Ibnu Khaldun dan ilmu Filsafat
7. Ibnu Khaldun dan ilmu Filsafat
Dalam auto-biografinya, Ibnu Khaldun menyebutkan bahwasannya ia telah belajar dari gurunya -yangmempunyai tempat khusus dihatinya Abu Abdullah Muhammad bin Ibrahim bily- akan ilmu mantiq dan segala ilmu kebijaksanan hidup. Ia mendefinisikan syeikh Abili sebagai guru dari berbagai disiplin ilmu logis (Ta’rif 21,22)
Kata ‘ilmu logis’ atau ‘seni kebijaksanaan’ atau ilmu filsafat pada saat itu hanya diucapkan oleh enam kelompok
golongan keilmuan; mantiq, uluhiyyat (Metafisika, atau sesuatu diluar alam), ilmu alam, ilmu astronomi, ilmu
matematika dan musik. 139 Sedang kalimat ‘kebijaksanaa’ ia diambil dari kata hikmah, yang juga merupakan penerjemahan
139 Lihat pembahasan bagian ke dua puluh, bab keenam yang dicetak Lajnah Bayan dengan tema: Ilmu Logis dan pembagiannya (hal 1080-1091). Ibnu
Khaldun telah membagi ilmu ini menjadi tujuh bagian; karena ia membedakan antara ilmu ukur dan aritmatika, yang keduanya berada dalam kesatuan ilmu matematika. Hingga memungkinkan untuk menjadikan ilmu astronomi menjadi bagian dari ilmu alam, bila ditinjau dengan definisi yang ada sekarang, hingga kesemuanya ini hanya menjadikannya lima bagian saja.
bahasa arab dari kata ‘filsafat’ yang berasal dari kata yunani. (Philosophie du Grec: Pilos=Ami; et sophia =Sagesse)
Jelaslah bagi kita, bahwasannya Ibnu Khaldun sangat memperhatikan dan menfokuskan diri pada ilmu logis dan juga filsafat dengan maknanya yang khusus masa kini atau metafisika., karena akan dijelaskan pula bagian-bagian lainnya secara berdiri sendiri dalam menunjukkan posisinya dalam bidang keilmuan lainnya yang masuk dalam cakupan ilmu filsafat pada zamannya.
Ibnu Khaldu menyuguhkan akan pembahasan Ilmu Mantiq dan juga filsafat dengan makna yang telah disebutkan dalam beberapa bagian pembahasan dalam Mukaddimahnya.
Ia menyuguhkannya pada bagian kedua puluh bab keenam 140 yang merupakan bagian pembahasan dengan tema: Ilmu Logis dan
pembagianya. Dalam bagian ini banyak dibahas akan ilmu mantiq dan juga filsafat dengan makna yang dimaksud dan referensi penting akannya baik sejak masa lalu ataupun yang kontemporer, khususnya yang ada di Yunani dan juga di Arab.
Sedangkan pembahasan bagiab kedua puluh empat pada bab keenam 141 , hanya membahas akan ilmu Mantiq. Didalamnya
dibahas kaan tema akan ilmu dan faidahnya serta permasalahan, pembagian, sejarah, kitab Organon 142 karya Aristoteles dalam ilmu Mantiq dan pembagiannya ilmu Mantiq dalam buku ini. Ia pun menyebutkan karya-karya Farabi, Ibnu
140
Mukaddimah: Bayan, 1085-1091. namun pada penerbit lain, ia menjadi bagian ketiga belas. Dalam penerbit Lajah Bayan, ditambahkan beberapa komentar dan pandangan serta catatan pinggir yang turut memperjelas ungkapan yang ditulis Ibnu Khaldun juga memperbaiki beberapa darinya.
