambahan referensi dan daftar isi yang berkisar sekitar enam puluh halaman. Muhsin Mahdi pun memberikan Ibnu Khaldun yang ia publikasikan di Sekolah tingi sastra Syarqiah di Beirut. Buku ini pun di publikasikan pada tahun 1958 oleh Muhammad bin Tawit At Thanji, dosen di sekolah teologis di Ankarah (percetakan Utsman Yalsin, Istanbul 1958) dimana ia pun memberikan pengantarnya yang panjang didalamnya yang menegaskan bahwasannya penulis akan buku ini adalah sama dengan yang menulis Mukaddimah; Ibnu Khaldun. terbitan ini berkisar 134 halaman dengan kertas ukuran besar, sedang pengantar akannya berkisar seratus halaman dengan penambahan referensi dan daftar isi yang berkisar sekitar enam puluh halaman. Muhsin Mahdi pun memberikan
1957, dengan menyebutkanbahwasannya Abu Bakar At Tathawwani Salawy Magriby menyimpan tulisan aslinya hingga pada akhir abad kesembilan belas hijriah. Muhammad Abdullah Anan pun berbicara akan hal ini dengan ungkapannya: Darul Kutub telah mendapatkan pembicaraan tentang satu copy dari manuskrip seorang Maroko dengan judu; „Syifau Sail li tahdzibil masa il‟ yang berkisar delapan puluh tujuh kertas (174 halaman) yang din isbatkan penulisannya kepada „syeikh Abu Zaid Abdurrahman binSyeikh Faqih Muhaqqiq Musyariq Mabrur
Muqaddis Al Marhum Abu Bakar Muahmmad bin Khaldun Hadromy. 128 Manuksrip lama ini menyebutkan di akhir paragrafnya
bahwasannya ia disempurnakan penulisannya pada bulan Jumadil Ula tahun delapan puluh sembilan, atau setelah wafatnya Ibnu Khaldun sekitar delapan puluh dua tahun.
Setelah Dr. Anan menyebutkan judul dan bab yang ada padanya sebagaimana yang ada pada pengantarnya, ia pun mengomentarinya dengan ungkapansebagai berikut:
Tampak pada kita akan cacat pada penggambaran yang ada akan penulisnya, dan apa yang tampak dari gaya bahasa yang
khusus yang dikemukakan didalamnya, sesungguhnya kitab ini - sebagaimana telah ditegaskan- merupakan karya Ibnu Khaldun juga.
ada serta
ungkapan-ungkapan
Walau mereka menyebutkan banyak bukti ydan menegaskan pandangan mereka bahwa buku ini memang dinisbatkan kepada
Copy ini disimpan di Darul Kutub dengan nomor 24299 Copy ini disimpan di Darul Kutub dengan nomor 24299
Pertama; banyak perbedaan yang terdapat diantara buku ini dan juga buku Mukaddimah Ibnu Khaldun, baik dari segi pemikiran, gaya bahasa ataupun pemecahan masalah yang ada. Hal ini sudah cukup untuk menjadi bukti kuat bahwasannya pengarang buku ini bukanlah pengarang ynag sama dengan kitab Mukaddimah.
Kedua; belum pernah sekalipun buku ini disebut oleh Lisanuddin bin Khatib yang pernah menyebutkan berbagai karya Ibnu Khaldun, juga tidak oleh Ibnu Khaldun sendiri tentang berbagai karyanya di auto- biografinya ‘Ta‟rif‟. Penulis yakin bahwasannya Lisanuddin telah menyebutkan semua buku yang ditulis oleh Ibnu Khaldun di Maroko sebelum ia menulis masterpiecenya Al Ibr hingga tak sedikitpun tak tersisa bagaimana ia menyebutkan banyak talkhisan, catatan kecil dan juga ringkasan atas tulisan orang lain yang ditulisnya sejak masa mudanya; dan juga ibnu Khaldun sendiri pun tidak pernah menyebutkan dalam kitabnya Ibr akan satu tulisannya ini diantara semua tulisan yang pernah ia buat, juga diantara surat-surat yang ia tulis untuk para sahabatnya. Ibr sendiri adalah kitab sejarah akan dirinya sendiri sejak
kelahirannya hingga akhir dzulqa’dah 807 H, atau beberapa bulan sebelum wafatnya. Seandaninya Ibnu Khaldun memang
memiliki kitab tasawuf yang berdiri sendiri, maka tentunya ia akan disebutkan diantara seluruh karya yang disebutkan melalui lisan Lisanuddin bin Khatib ataupun disebutkan sendiri oleh Ibnu Khaldun dalam auto-biografiny Ibr.
