Bagian kelima Ibnu Khaldun Pakar dan pembaharu penulisan Bahasa Arab
Bagian kelima Ibnu Khaldun Pakar dan pembaharu penulisan Bahasa Arab
1. Pembaharuan yang dilakukan Ibnu Khadun dalam penulisan gaya bahasa berbahasa Arab.
Ibnu Khaldun termasuk salah satu sastrawan besar dan pemuka linguistik bahasa Arab serta salah satu pembaharu dalam penulisan gaya bahasa yang ada dalam bahasa Arab. Ia telah banyak menuliskan surat-surat, baik itu surat biasa ataupun surat resmi dan pemerintahan sejak ia mengemban tugas sebagai sekretaris rahasia dan pribadi untuk Abu Salim bin Abu hasan, Sultan Maroko bagian atas; hingga ia akhirnya mampu untuk menyusun tulisan dengan gaya bahasa yang baru dan mudah dicerna serta yang menusuk pada realitas yang ada; yang kesemuanya itu dengan ditunjang pula dengan bukti-bukti yang kuat dan keterkaitan pikiran satu paragraf dengan lainnya juga dengan susunan yang baik dan cocok. Semua ini terjadi karena ia mahir dalam memilih suku kata ataupun kalimat dengan menggunakan bahasa arab yang baik dengan melepaskan belenggu sajak dan kata-kata pemanis sekedar basa-basi yang dipakai pada masanya. Pada dasarnya, gaya bahsa yang digunakannya bukanlah gaya bahasa yang baru; ia hanya menghidupkan kembali ungkapan-ungkapan arab asli yang populer pada masa kejayaannya sebelumnya. Ia adalah gaya bahasa yang mudah dicerna dan sering dipakai oleh Abdul Hamid, penulis pada zaman bani Umayyah dan juga Jafidz, seorang pakar linguistik pada masa bani Abbas. Namun uslub dan gaya bahasa ini menghilang dalam jangka waktu yang cukup lama dan digantikan kedudukannya dengan gaya bahasa yang seadanya dan kurang efiesien yang di berbagai belahan negara Arab; dimana gaya bahasa yang dipakai penuh dengan sajak dan juga kata-kata pemanis yang berari lebih banyak basa-basi yang digunakan dari maksud yang hendak dicapai.
Ibnu Khaldun menggambarkan gaya bahasa yang dipakai dengan secara terperinci dengan menganjurkan keada setiap penulis ataupun yang berhubungan dengan penulisan untuk menggunakannya, sebagaimana yang ia katakan pada bagian
dimana ia mempelajari pembagian kalimat kepada nudzum (susunan kata bahasa) dan natsr (syair) di bab keenam dari Mukaddimahnya: para penulis kontemporer telah menggunakan uslub-uslub syair atau natsr yang setara dengannya, untuk mengurangi sajak yang terlalu banyak ataupun terlalu terikat dengannya, demi lebih mengedepankan tujuan yang ingin dicapai. Natsr ini apabila direnungkan merupakan bagian dari syair dan tidak jauh berbeda darinya kecuali perbedaan jumlah kata yang ada didalamnya. para penulis komtemporer tetap memakainya di berbagai pidato kerajaan,dan juga memakainya di berbagai hal yang mereka sukai, dengan mengkombinasikannya dengan uslub-uslub yang indah serta menghapuskan kiasan dan sejenisnya.. khususnya sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat masyriq. Hingga pada masa ini, hampir seluruh pidato kerajaan menggunakan uslub ini. Namun sebenarnya, bila dilihat dari gramatikalnya, pengunaan uslub ini tidak bisa dikatakan benar, sebagaimana apabila kemudian diamati penggunaan kalimat yang digunakan dalam menerangkan keadaan mukhatib (orang yang berbicara) dan mukhatab(orang yang diajak bicara). Seni natsr ini