141 Mukaddimah: Bayan, 1102-1107. namun pada penerbit lain, ia menjadi bagian ketujuh belas. Dalam penerbit Lajah Bayan, ditambahkan beberapa
komentar dan pandangan serta catatan pinggir yang turut memperjelas ungkapan yang ditulis Ibnu Khaldun juga memperbaiki beberapa darinya. 142 Nama buku ini adalah Organon yang berasal ari bahasa Yunani. Asal
katanya adalah Outil atau alat; yang dimaksud adalah alat yang melindungi pikiran dari suatu kesalahan. Sedang Ibnu Khaldun mengartikannya dengan Nash atau teks. Namuan artian ini kurang tepat (LIhat pandangan no 1560 hal 1104, Mukaddimah; Bayan)
Sina dan Ibnu Rusydi dalam ilmu mantiq dan keterkaitan mereka dengan kitab Organon serta menyebutkan karya-karya kontemporer lainnya. Ibnu Khaldun mempelajari dari mereka semua bahwasannya mereka banyak mempelajari ilmu ini sebagai satu gambaran dan juga satu bentuk dan dialah kemudian yang mempelajari permasalahan akan suatu kejadian dan juga qiyas berdasarkan bentuk dan juga penggambarannya saja, mereka lupa akan matiq secara materi, yang mana mempelajari permasalahan akan suatu kejadian dan juga qiyas berdasarkan materi yang ada pada keduanta atau dilihat dari kebenaran unsur yang ada pada keduanya dan kesesuaiannya dengan realitas; atau mereka tidakhanya mengarahkan pada sesuatu yang termudah, dimana dari mereka lebih terfokus pada penggambaran yang ada. Mereka pun lupadan teralihkan pandangannya dari kelima buku yang berkaitan dengan ilmu mantiq materi ini yangmerupakan karya Aristoteles; dimana kelima buku inilah yang merupakan ajang penjelas, perdebatan, seruan, syair dan pemutar balik fakta. Bisa jadi mereka
kemudian mereka menyepelekannya dan menganggapnya tidak ada; padahal hal inilah yang terpenting dalam satu keilmuan (Mukaddimah; Bayan, 1106). Ibnu Khaldun pun memandang masyarakat pada masanya tidak banyak merujuk kepada kitab-kitab lama, mereka hanya terpaku pada buku-buku kontemporer dalam mendalami
ilmu mantiq ‘mereka melupakan buku-buku terdahulu dan mengesampingkannya seolah-seolah tidak pernah ada, namun
justru itulah yang penuh dengan sari pati akan ilmu mantiq dan paling banyak manfaatnya (Mukaddimah; Bayan, 1107)
Sedang pada bagian kedua puluh delapan bab keenam, ia banyak membahas tentang Ilahiyyat atau yang lebih disebut dengan nama Metafisika (Métaphysique du grec: Metata=Après, et Phusika=Phisique)
Dalam bagian tersebut, ia banyak membahas akan tema metafisika, permasalahan yang ada didalamnya, buku Aristoteles yang berkaitan dengannya serta ringkasan Ibnu Sina dalam ilmu ini dalam salah satu bagian dari bukunya Syifa dan juga Najah, serta ringkasan Ibnu Rusydi akan buku tersebut dan juga komentarnya kannya. Juga dibahas diskusi yangterjadi antara Gazãli dan Ibnu Rusydi akan tema ilmu ini dalam tahafutul falsafah karya Gazãli dan juga Tahafutut Tahafut karya Ibnu Rusydi dan juga kitab lain yang ditulis oleh banyak ilama kontemporer pada masa itu. Didalamnya banyak dibahas pula akan kolaborasi antara ilmu mantiq dan juga ilmu kalam dalam banyak penelitian kontemporer serta menjelaskan akan bahaya yang akan terjadi dalam kolaborasi ini.
Sedang pada bagian lainnya yang lebih panjang di bab keenam, dibahas tema tentang pembatalan filsafat dan juga rusaknya orang yang menganutnya. 143 Dalam pembahasan ini banyak diterangkan akan penolakan akan filsafat (dikemukakan oleh Aristoteles, Farabi, Ibnu sina, Ibnu Rusydi dan yang sepakat dengan mereka) yang berpendapat akan tingkatan keberadaan dan akal yang sepuluh, juga tentang ketuhanan atas keumuman atau yang diluar dari kebiasaan, juga pendapat mereka tentang kebahagiaan dan banyak lainnya. dari kesemuanya ini maka bisa disimpulkan akan rusaknya pandangan para filosof dalam semua permasalahan inidan juga penyelewengan mereka akan fenomena syariah yang telah ada. Pembahasan yang telah mereka lakukan tidak menghasilkan apapun kecuali kerusakan pikiran dalam menyusun dalil dan bukti dalam menghasilkan penguasaan dan kebenaran dalam
143
Ia berada dalam bagian kedua puluh lima dalam cetakan-cetakan yang ada (Mukaddimah; Fahmy, 590) dan menjadi bagian ke tiga puluh dua dalam juz keempat di penerbit Lajnah Bayan