Ketiga; sesungunya penulis buku ini pada pengantarnya menjelaskan akan pertentangan dan permusuhan yang terjadi di antara para fakir di Andalusia (maksudnya para filosofi) dan
perdebatan mereka akan ‘apakah seorang sufi membutuhkan seorang syeikh yang mengarahkan prilakunya atau ia hanya
cukup untuk membaca buku yang menulis tentang cara berprilaku yang baik, seperti kitab ‘Ihya Ulumuddin‟ karya Gazãli ataupun Ri‟ayah karya Muhasiby? Ia pun banyak membahasa akn fatwa para ulama di Vas akan permasalahan ini. Dilihat dari kata dan kalimat yang ada pada buku ini, maka sebagian ulama seperti halnya Syeikh Razuq dan Abu abbas Al Vasy memprediksikan bahwasannya penulis buku ini adalah seseorang yang berhak memberikan fatwa akan permasalahan ini 129 .sedang kitab yang ditulisnya ini adalah penjelasan dan juga perluasan dari fatwa tersebut. Pertentangan dan permusuhan yang dibahas oleh penulis terjadi sekitar akhir abad kedelapan hijrah, sebagaimana yang diungkapkan oleh
Syeikh Razuq dalam kitab ‘Iddatul marid‟ dan juga Abu Abbas Al Vasy dalam buku ‘Syarhu Ra‟ iyah‟ 130 . Sedang kita
mengetahui bahwasannya pada abad kedelapan hijriah, Ibnu Khaldun sudah tinggal di Mesir dan bukan di Vas; dan tiada seorang pun pada masanya yang menyebutkan, bahkan tidak juga dirinya sendiri yang menyebutkan bahwa ia diminta untuk memberikan fatwa akan permasalahan ini disaat ia sedang tinggal di Mesir ataupun yang menyebutkan bahwasannya ia ikut berbaur dalam pertentangan dan perdebatan yang ada diantara para filosof Andalusia. Keseluruhan hidup Ibnu Khaldun selama ia tinggal di Mesir pun telah ia rekam dan catat dalam biografinya Ta‟rif dengan penuh kecermatan dan
Nash Fatawa ini ditulis di cetakan revisi ‘Syifaul masail´ di Istanbul.
130 Buku ini berisi tentang qasidah ra’iyah tentang prilaku, karya Abu Bakar Muhammad bin Ahmad Asyarsyi yang wafat pada tahun 685 H 130 Buku ini berisi tentang qasidah ra’iyah tentang prilaku, karya Abu Bakar Muhammad bin Ahmad Asyarsyi yang wafat pada tahun 685 H
Keempat; adanya nama Ibnu Khaldun pada permukaan kitab tersebut bukanlah bkti yang kuat bahwasannya ialah yang menulisnya. Bisa jadi semua ini satu kesalahan cetak ataupun mungkin disengaja karena ada suatu kepentingan tertentu; karena hal ini banyak terjadi di banyak buku-buku Arab, hingga tidak aneh bila ada satu buku yang dinisbatkan kepada Ibnu Khaldun, baik itu karena satu kesalahan ataupun karena disengaja, dengan dalil bahwa nama yang ada dipermukaan kitab ini dan semua biografi yang ada didalamnya sesuai dengan nama yang menulis Mukaddimah. Namun hal ini tidak bisa diterima begitu saja, dengan berbagai alasan tentunya.
Kelima; dalam lembar utamanya, ditulis satu judul yang seolah menegaskan bahwa penulisnya adalah Abu Zaid Abdurrahman bin Syekh Faqih Al Muhaqqiq Al Musyarik Al Mabrur Muqaddas AlMarhum Abu Bakar Muhammad bin Khaldun Hadromy. Sedangkan kunyah bapak Ibnu Khaldun bukanlah Abu Bakar, melainkan Abu Abdulla; sedang yang mempunyai kunyah Abu Bakar adalah adalah kakeknya yang kedua. Sedang nama penulis Mukaddimah secara lengkap adalah Abdurrahman bin Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Abu Bakar Muhammad. Ibnu Khaldun pun menyebutkan bahwa kakek keduanya mempunyai kunyah Abu Bakar dalam banyak tempat di bukunya Ta‟rif (halaman 11-13). Sehingga bisa dipahami dari sini sesungguhnya penulis buku itu adalah anak dari kakek kedua Ibnu Khaldun dan saudara dari kakek pertama dari penulis Mukaddimah, atau bisa dikatakan ia adalah paman Ibnu
Khaldun, karena baik paman maupun keponakan memang memiliki kesamaandalam nama dan kunyahnya (Abdurrahman Abu Zaid). 131
Demikian, Abu Abbas Ahmad bin Yusuf Al Vasy yang wafat pada tahun 1021 H pun turut membahas akan masalah ini dalam dua tempat -ditengah pembahasannya akan qasidah Abu Bakar Muhammad Ibnu Ahmad Asyuraisyi yang wafat pada tahun 685 H (yangmerupakan qasidah tentang prilaku yang tampak)- dan mengatakan bahwasannya Ibnu Khaldun mempunyai buku yang dinamakan Sifaul Sail yang ia gambarkan sebagai buku yang menarik. Namun ia pun menjelaskan bahwasannya yang menulisnya adalah Abu bakar Muhammad bin Khaldun. dari sini, bisa jadi bahwa apa yang dikatakan Abu Abbas ini benar, bahwasannya buku ini ditulis oleh keluarga besar Khaldun yang memiliki kunyah abu Bakar.
Demikianlah. Apa yang yang dibahas dalam kitab Mukaddimah tentang tasawuf telah menjadi bukti akan intens Ibnu Khaldun dalam mempelajari dan mendalami ilmu tasawuf dan permasalahan yang berkaitan dengannya. 132
131 dalam satu bagain di auto-biografinya, Ibnu Khaldun menuliskan bahwa kunyah bapaknya adalah Abu Bakar, dengan ungkapannya: ia melepaskan