oleh para pakar linguistik komtemporer dimasukkan dalam cakupan syair. Hingga seyogyanya pidato-pidato kerajaan tidak menggunakan uslub itu, karena umumnya syair digunakan untuk hal-hal yang tidak serius, dan terkadang terlalu berlebih-lebihan dalam menerangkan sesuatu dan banyak menggunakan permisalan serta banyak perumpamaan dan juga kata samar yang kesemuanya itu tidak diperlukan penggunaannya pada sebuah pidato. Dengan memakai uslub ini, maka seseorang yang menggunakan terikat untuk terus memuji raja dan juga berbicara di khalayak umum menggunakan targhib dan tarhib dimana hal itu tidak seharusnya digunakan. Pidato kenergaraan yang baik adalah yang memakai uslub sederhana yangtidak menggunakan sajak
dalam cakupannya kecuali dalam batasan tertentu dan dalam waktu tertentu. Dengan mengirimkan tanpa ada beban tertentu lalu memberikan setiap kata sesuai dengan fungsi dan keadaannya; karena setiap tingkatan sesungguhnya berbeda. Setiap tingkatan dan tempat mempunyai uslubnya masing- masing, baik dalam Itnab (hinaan), ijaz (ringkas), hazf (menghapuskan), itsbat (memutuskan), tasrih (terus terang), kinayah (sindiran), isyarat dan juga kiasan. Karenanya menggunakan syair dalam pidato kerajaan adalah sesuatu yang tidak layak. Para ahli linguistik tidak akan menggunakan hal tersebut kecuali apabila mereka menguasai keadaan yang ada, baik dengan lisan ataupun dalam istana mereka namun dengan tetap memberikan kata sesuai dengan fungsi dan keadaannya. Dengan menggunakan uslub sederhana ini, maka akan mengurangi penggunaan sajak dan sastra yang berlebihan yang memalingkan dari tujuan awal serta mengikat seseorang untuk memuji dengan bahasa sajak dan gelar yang dibuat-buat hingga lupa
akan apa yang diinginkannya‟ (Mukaddimah: Fahmy, 647,648) Ibnu Khaldun pun banyak menjelaskan permasalahan ini di
bagian lainnya, seperti halnya gaya bahasa yang sarat kata- kata manis yang dibuat-buat dan banyak membelenggu bentuk penulisan pada zamannya; baik itu sajak, jinas, tauriah, atau sejenisnya, dengan ungkapannya: sesungguhnya muatan dan materi yang ada didalamnya memalingkan seseorang dari susunan asl dari suatu kalimat dan juga memalingkannya dari faidah kalimat aslinya, hingga akhirnya ia akan terbuai dengan segala bentuk kata dan tidak sedikitpun yang tersisa kecuali hanya ungkapan-ungkapan manis itu saja. Inilah
sebenarnya yang banyak terjadi masa ini. 99
Masalah ini tertuang dalam Mukaddimahnya dengan tema matbu‟ minal kalam wal masnu (yang dicetak dan dibuat dari suatu kalimat) permasalahan ini terletak di bagian keenam yang telah diperbaharui dan
Penulisan dengan gaya bahasa itu tetap berjalan hingga keadatangan Ibnu Khaldun. Iapun lalu merubahnya dengan menulis dalam setiap penulisannya dengan menggunakan uslub arab yang asli. Ia mengungkapkan hal ini dalam buku
ta‟rifnya dalam pembicaraannya tentang tugasnya sebagai sekretaris yang banyak menulis surat-surat untuk Sultan Abu Salim di Vas pada tahun 760 H: Sesungguhnya surat yang
berasal dariku memakai uslub mursal (uslub sederhana).. aku pada saat itu sendiri yang menggunakan, dan bagi orang lain,
hal ini sangat aneh... (Ta‟rif, 70) Walaupun kejelasan, kemudahannya dalam dicerna serta ketinggian tata bahasa yang dimiliki uslub ini, namun