menerangkan suatu keterangan. Ini semua karena persyaratan qiyas dan juga susunannya dalam aplikasinya dalam suatu hukum dan juga keyakinan sebagaimana yang mereka aplikasikan dalam pemikiran logis mereka dan pandangan mereka dalam ilmu-ilmu alam, tidak banyak dipergunakan dan diaplikasikan dalam keilmuan ini, seperti halnya ilmu filsafat, pengajaran dan juga yang sejenisnya. Dengan aplikasi yang sesuai, maka banyaknya dalil dan juga persyaratan yang telah ditetapkan disertai dengan keyakinan dan juga pembenaran dalam dalil dan juga bukti –walaupun tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan- namun inilah qiyas yang benar dan dianggap benar dipandang dari sisi peneliti. Inilah sebenarnya hasil yang logis dan ilmiah yang banyak digunakan oleh para pakar keilmuan dan juga dalam mengemukakan pandangan-pandangan mereka., walaupun hasilnya tidak sebaik yang diharapkan; karenanya
berhati-hati dalam mengerahkan usahanya agar tidak terjerumus kepada satu kerusakan. Seorang peneliti harus memandang dengan pandangan yang penuh dengan norma yariat dengan banyak mendalami tafsir dan fiqh. Dan janganlah seorang pun meneliti ilmu (filsafat) namun ia tidak memiliki landasan ilmu agama sedikitpun, apabila dilakukan, maka itulah yang akan mengantarkannya menuju kebinasaan. (Mukaddimah; Fahmy, 596)
seorang peniti
harus
Dalam bab keenam pula, banyak dibahas akan permasalahan kenabian dan juga para nabi, wahyu, pembagian jiwa manusia dipandang dari kemampuannya untuk mencapai penalaran rohani ataupun mengaetahui hal gaib dengan latihan tertentu ataupun dengan tasawuf.. dan permasalahan lainnya yang berhubungan dengan metafisika dan juga ilmu jiwa (Mukaddimah; Bayan, 345-351, 357-379)
Jelaslah dari apa yang telah ditulis oleh Ibnu Khaldun akan Ilmu Mantiq dan juga filsafat yang ia tulis dalam auto- biografinya dan juga Mukaddimahnya, menunjukkan akan kemampuannya dalam
Shury (secara penggambaran) dan juga Mantiq Maddah (secara materi). Ia pun mampu mengamati dan menguasai filsafat dan juga ilmu metafisika, walaupun tidak secara menyeluruh. Pandangannya bahwa filsafat menyalahi syariat Islamiyah dan sangat berbahaya bagi akidah; menyebabkannya tidak terlalu mendalaminya secara mendetail, namun ia hanya mempelajari permukaannya saja, yang itupun penuh dengan kehati-hatian yang sangat dengan tujuan untuk menolak pandangan yang ada didalamnya dan menjelaskan segala hal yang terselubung didalamnya dari kerusakan dan penyelewengan. Dilain sisipun, ia mengakui bahwasannya penelitian tentang filsafat belum tersebar luas di negaranya Maroko, dimana ia dilahirkan dan mulai mengenal ilmu pengetahuan, hingga wajar apabila kemudian filsafat tidak menjadi fokus perhatiannya. Ia mengemukakan dalam pembahasan akhir pada bagian yang bertemakan: Ilmu Logis dan pembagiannya: Kemudian di Maroko dan Andalusia, disaat angin peradaban mulai terhenti, dan berkurangnya ilmu pengetahuan dengan berkurangnya ilmu peradaban, menghilanglah ilmu itu (ilmu filsafat) dari kedua negara ini kecuali sedikit yangmengetahuinya dengan pengawadsan ulama sunnah. Kami pun mendapat informasi dari nasyarakat masyriq bahwa sebagian ilmu ini masih ada pada mereka, khususnya di daerahiraqil ajmu dan setelahnya serta setelah sungai. Mereka masih menguasai ilmu logis untuk memajukan peradaban mereka dan juga mengatur kebudayaan didalamnya (Mukaddimah; Bayan, 1090,1091)
mengamati
Mantiq
*****
Lisanuddin bin Khatib menyebutkan dalam bukunya Al Ihathah fi kitabul gharnathah bahwasannya Ibnu Khaldun mendekati sultan (maksudnya sultan Abu Salim, sultan Maroko bagian atas) dimasa-masa ia mempelajari dan mengamati ilmu- ilmu logis; kedekatan yang sangat bermanfaat dalam perkembangan ilmu mantiq. Pernyataan ini menunjukkan bahwasannya Ibnu Khaldun mempelajari Ilmu Mantiq untuk kepentingan sultan Abu Salim atau bisa juga ia mempelajarinya bersama sultan; disaat itulah Ibnu Khaldun menuliskan memori-memori dan pandangan-pandangannya dalam ilmu ini. Namun sayangnya, memori ini tidak sampai kepada kita; Ibnu Khaldun sendiri pun tidak pernah membicarakan akan hal ini dalam auto-biografinya Ta‟rif. Bisa jadi ini semua disebabkan karena iamenganggapnya hanya sebagai petualangan ilmiahnya saja yang belum layak untuk dikenang. Namun bagaimanapun, ini semua menjadi bukti akan intensnya dalam mempelajari ilmu mantiq sejak masa mudanya.