ternyata hal ini belum menjadi daya tarik sendiri bagi para penulis ataupun pengarang kontemporer pada masa Ibnu Khaldun ataupun yang datang setelah masanya pada abad kelima setelah kematiannya. Ini semua karena mempertahankan tradisi lama yang rumit sangat diagungkan dan merasuk ke dalam pikiran para pengarang ataupun penulis buku, hingga tak ada satupun dari mereka yang mampu untuk mengikuti jejak Ibnu Khaldun dalam menuliskan karyanya. Mereka tetap bersikukuh untuk mempertahankan gaya bahasa mereka yang lama dimana didalamnya terlalu banyak memakai sajak dan juga rangkaian kata-kata manis tak bermakna, hingga dengannya banyak mempergunakan kata yang tidak semestinya. Gaya bahasa ini hampir meliputi negara Arab hingga kemudian Mukaddimah Ibnu Khaldun diterbitkan di Mesir pada pertengahan abad kesembilan belas (1274 H, 1858M) lalu setelah itu mulai dipublikasikan sedikit demi sedikit di Beirut dan mulai banyak terpublikasikan di khalayak umum di banyak tempat. Lalu bukunya tersebut mulai dipelajari di banyak lembaga
diperbanyak oleh penerbit Cartmeir (Mukaddimah: Cartmeir, Jilid 3 hal 355) diperbanyak oleh penerbit Cartmeir (Mukaddimah: Cartmeir, Jilid 3 hal 355)
Karenanya, sesungguhnya gaya bahasa yang dipakai saat ini adalah merupakan jerih payah Ibnu Khaldun dengan segala tantangan dan metodenya. 100 Bisa dikatakan, bahwasannya Mukaddimah Ibnu Khaldun tidak hanya memberikan kontribusinya pada bidang keilmuan saja, namun ia pun turut memberikan kontribusinya yang besar pada ilmu sastra. Setiap diamati dan dipelajari lebih dalam akan tema keilmuan di dalam Mukaddimah Ibnu Khaldun, maka akan banyak didapatkan keutamaannya; bahkan hingga bisa membentuk ilmu baru yang disebut dengan nama ilmu sosial; sebagaimana pula dengan kesusastraan yang apabila banyak dipelajari dan di gali dari Mukaddimah Ibnu Khaldun, maka akan mampu menciptakan –atau lebih tepatnya menghidupkan kembali- gaya bahasa arab yang baik dan benar sehingga mampu menjelaskan suatu pemikiran
diamati bahwasannya gaya bahasa yang dipakai Ibnu Khaldun telah berpindah kebanyak tulisan; bahkan hingga pada kesalahannya yang ada pada gaya bahasa ini. Contoh dari kesalahan yang dimaksud adalah penggunaan kata La budda (seharusnya), wa inna (dan sesungguhnya), la yatruk u syaian illa… ( tidak meninggalkan sesuatu apapun kecuali….)tidah hanya terbatas pada itu saja, namun ia pun menggunakan kata kait wa kait (ddan sebagainya dan sebagainya).: wa hadza amru wa inkaana kaza wa kaza illa annahu kait wa kait (seandainya masalah ini adalah ini dan ini kecuali sesungguhnya ia adalah ini dan ini..) diamati bahwasannya gaya bahasa yang dipakai Ibnu Khaldun telah berpindah kebanyak tulisan; bahkan hingga pada kesalahannya yang ada pada gaya bahasa ini. Contoh dari kesalahan yang dimaksud adalah penggunaan kata La budda (seharusnya), wa inna (dan sesungguhnya), la yatruk u syaian illa… ( tidak meninggalkan sesuatu apapun kecuali….)tidah hanya terbatas pada itu saja, namun ia pun menggunakan kata kait wa kait (ddan sebagainya dan sebagainya).: wa hadza amru wa inkaana kaza wa kaza illa annahu kait wa kait (seandainya masalah ini adalah ini dan ini kecuali sesungguhnya ia adalah ini dan ini..)
Demikianlah; Ibnu Khaldun tidak menggunakan sajak dalam tulisannya; sedang saat itu, sajaklah yang banyak dugunakan. Ia tmenggunakannya hanya pada batasan yang tertentu, seperti ketika ia menuliskan surat untuk temannya Ibnu Khatib, mengikuti gaya bahasa yang dipergunakannya. 101 Dan juga ia mempergunakannya untuk kata pengantar bagi bukunya Ibr yang memakan temapt sekitar tujuh halaman. 102 Ia menuliskannya kesemuanya itu dengan sajak yang sangat berat muatannya yang dihiasi dengan kiasan-kiasan juga tahsinat (kata-kata manis) yang dibuat-buat; karena kata pengantar pada sebuah buku umumnya merupakan kesempatan yang baik untuk lebih mempublikasikan kemampuan seseorang dalam memilih kosa kata dan kemampuannya dalam mempergunakan kata dan kalimat, dan inilah yang ada t yan ada pada masanya yang kesemuanya ini dilakukan untuk menunjukkan tidak adanya kelemahan dalam bahasa yang dipakainya dalam bukunya, khususnya karena dalam pengantarnya ini mencakup di dalamnya Ihda (kata-kata persembahan atas selesainya suatu buku) yang ditujukanya kepada: Pertama; Abu Abbas, Sultan Tunis dan juga kedua; Abu Faris abdul Aziz, Sultan Maroko bagian atas.
2. Pembaharuan Inbu Khaldun dalam kosa kata dan gramatikalnya.
Disaat penelitian Ibnu Khaldun dalam fenomena-fenomena sosial telah menghasilkan banyak pemikiran dan pandangan baru, yang kesemuanya ini tidak bisa diungkapkan kecuali dengan ungkapan-ungkapan yang baik dan cermat. Dalam mengungkapkan kesemuanya itu, dibutuhkan pengunaan kata-kata
101 102
dan juga ungkapan yang terkadang memakai majaz ataupun sindiran; karena itulah, agar semua pemikiran dan pandangan tersebut dapat diungkapkan, dipergunakan usul bahasa arab dab juga banyak kosa kata yang tidak pernah digunakan sebelumnya juga banyak kosa kata dan juga ungkapan dalam artian ilmiah yang belum pernah dipakai; walau terkadang tetap dipakai arti aslinya, namun tetap berkaitan dengan kata-kata yang ada di ilmu sastra. Ibnu Khaldun mengungkapkan hal ini dalam pembicaraannya tentang ahli tasawwuf: Lalu mereka mempunyai kesusatraan yang khusus dan juga istilah-istilah dalam banyak kosa kata yang dipakai diantara mereka. Hingga bisa dikatakan bahwasannya susunan kalimat yang dibuat adalah dengan menggunakan kata-kata yang telah dikenal artinya; namun apabil mereka menggunakan kata yang belum dikenal artinya, maka mereka mengungkapkannya dengan kata yang dapat dipahami dan mengarah kepada arti yang dimaksyd (Mukaddimah: Bayan, 1065)
Salah satu dari kata itu adalah kata ‘umran‟ (peradaban) yang sering dipakainya dalam masyarakat sosial dan juga ‘Ilmu umran’ ilmu peradaban yang sering dipakainya penelitian dimana ia banyak mempelajari dan mengamati
fenomena illmu kemasyarakatan hingga dapat mengungkapkan aturan dan ketentuan yang mengaturnya; dan juga kata ‘
Ashabiyyah ‘ (fanatisme) yang berarti kekuatan dan juga pertahana para pemula dalam menjaga hubungan kekerabatan dan keterikatan antara individu masyarakat dengan kabilahnya;
dan juga ‘arab‟ yang bermakan primitif 103 ... dan banyak lainnya.